Jakarta, Gesuri.id - Beberapa lembaga keuangan dunia memperkirakan Indonesia bakal menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Salah satunya adalah McKinsey yang menyebut di 2030 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ada di peringkat 7 di dunia.
Sementara Center for Economic and Bussiness Research juga memperkirakan di tahun 2035 Indonesia akan menduduki posisi ke-8 dalam ekonomi dunia. Bahkan The Economist Inteligence Unit memperkirakan pada 2050 mendatang akan menjadi negara ke-4 di dunia dengan pertumbuhan ekonomi terbesar.
Ramalan dari lembaga-lembaga kredible tersebut tentu bukan berdasarkan nujum, tetapi ada analisa logis yang mendasarinya. Di samping itu juga dibutuhkan satu pra-kondisi yang menjadi syarat perlu dan syarat cukup bagi pertumbuhan yang berkelanjutan di masa mendatang, yaitu proses suksesi kepemimpinan nasional yang berlangsung damai, aman dan menghasilkan pemimpin yang mampu melanjutkan kesinambungan pembangunan yang sudah dijalankan saat ini.
Salah dalam memilih pemimpin akan membuat Indonesia mandeg dan tertinggal dari negara-negara lain. Tulisan ini akan membahas sosok yang tepat dengan pisau analisa Path Dependence yang dikemukakan oleh para ekonom. Teori Path Dependence terinspirasi oleh pendekatan Evolutionary Economic yang dikembangkan Nelson dan Winter (1982).
Teori Path Dependence pada hakekatnya mengatakan bahwa keputusan yang diambil seseorang saat ini, pada hakekatnya merupakan akumulasi dari keputusan dan pengalaman yang sudah diambil atau dialaminya di masa lampau. Untuk lebih mudah memahami teori ini maka saya mengadopsinya pada ranah individu dengan menggunakan konsep rekam jejak. Rekam jejak seorang pemimpin tidak mungkin dibangun dalam waktu singkat, tetapi membutuhkan waktu panjang.
Dari rekam jejak ini mudah diketahui tiga hal penting, yaitu karakter dan reputasi, kompetensi dan kapasitas. Pertama adalah karakter dan reputasi seorang pemimpin yang akan terlihat dengan gamblang, bukan cuman ketika dia memimpin, tetapi juga ketika dia berjuang untuk meraih kursi kepemimpinan. Kesetiaannya kepada NKRI, Pancasila, UUD NRI 1945 dan Kebhinnekaan adalah modal dasar yang teruji lewat perjalanan waktu.
Dalam dunia politik, kita semua bisa menilai siapa saja tokoh atau pejabat yang tega menghalalkan segala acara untuk mencapai ambisinya, tega mempertaruhkan keutuhan bangsa, tega mengkorupsi uang rakyat, atau tega mengorbankan kepentingan umum untuk mengutamakan kepentingan kelompoknya.
Kedua adalah kompetensi yang menggambarkan kemampuan seorang pemimpin dalam mengorkestrasi semua sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan organisasi yang dipimpinnya. Kompetensi ini juga merupakan akumulasi dari kemampuan yang dibangun sepanjang perjalanan kariernya. Ilustrasi yang paling mudah untuk menggambarkan soal kompetensi adalah ketika mobil Mercedez saya mogok dan tidak bisa distarter.
Setelah menghubungi Emergency Road Assitance Mercedez, teknisinya datang dan hanya dalam waktu 10 menit dia bisa menyelesaikan persoalan mobil yang mogok. Ternyata penyebabnya adalah putusnya sekering utama (main fuse) yang terletak di bagian bawah kemudi mobil. Ketika saya menyatakan kekaguman saya akan kompetensinya, dengan ringan si teknisi menjawab bahwa untuk bisa menyelesaikan kasus ini dalam 10 menit, dia sudah menjadi kepala teknisi di bengkel Authorized Dealer Mercedez selama 15 tahun.
Kembali pada dunia politik, tokoh yang berkompeten adalah mereka yang “benar-benar” sukses mengangkat kesejahteraan rakyat. Masyarakat umum bisa menilai manfaatnya secara rasional, bukan karena sentimen tertentu. Tokoh-tokoh berkompeten umumnya punya ide kreatif dan mampu memastikan bahwa idenya terimplementasi dengan baik. Sebaliknya, tokoh yang tidak berkompeten lebih banyak berencana, membangun citra (yang tidak sesuai dengan kenyataan), atau hanya melahirkan solusi jangka pendek yang tidak bermanfaat dalam jangka panjang. Tokoh yang tidak berkompeten juga cenderung hanya sekedar memenuhi janji politiknya, tapi tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Ketiga adalah kapasitas yang menggambarkan potensi kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Ibarat mobil, ini adalah kapasitas mesinnya atau yang lebih dikenal dengan cc. Semakin besar kapasitas mesin mobil, maka akan semakin aman, nyaman dan mampu menjelajari semua jenis medan jalanan yang dilalui. Ini jelas diperlukan ketika menghadapi tantangan medan yang berlumpur dan tidak rata, misalnya, mobil dengan kapasitas mesin 1000 cc dan roda penggerak 4x2 akan mengalami kesulitan bahkan mogok. Sedangkan yang 4000 cc dengan roda penggerak 4x4 bisa melaluinya dengan mudah.
Dalam kaitannya dengan Indonesia, maka tantangan yang akan dihadapi bangsa ini ke depan tentu tidak selalu mulus. Persaingan antar negara untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, tentu membutuhkan kapasitas pemimpin yang besar yang mampu membawa Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut.
Dalam dunia politik, faktor ini bisa dilihat pada tokoh atau pejabat yang tetap mampu berpretasi pada level-level yang lebih tinggi. Jika tidak ada prestasi saat memimpin organisasi yang lebih kecil, mengapa harus dipaksakan menjadi pemimpin di organisasi yang lebih besar? Jika sebagai bupati tidak menghasilkan perubahaan positif yang bisa dirasakan rakyat banyak, mengapa harus dipaksakan menjadi gubernur. Dan gubernur yang “biasa-biasa” saja atau bahkan tidak punya prestasi, apakah harus dipaksakan menjadi menteri atau Presiden?
Sebagai kesimpulan, konsep Path Dependence atau Rekam Jejak ini sangat bagus digunakan untuk menganalisa siapa yang paling cocok dalam memimpin sebuah organisasi, apalagi untuk organisasi sebesar Indonesia. Rekam jejak membutuhkan proses yang panjang dan akan mampu menunjukkan karakter dan reputasi, kompetensi dan kapasitas seorang pemimpin. Rekam jejak jelas bukan jejak yang direkam dan diposting di media sosial.