Ikuti Kami

Mercy Barends Gelar Seminar “Semarak Budaya: Perempuan dan Budaya Wakat” 

Desa Karangguli dikenal sebagai desa wisata dengan potensi ekowisata.

Mercy Barends Gelar Seminar “Semarak Budaya: Perempuan dan Budaya Wakat” 
Anggota Komisi X DPR RI, Mercy Chriesty Barends.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi X DPR RI, Mercy Chriesty Barends, menggandeng Kementerian Kebudayaan menggelar seminar bertajuk “Semarak Budaya: Perempuan dan Budaya Wakat” di desa Karangguli, Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Minggu (26/10).

Kegiatan yang dilaksanakan di lokasi wisata Wakat menciptakan suasana yang unik dan berbeda. Peserta tidak hanya menerima informasi, tetapi juga merasakan langsung keindahan dan suasana budaya Wakat.

Desa Karangguli dikenal sebagai desa wisata dengan potensi ekowisata. Seminar ini memperkuat posisi desa dengan menyatukan promosi wisata dan pengkajian budaya lokal.

Baca: Ganjar Pranowo Tekankan Pentingnya Kritik yang Bertanggung

Mercy mengatakan, dalam seminar tersebut Isu yang dibahas adalah keterkaitan antara perempuan dan budaya Wakat, yang menunjukkan adanya upaya untuk memahami peran gender dalam konteks budaya lokal.

“Buat saya selaku anggota DPR-RI dari Komisi X, ketika bicara tentang semarak budaya,
kita melakukan kontekstualisasi terhadap gumulan kita sebagai masyarakat Aru dengan dinamika budaya yang saat ini mulai tergerus karena perkembangan zaman, kurang perhatian dari berbagai pihak dan seterusnya,” ucapnya.

Dikatakan, kegiatan yang berlangsung di Karangguli bagaimana kita ingin memastikan bahwa budaya dan wakat perempuan adalah satu kesatuan ikatan yang sangat luar biasa.

Perempuan sebagai salah satu sumber penurun peradaban generasi masyarakat Adat di kabupaten Kepulauan Aru ini juga, kata Mercy secara fundamental, spiritual, kultural, sosiologis dan seterusnya sangat erat kaitannya dengan kosmologis lingkungan yang ada di sekitarnya, terutama wakat atau bakau.

“Jadi masyarakat Aru, hari ini membangun peradabannya terutama dari laut, pesisir dari wakat. Karena dari wakat ada sumber kehidupan, sumber makanan, sumber ekonomi dan seterusnya. Dan dari wakat ini kita membangun sistem nilai, sistem nilai dimana kita menghargai kerja keras, sistem nilai di mana kita bisa menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat Aru, dan sistem nilai dimana kita menghargai terhadap apa yang kita miliki saat ini,” ujarnya.

Mercy juga menyampaikan, sumber daya alam kita di sekeliling wakat-wakat. Disana ada ikan, kepiting bakau, kepiting wakat, kerang dan sebagainya.

“Semua sumber makanan itu bisa dimanfaatkan, tidak hanya untuk konsumsi harian, untuk gisi, tetapi juga untuk perekonomian dan tadi semuanya menjelaskan secara luar biasa termasuk tantangan-tantangan yang dihadapi dalam budaya wakat ini,” jelasnya.

Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri

Selain itu, banyak sekali hutan-hutan wakat dihabisi karena penembangan secara sembarangan oleh masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya menjaga dan melestarikan wakat.

Tetapi disisi yang lain juga kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah provinsi, kabupaten, kota yang tidak berpihak untuk menjaga kelestarian budaya wakat dan eksistensi dari hutan mangrove itu sendiri, serta kapal-kapal yang beredar di lautan Arafura ini lebih dari 1.800 kapal.

“Bayangkan, berbagai jenis limbah, seperti freon bekas, sisa-sisa dari aktivitas MCK (mandi, cuci, kakus), dan kotoran lainnya, semuanya dibuang ke laut dengan begitu banyaknya seolah-olah tidak ada harganya dan semuanya terbawa ke pesisir. Dimana dampaknya terlihat jelas di pesisir seperti Karangguli, Wokam, dan Lamerang dan sekitarnya yang kini penuh dengan sampah dan kotoran akibat polusi tersebut,” ungkap Mercy.

Politisi PDI Perjuangan Maluku ini juga menambahkan berdasarkan laporan yang di dapat dari para nelayan, banyak wakat di Aru hancur karena pembuangan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) serta freon bekas ke laut, sehingga tindakan ilegal ini bisa menyebabkan kefatalan bagi kesehatan masyarakat sekitar.

Quote