Ikuti Kami

Refleksi Paradigmatik Prinsip Politik Demokrasi Bung Karno

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Keder PDI Perjuangan dan Ketua Pemenangan Ganjarian Spartan Community Sulawesi Selatan.

Refleksi Paradigmatik Prinsip Politik Demokrasi Bung Karno
Fajar Ahmad Huseini, Keder PDI Perjuangan dan Ketua Pemenangan Ganjarian Spartan Community Sulawesi Selatan.

Jakarta, Gesuri.id - Kritik dan ujaran kebencian sejatinya adalah dua hal sangat berbeda, upaya mengontraskannya harus menjadi salah satu fokus bagi pendidikan budaya politik itu sendiri, dan tentunya hal ini merupakan keniscayaan tanggung jawab seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. 

Dalam menatap realita eskalasi kontestasi Pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak lama lagi, situasi di ruang publik kita kian memanas, sehingga terpicunya opini "saling serang" yang terjadi begitu saja antar pendukung masing-masing kandidat. 

Setidaknya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa, yang menjadi tuntutan dan harapannya ke depan adalah agar kondisi perhelatan opini dapat dikelolah menjadi pola dialogis yang bisa mencerdaskan dan sekaligus mencerahkan, berdasarkan kaidah argumentasi yang tidak lepas dari aspek nilai keadabannya. 

Merebaknya berbagai hoaks dalam tendensi politik faktanya telah "menjadi polusi" pada ruang publik kita, terlihat mulai begitu marak sejak penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 lalu, dan itu menjadi catatan yang sangat serius, sehingga nurani-rasionalitas kita sebagai anak bangsa pastinya sangat terbebani. 

Tentunya kesadaran kolektif sebagai masyarakat pasti setuju dan bersepakat agar bangsa ini segera berbenah untuk menuju arah peradaban politik demokrasi yang berkeadaban, terutama dalam menyongsong momentum terdekatnya pada pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 nanti. 

Situasi kontestasi politik kita niscaya sangatlah membutuhkan upaya langkah-langkah bersama yang bersifat eduaktif, dan pastinya eksistensi budaya kritik itu tetap menjadi sebuah keharusan agar senantiasa menjadi mekanisme kontrol untuk menjaga arah keseimbangan berjalannya proses-proses kekuasaan itu sendiri. 

Artinya pada konteks tersebut, juga menjadi tanggung jawab besar sebagai tuntutan syarat bagi setiap peserta kontestan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh partai atau koalisi partai-partai. Dimana harus menjadi penekanan prioritas pada muatan visi misinya, sebagai bagian dari landasan rencana kebijakan dan program pembangunan mereka agar dapat merealisasikan harapan terbaiknya. 

Sekali lagi, bahwa dalam menatap perjalanan agenda prosedural demokrasi lima tahunan dalam sistem konstitusional kita, kenyataannya memang menyisakan berbagai problematikanya yang masih sangat membutuhkan upaya kedalaman refleksi atau kajian yang serius di setiap aspeknya. 

Baik itu pada implementasi teknisnya, hingga tentang bagaimana kemudian suasana kebatinan budaya politik pada ruang publik, agar bisa melangkah bersama dalam meminimalisir berbagai hambatan dan persoalan yang sangat kontraproduktif dengan nilai-nilai prinsipil ideologi negara kita. 

Tuntutan pendalaman demokrasi deliberatif

Kerayaktan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, merupakan asas prinsipil yang substansinya berelasi dangan sila-sila lainnya, sebagai warisan Bung Karno yang sangat berharga sekaligus menjadi amanah konstitusional dalam perjalanan menuju masa depan bangsa ini. 

Bahwa sistem demokrasi kita bukan hanya sekedar kontestasi elektoral dalam mekanisme proseduralnya semata, tapi sejatinya agar setiap prosesnya wajib mempertimbangkan jaminan terciptanya orientasi paradigmatik akan tujuan penguatannya pada eksistensi yang kokoh atas realitas kebhinnekaan di negara kita. 

Dalam upaya memaknai lebih jauh perspektif prinsip nilai-nilai tersebut, setidaknya penulis mencoba melihat relevansi pendekatannya dari  ekivalensi konsep demokrasi deliberatif, sebagai salah satu topik bahasan filsafat politik atau filsafat moral. 

Kajian teoritis tersebut menjadi konsen pendalaman salah seorang filsuf besar abad ini, yakni Jurgen Habermas berkebangsaan Jerman yang familiar dikenal sebagai generasi kedua penerus Mazhab Frankfurt (Frankfurt School). Di mana pendiri sekaligus pencetus aliran pemikiran ini generasi pertamanya adalah Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Mercuse, dan beberapa tokoh lainnya, (Lihat, Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jurgen Habermas, MIT Press, 1982).

Pertama-tama penulis harus sampaikan bahwa konsep demokrasi deliberatif Habermas ini sangat luas dari skema analisa yang terdapat pada keseluruhan gagasan teoritisnya, karena pijakannya terdiri dari berbagai pendekatan perspektif multidisiplin ilmu. 

Sehingga uraian ini pastinya, hanya sekedar mencoba memaparkan relasi yang dimungkinkan pada garis besarnya yang singkat saja. Sebagaimana yang harus ditegaskan kembali bahwa, betapa pentingnya kemudian akan pendalaman konsep tersebut secara komprehensif, sebagai metode analisis terhadap pembacaan situasi perkembangan dan dinamika politik demokrasi keindonesiaan kita. 

