Ikuti Kami

Pandangan PDI Perjuangan Terkait Relasi Kebudayaan dan Agama

Upaya memajukan kebudayaan itu berangkat dari semangat untuk menguatkan kembali kebhinekaan dan ideologi Pancasila Bangsa

Pandangan PDI Perjuangan Terkait Relasi Kebudayaan dan Agama
Ketua Bidang Keagamaan DPP PDI Perjuangan periode 2015-2019 Prof Hamka Haq

Sanur, Gesuri.id - Dalam Kongres V PDI Perjuangan, masalah kebudayaan menjadi salah satu fokus utama untuk dibahas sehingga menjadi sikap politik dan ketetapan hasil kongres. 

Upaya memajukan kebudayaan itu berangkat dari semangat untuk menguatkan kembali kebhinekaan dan ideologi Pancasila Bangsa ini yang memang digali dari akar budaya bumi Indonesia.

Untuk merespon masalah tersebut, Gesuri berkesempatan untuk mewawancarai Ketua Bidang Keagamaan DPP PDI Perjuangan Prof. Hamka Haq yang juga Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Kamis (8/8/2019). Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana posisi PDI Perjuangan dalam menyikapi masalah kebudayaan kita yang sudah mulai tergerus arus globalisasi dan seperti apa benturan antara budaya dan agama di Indonesia? 

Masalah budaya begitu luas cakupannya. Bukan hanya produk kesenian saja. Di PDI Perjuangan, khususnya Bamusi ada NU dan Muhammadiyah, bahkan kita mengambil istilah Islam Nusantara yang Berkemajuan. Artinya Islam Nusantara yang tetap memelihara budaya tapi budaya yang kita pelihara adalah budaya yang memberikan nuansa kemajuan bagi masyarakat. Budaya yang masih bisa kita teruskan, kita teruskan. Terutama budaya-budaya yang mengandung kearifan lokal. 

Contohnya apa saja?

Misalnya kalau di Ambon ada telagandon. Di Papua ada bakar batu. Dimana tradisi tersebut berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim atau mendamaikan kelompok yang sedang bertikai.

Di Sumatera Utara ada Dalihan Na Tolu, itu juga budaya yang patut dilestarikan karena ada kearifan lokalnya. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. 

Lalu seperti apa strategi memajukan kebudayaan kita agar benar-benar memiliki karakter kepribadian Indonesia?

Budaya-budaya lain yang sifatnya fisik bisa dilestarikan dengan catatan kalau menurut Budayawan tersohor zaman Orde Lama, Sutan Takdir Alisjahbana, ia melihat ada tiga tahap yang harus dilakukan dalam memperbaiki budaya. 

Pertama, Sutan Takdir menyebut, memurnikan budaya itu dari unsur-unsur animismenya. Tetapi fisiknya tetap dilaksanakan. 

Seperti ritual tanam kerbau kalau ada pembangunan jembatan atau jalan. Dulu-dulu kan begitu. Itu hanya bisa dilakukan dengan syarat bahwa hanya secara fisiknya saja, bukan lagi mantra-mantra ke para Dewa. 

Pemurnian secara akidah, tapi fisiknya hanya sebagai euforia saja atau kebiasaan. Jadi kalau habis tanam kerbau, dagingnya dimakan dengan doa. Kalau Kristen dengan doa Kristen. Islam dengan Islam.

Tetapi doanya kepada dewa diganti dengan doa-doa sesuai agama dan keyakinan. Bukan lagi mantra-mantra.

Kemudian strategi perbaikan budaya yang kedua menurut Sutan Takdir ialah inovasi budaya. Itu artinya bukan lagi 100 persen sama dengan ajaran lama. Tetapi dia sudah ada bentuk-bentuk barunya.

Kemudian tahap selanjutnya, masyarakat tertentu mungkin hanya namanya saja yang sama, tapi bentuk-bentuknya sudah berubah semua.

Misalnya namanya selametan, tapi bentuk acaranya sudah berubah. Karena kalau sekaligus langsung dirubah, masyarakat akan kaget juga.

Nah belakangan ini mulai mencuat persoalan benturan kebudayaan dengan agama. Prof melihatnya seperti apa? 

Tapi sebenarnya, itu kalau kita menyikapi budaya-budaya yang secara fisik. Tadi saya bilang ada budaya yang tidak fisik seperti talegandong, Dalihan Natolu, kan itu konsep dalam arti pergaulan. Tidak berarti fisik apa. Kalau misalnya di Toraja ada tongkonan, dimana duduk bersama beda agama tidak masalah dalam satu keluarga.

Dalihan Natolu juga begitu. Tungku (untuk makan) bertiga untuk satu. Orang-orang Batak yang beda agama sesama marga biasa. Lebih akrab. Di Karo lebih-lebih lagi, karena di sana beda agama tidak masalah. Tapi harus sama-sama Karo.

Sama juga dengan budaya Jawa: makan atau tidak makan asal kumpul. Itu semua budaya secara tidak fisik, tapi bagus untuk dilestarikan karena mengandung kearifan lokal yang mampu mempersatukan masyarakat.

Bagaimana mengembalikan semangat gotong royong kita dalam mengejawantahkan kebudayaan asli Indonesia?

Lebih dari itu budaya yang secara filosofis juga kita miliki dan mampu mencirikan Indonesia, walaupun Indonesia dalam kemajuannya, kita kan tetap ingin berkemajuan. Membangun rumah sakit berkemajuan, sekolah berkemajuan, dsb.

Ciri Indonesia kan bukan kapitalis, tapi ciri gotong royong. Contohnya, rumah sakit kita sekarang ini sudah banyak yang mencerminkan rumah sakit kapitalis. Kenapa? Karena mereka sudah lebih mementingkan keuntungan dari rumah sakit, ketimbang budaya gotong royong.

Jadi semakin kaya orang, semakin bagus pelayanannya. Padahal rumah sakit itu fungsinya menolong masyarakat. Jadi misalnya ada orang miskin yang sakit, ya diterima juga dengan pelayanan yang sama juga dengan yang lainnya, karena setiap manusia sama-sama mau hidup.

Kalau misalnya dia kurang-kurang sedikit, ya gotong royong kita bantu. Jadi mungkin, yang kaya bayar mahal, dari pembayaran mahal ini kemudian disilang. Kalau ada orang miskin, kalau perlu gak usah bayar. Mangan ora mangan asal kumpul.

Jadi itu juga bagian dari konteks kebudayaan?

Ya, itu juga bagian dari kebudayaan. Supaya rumah sakit tetap berbudaya Indonesia. Sama dengan misalnya perguruan tinggi / sekolah pada umumnya yang bayarannya tinggi, sudah menjadi kapitalis. Karena yayasannya mau untung, terus bikin lagi sekolah. Sudah seperti industri.

Beda dengan semangat awal dulu pesantren yang tidak mencari keuntungan. Tapi mengajar masyarakat sekitarnya supaya cerdas, sehingga menjadikan kiyai itu dicintai dan menjadi panutan rakyat.

Tapi sekarang banyak pesantren yang berubah menjadi industri. Modern dan mahal. Ini ditunjang oleh informasi  di medsos, yang seolah-olah pesantren modern memang mahal.

Padahal itu mungkin sudah lepas dari budaya Indonesia. Bagaimana ada tolong menolong. Karena kalau tidak bayar atau telat bayar dikeluarkan. Sama seperti koperasi yang merupakan ekonomi gotong royong. Dan itu jati diri / soko guru ekonomi kita.

Quote