Jakarta, Gesuri.id - Gubernur Bali Wayan Koster menargetkan tutupan hutan di Pulau Dewata harus mencapai minimal 30 persen dalam dua tahun ke depan.
Target ambisius tersebut kini menjadi pekerjaan besar bagi Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali.
Kepala DKLH Bali, I Made Rentin, mengungkapkan, saat ini luas daratan Bali mencapai 563 ribu hektare, sementara tutupan hutannya baru 136 ribu hektare atau sekitar 24,27 persen.
Baca: Ganjar Dukung Gubernur Luthfi Hidupkan Jogo Tonggo
“Regulasi mengamanatkan minimal 30 persen. Gubernur sudah menegaskan kepada saya, target itu harus tercapai maksimal dua tahun sejak 2025. Selain urusan sampah, tutupan hutan ini juga jadi prioritas,” ujar Rentin.
Rentin juga menanggapi pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol, yang sempat menyebut tutupan hutan di DAS Ayung hanya 3 persen.
Menurutnya, data terkini menunjukkan angka 3,11 persen dan kondisi di lapangan tidak separah yang diberitakan.
“Tidak bisa dihitung tutupan hutan saja. Di luar kawasan hutan juga ada vegetasi seperti semak belukar, tanaman hias, dan perkebunan. Kalau dihitung keseluruhan, tutupan vegetasi mencapai 43–44 persen. Jadi, sempadan sungai di DAS Ayung tidak separah yang disebutkan,” tegas mantan Kepala Pelaksana BPBD Bali itu.
Lebih lanjut, Rentin menjelaskan bahwa tutupan hutan di dalam kawasan kehutanan Bali justru mencapai hampir 70 persen.
Namun, persoalan serius muncul akibat alih fungsi lahan di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura), termasuk adanya penerbitan sertifikat hak milik (SHM) di lahan hutan lindung.
Menurutnya, proses hukum pengembalian lahan Tahura yang disertifikatkan secara tidak sah sudah berlangsung sejak 2014 hingga 2016.
“Teman-teman di Dinas Kehutanan saat itu sudah menemukan patok batas kawasan yang masuk ke bangunan dan infrastruktur, salah satunya sekolah,” ungkapnya.
Salah satu contoh adalah SMAN 2 Kuta, yang diketahui berdiri di atas lahan Tahura dan bahkan tapal batas kawasan hutan melewati ruang kelas sekolah tersebut.
“Pemkab Badung membeli lahan itu dari desa adat dengan sertifikat hak milik, padahal faktanya masuk kawasan Tahura,” beber Rentin.
Ia juga menegaskan, isu mengenai pengusaha asal Rusia yang memiliki usaha di kawasan Tahura tidak benar.
“Itu di luar kawasan. Berdasarkan peta satelit dan SK Menteri Kehutanan, lahan tersebut tidak termasuk Tahura,” ujarnya menepis isu tersebut.
Sementara itu, DKLH kini masih memproses sejumlah kasus lahan yang teridentifikasi berada di dalam tapal batas Tahura.
Jika pemilik tetap mempertahankan SHM, pihaknya tidak akan ragu untuk menempuh jalur hukum.
“Ada yang milik pribadi, ada juga sekolah. Tapi yang paling banyak rumah pribadi,” jelas Rentin.
Pemprov Bali, kata Rentin, telah memenangkan sejumlah perkara serupa di pengadilan pada periode 2014–2016.
Baca: Mengulik Gaya Kepemimpinan Transformasional Ganjar Pranowo
Saat ini, pihaknya tengah mengajukan pembatalan 11 sertifikat hak milik ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena diyakini berada di kawasan Tahura.
“Itu secara nyata masuk kawasan hutan. Salah satunya SMAN 2 Kuta, yang lokasinya memang di dalam area Tahura,” tegasnya.
Ia menegaskan, langkah hukum baru bisa dijalankan setelah BPN resmi mencabut SHM tersebut.
“Kita sudah bersurat ke BPN sejak Maret. Kalau belum ada pencabutan, belum bisa dieksekusi. Harus clear dulu,” pungkasnya.