Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira mengingatkan agar proyek penulisan ulang sejarah RI tak mengulang proyek yang sama di masa Orde Baru.
Politisi PDI Perjuangan itu menilai penulisan sejarah bukan hanya untuk memuliakan rezim penguasa. Apalagi dengan menutupi kasus pelanggaran HAM hingga mendiskreditkan lawan politik.
Baca: Ganjar Ungkap Hal Ini Akan Usulan Solo Jadi Kota Istimewa
Menurut dia, sejarah nasional tak bisa diklaim sebagai narasi tunggal penguasa atau yang biasa disebut history written by the winner.
"Saya kira kita jangan mengulangi sejarah penulisan sejarah Orde Baru yang ditulis hanya untuk memuliakan rejim berkuasa pada saat itu, menutupi pelanggaran HAM, mendiskreditkan/bahkan menghukum sejarah psikologi lawan politik," kata Andreas saat dihubungi, Senin (2/6).
Pernyataan itu ia sampaikan merespons rencana Kementerian Kebudayaan tak akan memasukkan daftar 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara. Proyek ini disebut hanya akan memasukkan dua kasus pelanggaran HAM berat saja.
Lebih jauh, mantan anggota Komisi bidang Pendidikan DPR itu juga mengingatkan agar proses penulisan ulang sejarah dilakukan secara terbuka. Menurut dia, proyek penulisan ulang sejarah harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Baca: Ganjar Pranowo Belum Pastikan Maju Pada Pilpres 2029
Andreas mengingatkan bahwa penulisan sejarah bisa memicu perdebatan publik jika dilakukan secara tertutup dan eksklusif. Pemerintah, lanjut dia, harus membuka daftar penulis yang terlibat dalam proyek tersebut.
"Seharusnya sejarah ditulis oleh para ilmuwan Sejarah, untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang jati diri bangsa, serta prosesnya harus transparan, melalui riset akademik sehingga bisa dipertanggungjawabkan keilmiahan," katanya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya mengungkap bahwa hanya ada dua pelanggaran HAM berat yang akan ditulis dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional. Dia belum merinci dua kasus HAM yang akan masuk proyek tersebut.