Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi Vl DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan pentingnya momentum saat ini untuk melakukan pembaruan regulasi ketenagakerjaan.
Menurutnya, dengan pemerintahan yang progresif di bidang ketenagakerjaan, revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus dijadikan warisan bersama untuk memperbaiki nasib pekerja di seluruh Indonesia.
“Mumpung presidennya progresif soal ketenaga kerjaan. Ya, mumpung presidennya progresif dan saya yakin ini akan menjadi legacy kita bersama,” ujar Rieke saat rapat kerja di Komisi IX DPR RI.
Rieke menjelaskan bahwa proses revisi UU 13/2003 sudah mulai berjalan dan melibatkan partisipasi luas dari berbagai konfederasi pekerja.
“Sekarang sudah mulai masuk pada perubahan atas posisi atas Undang-Undang 13/2003. Perubahan tersebut tentang ketenaga kerjaan. Dan hadir di komisi sebelumnya ada 22 konfederasi. Konfederasi tersebut membawa 25 kuda federasi dan generasi membawanya 5-6,” jelasnya.
Ia menegaskan perlunya redefinisi hubungan kerja agar regulasi ketenagakerjaan bisa melindungi semua kelompok pekerja, termasuk mereka yang tidak berada dalam hubungan kerja konvensional.
“Mari kita redefinisi hubungan kerja. Di dalam Undang-Undang 13/2003 pasal satu ketentuan umum angka 15 kalau saya tidak salah hubungan kerja ini masih terkait dengan pengusaha. Namun berdasarkan atas analisis yang cukup lama dan pendampingan terhadap federasi yang bergabung di dalam KRPI, maka perspektif ketenaga kerjaan 13/2003 dengan perubahan geopolitik-geoekonomi dan lahirnya jenis-jenis pekerjaan baru perlu diredefinisi,” tegasnya.
Rieke mencontohkan kelompok pekerja rentan yang selama ini tidak terlindungi payung hukum, seperti pekerja rumah tangga, mitra pekerja platform digital, dosen tidak tetap, hingga tenaga kerja di sektor kesehatan dan pariwisata.
Ia juga mendorong prinsip perlindungan ketenagakerjaan yang mengacu pada konsep trilayak – kerja layak, upah layak, dan hidup layak.
“Prinsip perlindungan untuk lahirnya kami sebut sebagai trilayak pekerja: kerja layak, upah layak, dan hidup layak. Untuk mencapai adanya suatu kesejahteraan amanat konstitusi yaitu terpenuhinya hak rakyat yang bekerja,” tutur Rieke.
Menurutnya, pembahasan regulasi ketenagakerjaan yang baru juga harus mengatur secara komprehensif soal pengupahan, termasuk skala upah, skala usaha, dan upah sektoral.
Ia menyoroti disparitas upah yang terlalu besar antara direksi dan pekerja di BUMN.
“Jadi menurut saya memang kita harus masuk pada persoalan upah ini tidak sepotong-sepotong,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rieke mendorong pengakuan terhadap serikat kerja non-perusahaan dan reformasi lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar akses keadilan bagi semua pekerja semakin inklusif.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi dengan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan sesuai amanat UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Khususnya dalam hal pengawasan ketenaga kerjaan dan pelaksanaan kegiatan terkait peningkatan sumber daya manusia pekerja penempatan dan perlindungan,” ucapnya.
Terakhir, Rieke mengusulkan agar revisi UU Ketenagakerjaan tidak dibuat terpisah-pisah, melainkan disusun dalam bentuk kodifikasi hukum yang sistematis.
“Kalau dari KRPI tidak usah ragu untuk membuat suatu kitab, katakanlah dalam tanda kutip, kitab Sistem Ketenaga Kerjaan Indonesia yang memuat semua pekerja di sektor apapun yang harus dilindungi,” ujarnya.
Rieke menegaskan bahwa momentum saat ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
“Ini adalah kesempatan besar. Menurut saya, mumpung presidennya progresif soal ketenaga kerjaan, mumpung presidennya progresif dan saya yakin ini akan menjadi legacy kita bersama,” pungkasnya.