Ikuti Kami

Utut Adianto Diizinkan Minum Oleh Ketua MK Saat Sidang

Di tengah memberikan keterangan sebagai perwakilan legislatif, Utut tiba-tiba meminta izin kepada majelis MK untuk minum karena merasa haus.

Utut Adianto Diizinkan Minum Oleh Ketua MK Saat Sidang
Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, meminta minum di tengah pembacaan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/10/2025). 

Jakarta, Gesuri.id - Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, meminta minum di tengah pembacaan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/10/2025). 

Di tengah memberikan keterangan sebagai perwakilan legislatif, Utut tiba-tiba meminta izin kepada majelis MK untuk minum karena merasa haus. 

Lantas, bagaimana aturan persidangan di MK terkait dengan makan dan minum di persidangan?

Aturan ini tertuang dalam Pasal 9 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2020 tentang Persidangan Mahkamah Konstitusi. 

Dalam Pasal 9 Ayat 5 dijelaskan larangan bagi pengunjung sidang yang juga berlaku untuk pihak terkait, saksi, dan ahli dalam persidangan.

Larangan makan, minum, dan merokok secara eksplisit tertulis dalam Pasal 9 Ayat 5 Huruf g yang menyebut larangan "makan, minum, dan merokok" saat persidangan berlangsung.

Namun, aturan tersebut tidak berlaku kaku; pemberi keterangan diizinkan untuk minum jika membutuhkan. 

Juru Bicara MK sekaligus hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan, pengecualian larangan tersebut bisa diberikan kepada pemberi keterangan jika kehausan karena harus berbicara menyampaikan keterangannya. 

"Ada pengecualian yang disampaikan dalam persidangan jika pemberi keterangan kehausan karena berbicara atau sedang tidak fit. Minum air secara wajar," kata Enny.

Adapun peristiwa Utut minum di persidangan tersebut terjadi saat ia hadir sebagai perwakilan legislatif dan membacakan keterangan secara langsung di persidangan yang digelar di ruang sidang pleno MK, Kamis siang. 

Utut memberikan keterangan bahwa UU TNI justru mengatur mekanisme pembatasan pelibatan TNI dalam jabatan sipil dengan kriteria khusus lembaga yang membutuhkan latar belakang militer.

Pembatasan ini juga berlaku di berbagai negara demokrasi di belahan dunia lain, seperti Amerika Serikat, India, Prancis, dan Singapura.

"Dengan demikian, ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 menempatkan Indonesia sejajar dengan praktik negara demokrasi lainnya. Sekaligus memastikan partisipasi militer dalam ranah sipil tetap terkendali dan sesuai standar hukum. Saya ulangi, memastikan partisipasi militer dalam ranah sipil tetap terkendali dan sesuai dengan standar hukum," ucap Utut. 

Sebelum melanjutkan keterangannya, Utut kemudian bertanya kepada Majelis Hakim apakah di tengah sidang boleh minum. 

Dia mengeluh karena usianya yang sudah tua sehingga perlu minum air putih.

"Ini di sini nggak pernah boleh minum ya Pak? Sudah tua-tua gini haus," kata Utut. 

"Silakan Pak," kata Ketua MK Suhartoyo. 

"Saya sudah 60 (tahun) Pak," kata Utut lagi. 

Satu menit setelah permintaan minum, air yang diminta Utut datang. 

Ia kemudian meminta izin untuk minum sejenak sambil berkata, 

"Mohon izin, kalau di DPR minum gini ditepokin Pak," ucap dia.

Minum di tengah sidang ini tak hanya sekali dilakukan Utut.

Pada akhir pembacaan keterangan, dia juga meminta izin untuk minum lagi kepada Majelis Hakim. 

Namun kali ini disertai keluhan bahwa dia dalam keadaan kurang sehat, tapi tetap datang ke persidangan untuk pertanggungjawaban atas produk UU TNI yang dibuat bersama eksekutif di hotel mewah Fairmont beberapa waktu lalu tersebut. 

"Mohon izin Pak (minum lagi), ini haus sekali. Kebetulan Pak kami sebenarnya sakit, batuk pilek. Tapi saya ke sini bagian dari dedicated to excellence atas apa yang pernah saya kerjakan," kata Utut.

Adapun sidang uji materi UU TNI dengan nomor perkara 68, 82, dan 92/PUU-XXIII/2025 menyoal beberapa pasal yang dinilai bisa berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan karena keterlibatan TNI dalam ranah sipil. 

Perkara 68 mendalilkan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI disinyalir dapat berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan atas pengangkatan prajurit TNI pada jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan. 

Kemudian, perkara 82 menyebut Pasal 7 Ayat 2 Angka 9 dan Angka 15, serta Pasal 47 Ayat 1 UU TNI membangkitkan kembali dwi fungsi TNI.

Namun, permohonan ini telah dicabut oleh para prinsipal. 

Perkara terakhir, nomor 92, mendalilkan Pasal 53 Ayat 4 UU TNI berpotensi membuka penyalahgunaan wewenang eksekutif.

Sebab, tidak ada mekanisme kontrol atau pengawasan atas keputusan Presiden dalam memperpanjang masa dinas perwira tinggi bintang. 

Dengan demikian, norma a quo dinilai melanggar asas due process of law dan transparansi, karena pemberian perpanjangan bersifat sepihak tanpa melibatkan persetujuan legislatif.

Quote