Ikuti Kami

Bamusi Dukung Kriteria Penceramah Radikal Yang Dirilis BNPT

Mubaligh anti Pancasila dengan alasan apapun, termasuk alasan mendirikan Khilafah internasional adalah sangat berbahaya.

Bamusi Dukung Kriteria Penceramah Radikal Yang Dirilis BNPT
Ketua Umum Bamusi Hamka Haq.

Jakarta, Gesuri.id - Ketua Umum Bamusi Hamka Haq, menegaskan, PP Bamusi menyatakan sikap sangat mendukung kriteria yang dirilis BNPT. 

Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT)  mengeluarkan rilis soal Kriteria Penceramah (Mubaligh) Radikal, yang ditolak keras oleh kalangan tertentu, terutama oleh mantan FPI, HTI serta simpatisannya, alumni 212, dan bahkan dari oknum pengurus MUI Pusat.

Hamka menegaskan, mubaligh anti Pancasila dengan alasan apapun, termasuk alasan mendirikan Khilafah internasional adalah sangat berbahaya. Sebab mereka ingin menghancurkan NKRI yang berlandaskan Pancasila.

Baca: Rapidin Lantik Pengurus DPC Bamusi Deli Serdang

"Sementara gagasan Khilafah itu sendiri sampai sekarang tidak disepakati oleh ulama sedunia, terutama di Timur Tengah, antara lain Saudi, Mesir, Yordan, Libanon, Siria, Libya, Turki.  Karena itu Hizbut Tahrir (HT) penggagas khilafah menjadi ormas terlarang di negara-negara tersebut, jauh sebelum Indonesia melarangnya," papar Hamka, Sabtu (19/3). 

Hamka melanjutkan, mubaligh yang selalu mengkafirkan komunitas yang bukan Muslim, adalah muballigh yang tidak cermat membaca sejarah hidup Nabi Muhammad SAW.  Hamka menegaskan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika itu memperlakukan umat agama lain di Madinah dan sekitarnya dengan penuh kesejukan dan kedamaian. 

Kaum musyrikin di Mekah, yang tadinya disebut kafir, jika tetap setia mematuhi perdamaian damai dengan Nabi dan tidak lagi menyakiti umat Islam, kelompoknya disapa dengan sebutan, al-mu’ahidun (pihak mitra perdamaian) atau ahlu al-mtsaq, yang harus diperlakukan dengan baik, tidak boleh diperangi, dan tidak ekspilisit disebut kafir.  Hal itu terungkap dalam Q.S. al-Tawbah, (9): 7, dan Q.S.al-Nisa’ (4): 92. 

"Demikian juga kaum Yahudi dan Nashrani yang berada di Madinah dan sekitarnya, pasca tersusunnya Piagam Madinah, tidak juga disapa dengan sebutan kafir, tetapi langsung disebut sesuai agamanya, yakni Yahudi atau Nashrani. Bahkan Al-Quran menyebutnya secara terhormat sebagai ahli al-kitab," ungkap Hamka. 

Dalam Piagam Madinah, sambung Hamka, mereka justru disebut sebagai umat. Sekali lagi sebagai umat, yang status, hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara Madinah sama persis dengan umat Islam. 

Salah satu isi Piagam Madinah berbunyi:  “Wa inna Yahudi Bani ‘Auf, ummatun ma’a al-mu`minin, lil Yahudi dinuhum, wa lil Muslimin dinuhum.” (Kaum Yahudi Bani ‘Auf adalah umat bersama kaum Mukminin, bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka”). Hal itu selengkapnya bisa dibaca dalam Sirah Ibn Hiysam, Juz I, h. 501-503.

"Dengan demikian, maka segenap umat agama lain dan penghayat kepercayaan di Indonesia yang hidup damai bersama umat Islam di bawah payung Pancasila, yang semangatnya sama dengan Piagam Madinah, semua tidak disebut kafir, tetapi mereka adalah ahli kitab atau sebut saja sesuai agamanya yakni Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu.  Dan para penghayat Kepercayaan, dan penganut agama-agama lokal, disebut Mu’ahidun atau Ahlu al-tsaq," papar Hamka.

Hamka melanjutkan, mubaligh yang memposisikan dirinya sebagai anti pemerintahan yang sah, terbukti tidak lagi sebatas menyampaikan kritik amar ma’ruf nahi munkar, tetapi sudah cenderung menghujat, memfitnah bahkan menghina para pemimpin Negara kita.  Mantan Imam Besar FPI, contohnya, menyebut Presiden Jokowi sebagai Presiden illegal (tidak sah). 

Menurut Bamusi, jika sikap seperti ini dibiarkan pada gilirannya akan menghasut umat untuk membenci pemerintah yang sah, bahkan berusaha melawan pemerintah dengan berbagai bentuk kegaduhan yang selangkah lagi bisa menyamai tindakan teroris. 

 Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas, Nabi SAW bersabda: “Man kariha min `amirihi syay`an, fal yashbir, fainnahu man kharaja min sulthan syibran, mata miytatan jahiliyah” (Barang siapa tidak menyenangi sesuatu dari Pemerintah, hendaklah sabar, karena sesungguhnya siapa saja yang berpisah dari tatanan Pemerintah (Sultan), niscaya ia mati dalam keadaan jahiliyah)” (Shahih Bukhari, juz 9, h. 47, nomor: 7053.)

Hadits senada dengan itu juga terdapat dalam Shahih Muslim, Sunan  al-Nasa`iy, Sunan al-Adarimiy, dan Musnad Imam Ahmad.

"Dan sikap eksklusif, tidak mau berbaur dengan yang bukan Muslim, adalah sangat berbeda dengan sikap Rasulullah SAW dan para sahabat yang hidup damai bertetangga dengan kaum Yahudi di negara Madinah.  Mereka pernah menyantuni tetangganya Yahudi dengan membagikan daging kurban," ungkap Hamka. 

Baca: Hamka Haq Dukung Sabam Sirait Jadi Pahlawan Nasional

Dalam Tafsir al-Qurthubiy disebutkan: 

“Qala al-Nabiy SAW li ‘Aisyah ‘inda tafriqil lahmi al-adh-hiyah, ibda`iy bi jarina al-yahudiy (Bersabda Nabi SAW pada Aisyah, ketika pembagian daging kurban: ‘dahulukanlah tetangga kita Yahudi itu)”. (Tafsir Al-Qurthubi, Juz V, h. 188.)  

Demikian pula, sambung Hamka, muballigh yang sangat benci, bahkan mengambil tindakan merusak budaya lokal masyarakat, yang masih dipertahankan oleh penganut keyakinan lain, adalah jelas-jelas merupakan tindakan radikal berutal, yang mengarah ke tindakan teroris. 

Seolah-olah mereka merupakan hakim kebenaran yang berhak menghukum siapa saja yang berbeda dengan keyakinannya. 

" Al-Qur’an sangat melarang umat Islam menghina dan apalagi merusak milik penganut keyakinan lain, sebagai mana firman Allah SWT: 'Wala tasubbuw al-ladzina yad’una min duni Allahi fayasubuw Allaha ‘adwan bi ghayr ‘ilmin” (Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan'). Hal ini terdapat dalam Q.S.Al-An’am (6): 108)," papar Hamka.

Quote