Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi ll DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Romy Soekarno, menilai pidato Megawati Soekarnoputri dalam forum konsolidasi Fraksi PDI Perjuangan di Denpasar merupakan panggilan ideologis yang menyentuh inti dari politik kebangsaan.
Menurutnya, arah tersebut mengisyaratkan kembalinya partai pada kekuatan rakyat dan tanggung jawab sejarah.
“Sejarah tidak selalu datang dengan suara fanfare. Ia kerap tiba dalam bahasa isyarat—dalam gerak yang hanya terbaca oleh mereka yang peka terhadap denyut zaman. Dan kali ini, denyut itu berpijak di Denpasar, ketika Megawati Soekarnoputri, dalam forum konsolidasi Fraksi PDI Perjuangan dari pusat hingga daerah, menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar arahan partai. Ia menyampaikan kredo ideologis, doktrin gerak, dan panggilan pulang: kembali ke rumah rakyat,” kata Romy, dikutip pada Minggu (3/8/2025).
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa arahan Megawati adalah bentuk koreksi terhadap cara berpolitik yang hanya mengejar kekuasaan tanpa menyentuh aspirasi rakyat.
“‘Dharma eva hato hanti’—kebenaran yang mati akan menghancurkan. Namun kebenaran yang ditegakkan akan menyelamatkan. Arahan itu bukan perintah turun ke bawah dalam arti organisatoris semata. Ia adalah ajakan untuk menyentuh ulang dasar kekuatan politik: suara rakyat yang murni, jerit perut yang sering tak terdengar di ruang istana, dan denyut harapan yang tak bisa dicapai oleh retorika kekuasaan,” jelasnya.
Romy menyebut, kekuasaan harus ditempatkan sebagai amanah, bukan hak istimewa. Ia menyambut baik peristiwa politik besar yang terjadi tidak lama setelah pidato Megawati, yakni pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.
“Dalam waktu yang sangat singkat setelah pidato itu, sebuah rangkaian peristiwa menggemparkan jagat politik nasional: Presiden Prabowo mengajukan amnesti dan abolisi kepada DPR, yang mencakup tokoh-tokoh penting seperti Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong. DPR menyetujui, Keputusan Presiden diteken, dan gelombang baru kekuasaan pun terbentuk,” ucapnya.
Baginya, keputusan ini bukan semata langkah hukum, tetapi sinyal politik yang membawa semangat rekonsiliasi dan gotong royong.
“Ini bukanlah sekadar keputusan hukum. Ini adalah simbol pergeseran. Amnesti menjadi pintu yang membuka jalan menuju rekonsiliasi kebangsaan, sekaligus sinyal bahwa polarisasi pasca-pemilu harus ditutup dengan jembatan dialog, bukan tembok kecurigaan. Dalam langkah ini, politik Indonesia mulai kembali pada akarnya: gotong royong sebagai prinsip dasar, bukan perebutan ruang antar faksi,” ujarnya.
Menurut Romy, PDI Perjuangan menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan berada dalam kabinet, melainkan dalam posisi memengaruhi arah sejarah dan menjadi penyuling aspirasi rakyat.
“PDI Perjuangan menunjukkan bahwa menjadi kekuatan utama dalam republik tidak harus berarti duduk di dalam kabinet. Politik bukan soal berada di dalam atau di luar, tetapi soal memegang arah. Dalam orkestra kekuasaan, kadang kekuatan terbesar justru datang dari mereka yang mengatur ritme dari balik layar, bukan dari yang berada di tengah panggung,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa arahan turun ke bawah merupakan strategi memperkuat akar partai, bukan pencitraan. Menurutnya, rakyat harus menjadi subjek kebijakan, bukan objek janji.
“Arahan untuk ‘turun ke bawah’ adalah strategi memperkuat akar, bukan sekadar pencitraan. Rakyat bukan lagi menjadi objek janji, melainkan subjek kebijakan. Dalam model ini, kader partai dituntut bukan hanya menjadi corong, tetapi menjadi penyuling aspirasi. Suara rakyat harus diolah dengan empati, disusun dengan data, dan dikawal dalam proses legislasi,” ujarnya.
Dalam konteks global, lanjutnya, Indonesia membutuhkan persatuan nasional, bukan oposisi simbolik. Ia memuji sinergi antara Megawati dan Prabowo sebagai wujud kedewasaan politik.
“Indonesia tengah menghadapi situasi global yang tidak menentu: krisis pangan, tekanan fiskal, ketidakpastian geopolitik. Dalam situasi seperti ini, tidak ada ruang untuk kemewahan oposisi simbolik. Yang dibutuhkan adalah kesediaan semua kekuatan nasional untuk duduk bersama, menjaga arah republik, dan merumuskan jalan keluar kolektif,” ungkapnya.
“Megawati dan Prabowo, dua sosok yang berbeda dalam banyak hal, memperlihatkan kedewasaan dalam mengelola perbedaan itu. Tidak dengan ego, tapi dengan kesadaran: bahwa republik ini hanya bisa berdiri kuat jika semua kekuatan politik menyatu dalam satu haluan yang bernama Indonesia,” lanjutnya.
Terakhir, Romy menekankan bahwa amnesti terhadap Hasto bukan akhir, melainkan awal dari babak baru politik kebangsaan yang lebih substansial dan ideologis.
“Amnesti terhadap Hasto Kristiyanto bukan akhir dari cerita. Ia adalah permulaan dari langkah baru. Bukan hanya soal rehabilitasi individu, tapi penanda bahwa musim politik telah berganti. PDI Perjuangan kini tidak hanya berdiri di luar pagar, tapi memegang kunci arah. Bukan untuk membakar rumah bangsa, tapi untuk menghangatkannya kembali dengan nilai-nilai ideologis yang berpihak pada rakyat,” tuturnya.
“Dalam dialektika sejarah ini, PDI Perjuangan telah menunjukkan bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan alat. Bahwa menjadi besar bukan berarti menjadi rakus, tapi menjadi bijak. Dan bahwa politik yang sejati adalah politik yang mengabdi, bukan mencaci. Karena pada akhirnya, tugas kita bukan menaklukkan negara, tapi menjaganya agar tetap berdiri dalam keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan,” pungkasnya.