Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Sturman Panjaitan, menyoroti dugaan perusakan hutan lindung oleh PT Batamas Indah Permai di Kota Batam.
Legislator dari Dapil Kepulauan Riau itu menyampaikan keprihatinannya atas lambannya penanganan laporan hukum yang telah diajukan sejak sembilan bulan lalu ke Polda Kepri.
Dalam kunjungan resesnya di Batam pada Rabu (18/6/2025), Sturman mendatangi Kantor Seksi Konservasi Wilayah II Batam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Sekupang, untuk berdialog langsung dengan instansi terkait.
“Kami sangat mendukung penegakan hukum terhadap pelanggaran hutan lindung. Semua pihak harus satu visi dalam menjaga kelestarian alam,” tegas Sturman.
Purnawirawan jenderal bintang dua dari Marinir TNI AL itu menekankan bahwa aparat penegak hukum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Saya percaya Kementerian, Kepolisian, TNI, dan instansi lainnya bekerja maksimal untuk negeri ini,” ucap politisi PDI Perjuangan tersebut.
Kasus ini mencuat sejak laporan yang diajukan oleh pengacara Eduard Kamaleng pada Oktober 2024 ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kepri. PT Batamas Indah Permai dituding membuka kawasan hutan lindung untuk dijadikan lahan kavling bagi warga eks Tangki 1000, Kabil, tanpa dasar hukum yang sah.
“Klien kami—103 kepala keluarga—digusur paksa tanpa ganti rugi. Bahkan 11 orang dipenjara karena melawan saat rumah mereka dibongkar,” ujar Eduard.
Eduard mengungkapkan bahwa SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) baru diterima pada Mei 2025, atau tujuh bulan setelah laporan pertama. Ia menilai lambannya penanganan kasus tersebut tidak memberikan kepastian hukum.
“Jika tak ada tindakan konkret, kami akan lanjutkan ke Kapolda bahkan ke Kapolri,” tegasnya.
Sturman menyatakan bahwa Komisi IV DPR RI akan melakukan peninjauan langsung ke lokasi yang diduga telah dirusak dalam waktu dekat. Ia juga mengungkapkan adanya tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dan KLHK dalam hal pengelolaan kawasan hutan.
“BP Batam memang diberi kewenangan menentukan kawasan wisata alam, tapi mereka belum punya kapasitas mengelolanya. Harus ada sinergi yang baik dengan kehutanan,” ujarnya.
Ia juga menolak keras segala bentuk komersialisasi terhadap kawasan hutan lindung dan menegaskan bahwa pengelolaan kawasan tersebut harus mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Kepala UPT KPHL Unit II Batam, Lamhot Sinaga, dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa pihaknya terus mengawasi aktivitas ilegal di kawasan hutan lindung, mulai dari tambang pasir, kavling liar, hingga pembukaan lahan untuk perkebunan.
“Kalau ada aktivitas mencurigakan, kami tegur, kirim surat, hingga pasang plang peringatan,” jelas Lamhot.
Ia menambahkan bahwa korporasi yang terbukti merusak hutan lindung dapat dikenai sanksi sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam UU tersebut, ancaman hukuman tergolong berat: minimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp1 triliun.