Ikuti Kami

Wawasan Kesetaraan Nihil, Revisi UU Perkawinan Alot

Tak bisa digeneralisir bahwa pakaian perempuan-lah yang menyebabkan munculnya hasrat.

Wawasan Kesetaraan Nihil, Revisi UU Perkawinan Alot
Penulis sekaligus kader PDI Perjuangan, Kanti W Janis. (Foto: gesuri.id/Hiski Darmayana)

Jakarta, Gesuri.id - Penulis sekaligus kader PDI Perjuangan, Kanti W Janis mengatakan lambannya proses revisi Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 pasal 7 tentang batas usia perkawinan perempuan disebabkan karena banyak anggota DPR-RI yang tidak memiliki wawasan kesetaraan gender. 

Kanti mengaku pernah mengikuti sebuah diskusi di DPR-RI yang dihadiri oleh beberapa anggota dewan dari partai tertentu, yang masih menilai pakaian perempuan memicu timbulnya hasrat asusila.

Baca: Baleg DPR Harus Segera Revisi UU Perkawinan

Padahal, bagi banyak orang dari beragam budaya, pemicu hasrat untuk berbuat asusila itu berbeda-beda. Sehingga Kanti menilai tak bisa digeneralisir bahwa pakaian perempuan lah yang menyebabkan munculnya hasrat itu.

"Dari situlah tampak bahwa banyak anggota DPR yang masih belum memiliki wawasan kesetaraan gender, sehingga berpikiran diskriminatif pada perempuan. Nah, hal itu menyebabkan mereka juga enggan memproduksi regulasi yang tidak diskriminatif bagi kaum perempuan, seperti dalam kasus UU Perkawinan ini," ujar Kanti kepada Gesuri, baru-baru ini. 

Kanti, yang merupakan anggota Balitbang PDI Perjuangan ini mengatakan agama juga sering dijadikan alasan bagi para pihak yang tak memiliki wawasan kesetaraan, untuk tetap melanggengkan diskriminasi gender. Termasuk dalam hal perkawinan dini bagi perempuan.

"Mereka dalam menafsirkan agama seringkali tidak kontekstual, sehingga menyebabkan mereka selalu berpikir diskriminatif," ujar Kanti.

Kanti menegaskan,bila Indonesia ingin maju, semua diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan harus dikikis. Sebab, lanjut Kanti, perempuan adalah ibu bagi bangsa.

"Bagaimana kita sebagai bangsa bisa maju bila terus melecehkan 'ibu' kita, yakni kaum perempuan," kata penulis novel Saraswati ini.

Oleh sebab itu, Kanti mengusulkan agar para anggota DPR diberikan Focus Group Discussion agar memiliki wawasan kesetaraan gender.

"Dengan begitu, mereka juga akan mengerti pentingnya usia pernikahan bagi perempuan itu diatur, apalagi ada ancaman ledakan penduduk," kata Kanti. 
 
Seperti diketahui,  beberapa waktu lalu MK membatalkan ketentuan dalam pasal 7 UU Perkawinan Nomor 1/1974 yang menetapkan batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. MK menyatakan ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945  dan UU Perlindungan Anak. 

Baca: Uji Materi UU Perkawinan, DPR Siap Tindaklanjuti Putusan MK

Dalam UU Perlindungan Anak memang disebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sehingga UU Perkawinan itu melanggengkan perkawinan dini yang berdampak buruk bagi perempuan.

Oleh karena itu, UU Perkawinan harus segera direvisi oleh DPR dan pemerintah. Namun, hingga kini, proses revisi UU Perkawinan masih belum tuntas. 

Perkawinan usia anak di Indonesia memang sudah masuk pada fase darurat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016-2017, Indonesia adalah negara yang mempunyai prevalensi perkawinan usia anak tertinggi di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Rata-rata 25% dari perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun.

Quote