Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI sekaligus Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof. Rokhmin Dahuri, menegaskan kepiting bakau memiliki potensi besar sebagai komoditas unggulan dalam mewujudkan ekonomi biru dan ketahanan pangan nasional menuju Indonesia Emas 2045.
"Indonesia tak sekadar menjual kepiting. Kita menjual harapan pesisir, ketahanan pangan, dan ekonomi biru. Saatnya strategi ekspor, riset genetika, dan kemitraan global. Kepiting adalah diplomasi laut. Indonesia adalah jawabannya," jelasnya.
Menurut Prof. Rokhmin, keunggulan nutrisi kepiting dan rajungan—protein tinggi (>22%), rendah lemak, kaya mineral dan omega-3—menjadi daya tarik utama di pasar ekspor global. Saat ini, harga ekspor kepiting hidup berkisar antara USD 12–25 per kilogram, sedangkan daging olahan mencapai USD 18–40 per kilogram. Pasar utama produk ini meliputi Amerika Serikat, China, Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Eropa.
Tren permintaan baik di pasar ekspor maupun domestik menunjukkan pertumbuhan 7–10 persen per tahun. Hal ini menandakan peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisi global melalui strategi budidaya berkelanjutan, peningkatan mutu, serta diplomasi dagang yang efektif.
Namun demikian, Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu juga mengingatkan bahwa di tengah potensi besar, pengelolaan kepiting nasional masih menghadapi berbagai tantangan serius. Kompetitor utama Indonesia dalam ekspor kepiting saat ini adalah Myanmar dan Vietnam, yang sama-sama memproduksi Scylla serrata atau kepiting bakau besar, jenis yang juga menjadi andalan Indonesia.
Tantangan yang dihadapi terbagi ke dalam tiga kategori utama: sumber daya ikan dan lingkungan, sosial ekonomi, serta tata kelola. Dari sisi sumber daya dan lingkungan, penangkapan kepiting bertelur dan di bawah ukuran minimum masih marak, disertai degradasi ekosistem mangrove dan pencemaran perairan. Selain itu, pelaporan hasil tangkapan dalam statistik resmi masih rendah, sementara data ilmiah tentang stok kepiting di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) juga masih terbatas.
Secara sosial ekonomi, keterbatasan akses pembiayaan dan manajemen usaha nelayan menjadi hambatan utama, ditambah rendahnya kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya kelestarian kepiting.
Sementara dari sisi tata kelola, minimnya pembinaan dari dinas kelautan daerah, tumpang tindih kewenangan pengelolaan mangrove, lemahnya penegakan hukum, hingga belum diterapkannya Harvest Control Rule turut memperburuk situasi. Teknologi hatchery dan pembesaran yang belum optimal serta industri pengolahan bernilai tambah yang tertinggal juga menjadi kendala besar.
"Isu-isu ini menjadi penghambat dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai produsen kepiting terbesar dunia. Diperlukan kolaborasi lintas sektor, regulasi berpihak, dan inovasi teknologi untuk menjawab tantangan tersebut," pungkasnya.

















































































