Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, menekankan penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus mampu menghadirkan keseimbangan kewenangan antara Polri dan Kejaksaan dalam seluruh tahapan proses hukum, mulai dari penyidikan hingga penuntutan.
Ia menilai, koordinasi dan sinkronisasi di antara kedua lembaga penegak hukum tersebut menjadi fondasi penting bagi terciptanya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Menurut I Wayan, selama ini masih terdapat perbedaan pandangan terkait batas kewenangan antara dua institusi tersebut.
“Selama ini penyidik kepolisian merasa memiliki kewenangan penuh dari penyelidikan hingga penyidikan, sedangkan kejaksaan sebagai dominus litis menilai perlu terlibat sejak awal agar proses penegakan hukum lebih efektif dan transparan,” ujar I Wayan dalam Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (8/10/2025).
Ia menambahkan, perbedaan pandangan itu sebaiknya diselesaikan melalui perumusan pasal yang seimbang dan saling menguatkan, bukan dengan meniadakan salah satu kewenangan.
“Kalangan akademisi dan pembuat kebijakan harus bisa menemukan titik temu. Polisi tidak boleh merasa diintervensi, tetapi jaksa juga berhak menjalankan fungsi pengendali perkara sesuai prinsip dominus litis,” jelasnya.
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut juga menyoroti pentingnya adanya batasan waktu penyidikan agar tidak terjadi ketidakpastian hukum. Menurutnya, masih banyak kasus yang berlarut tanpa kejelasan akibat tidak adanya ketentuan waktu yang pasti.
“Harus ada batasan waktu penyidikan yang jelas. Jika dibiarkan terbuka, baik pelapor maupun terlapor akan dirugikan,” tegas I Wayan.
Selain itu, ia menilai perlu adanya pembatasan jumlah pengembalian berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan.
“Kalau dibiarkan, bisa terjadi bolak-balik berkas sampai empat kali atau lebih. Idealnya dua atau tiga kali sudah cukup agar proses hukum lebih efisien,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, I Wayan juga menyoroti penerapan restorative justice yang menurutnya perlu diatur lebih rinci dan diawasi secara ketat. Ia mengingatkan agar pendekatan keadilan restoratif tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Kita tidak ingin ada oknum yang menggunakan mekanisme restorative justice untuk kepentingan pribadi. Proses mediasi harus berjalan alami tanpa tekanan terhadap pihak mana pun,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Dr. Abd. Qohar A.F., S.H., M.H., dalam paparannya menegaskan bahwa penguatan peran jaksa sebagai dominus litis merupakan bagian penting untuk menjaga efektivitas dan konsistensi penegakan hukum.
“Jaksa tidak hanya berperan sebagai penuntut, tetapi juga sebagai pengendali perkara sejak tahap penyidikan. Sinergi antara kepolisian dan kejaksaan harus diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan,” pungkasnya.