Etimologi deliberatif berasal dari kosa kata latin delibaratio atau dalam bahasa Inggrisnya deliberation, artinya konsultasi, menimbang atau "musyawarah", sebagaimana yang terdapat pada asas sila keempat Pancasila dan disempurnakan dengan diksi hikmat kebijaksanaan. 

Ini sangat jelas menjadi dasar rasionalisasi pengujian dan sekaligus sebuah bukti bahwa, begitu luar biasanya kajian Bung Karno dalam menggali dan merumuskan Pancasila sebagai landasan ideologi konstitusi negara kita. 

Demokrasi deliberatif dalam pengertian harfiahnya adalah kualitas demokratisasi itu sendiri dalam pemaknaan idealnya. Sebagai salah satu teori mutakhir sosiologis-filosofis yang mengulas berbagai konteks pendalaman pada terminologi kata kucingnya, berkaitan soal analisa pada struktur masyarakat, konstruksi teori komunikasi, arah emansipasi, respek, kesetaraan (egaliter), dan urgensi kritik terhadap "legitimasi kekuasaan". 

Tentang bagaimana membangun metodologi pengujian atas sistem politik demokrasi atau dengan kata lain, sejauh mana keberlangsungan sistem validasi keabsahan "landasan rasionalisasi implementasi kekuasaan itu berproses". (Lihat, Demokarsi Deliberatif, Prof. Dr. F. Budi Hardiman. Pustaka Filsafat Kanisius 2009, Yogyakarta) 

Indonesia dalam kenyataan kebhinnekaannya memang sangat unik dan sekaligus memiliki kompleksitas permasalahannya. Dari seluruh keluasan cakupan berbagai perspektif teori demokarsi deliberatif para sosiolog lainnya, Habermas lebih mengarahkan pada pijakan faktual internalnya. 

Menurut Habermas, penerapan proses demokarsi deliberatif itu tidak boleh dicangkokkan dari sistem di luar masyarakatnya, tapi justru harus berasal dari pijakan nilai-nilai dan konsensus normatif sistem politik demokarsi yang sudah terdapat pada   masyarakat dan instrumen negara itu sendiri. 

Sebagaimana kalau kita mencermati kembali, terdapat lima diksi dalam asas Pancasila yang sebenarnya menjadi fokus kajian pemikiran Bung Karno yakni, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan. Bahwa prinsip "musyawarah dan keadilan" berisisan atau saling mengafirmasi sebagai fokus analisa pendekatan teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Habermas dan para sosiolog lainnya.

Keadilan itu sendiri adalah tujuan yang sangat diimpikan seluruh sistem demokrasi di berbagai belahan dunia, walaupun dalam wacananya kita begitu sangat akrab tapi maknanya begitu asing, karena sering tereduksi atau dimanipulasi sedemikian rupa oleh bentuk kepentingan politik-ekonomi kekuasaan jangka pendek. 

Sehingga Pancasila sebagai prinsip cita-cita luhur dalam membangun politik demokrasi berkeadaban harus terimplementasi pada pendalamanan budaya diskursif-rasionalitasnya, dengan harapan agar realitanya tidak lagi mudah tersandera oleh berbagai "kepentingan predatorik". 

Mengintegrasikan diskursus arah asas Pancasila

Sisi lannya konsep demokrasi deliberatif sebagai salah satu cakupan pembahasan dari perspektif filsafat, tidak sekedar terhenti pada instrumen negara dari hukum yuridis dan teknis politis. Tetapi lebih pada penajaman ide gagasannya dalam mengakomodir dinamika perkembangan muatan diskursifnya, sebagai tujuan pencapaian solusi berbagai masalah atau hambatan kebuntuan aspirasi opini keinginan dan masalah faktual di ruang publik kita. 

Konstruksi muatan komunikasi dua arah antara ruang "politik publik" dan kekuasaan harus berdasarkan proses diskursus pada penekanan validasi rasionalitasnya secara terbuka. Singkatnya, keabsahan sebuah penetapan norma kebijakan oleh produk kekuasaan harus benar-benar teruji oleh proses diskursif dalam berbagai dinamikanya. Maka dari konteks normatif institusionalnya struktur eksistensi komunikasi dua arah tersebut, harus terus menerus dapat diakses untuk langkah perbaikan atau koreksi di setiap saat. 

Mengutip kembali Bung Karno, "Malam itu aku menggali, menggali dalam ingatanku, ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi di Indonesia ini, agar supaya apa yang terpendam itu dapat dipakainya sebagai dasar negara Republik Indonesia yang akan datang. 

Sudah terbukti bahwa Pancasila yang saya gali dan saya persembahankan kepada rakyat Indonesia, adalah bahwa benar-benar satu dasar yang dinamis, satu dasar yang benar-benar dapat menghimpun segenab tenaga rakyat Indonesia. Satu dasar yang benar-benar dapat mempersatukan rakyat Indonesia, bukan saja satu dasar untuk mencetuskan revolusi, tapi bagaimana mengakhiri revolusi dengan hasil yang baik. 

Ungkapan visioner Sang Proklamator, memiliki kedalaman dan sekaligus keluasan akan maknanya. Pesan tersebut sangat jelas pada penekanan harapannya bahwa, agar senantiasa bangsa Indonesia terus membangkitkan kekuatan "rasionalitas-kesadaran" dengan pondasi semangat kearifan nilai luhur Pancasila secara konsisten, dalam membangun visi peradaban proses politik demokrasinya. 

Artikulasi sederhananya, adalah tentang bagaimana kemudian mengintegrasikan asas mata air kecemerlangan Pancasila sebagai landasan kontekstulisasi nilai-nilai diskursifnya menuju arah demokrasi delibartif itu sendiri.

 

kurator Fransiska Silolongan

Quote