Jakarta, Gesuri.id - Demokrasi di Indonesia sudah tidak lagi bisa disebut sebagai flawed democracy (demokrasi cacat) seperti versi Economist Intelligence Unit (EIU). Karena Indonesia dinilai telah menjadi democratic autoritarian state, bahkan mengarah pada failed state dalam hal komitmen pada pelaksanaan demokrasi.
Hal ini disebabkan amburadulnya pelaksanaan Pemilu 2024 karena kuatnya indikasi rekayasa yang dilakukan pemerintah untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Dalam hal ini dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Demokrasi Indonesia pun hanya sebatas prosedural semata tapi sejatinya sudah menjadi negara otoriter atau negara otoriter berbulu demokrasi karena lumpuhnya masyarakat sipil.
“Demokrasi sekarang menjadi kolaps gara-gara masyarakat sipil lemah, kemudian berhasil dikontrol oleh negara dan oleh masyarakat politik,” jelas pengamat politik senior Muhammad AS Hikam, Jumat (29/3/2024).
Akademisi President University tidak menampik jumlah masyarakat sipil, civil society, atau LSM saat ini sangat banyak bahkan mencapai 50-an ribu, jauh di atas pada masa Orde Baru. Tetapi tidak mempunyai kekuatan dan bergaining saat berhadapan dengan masyarakat politik apalagi negara.
“Kita tidak punya kepemimpinan lagi di dalam masyarakat sipil ini. Sementara itu organisasi masyarakat (ormas) yang biasanya menjadi pelopor dan tulang punggung demokrasi, sekarang itu menjadi bagian dari state,” sambung penulis buku Demokrasi dan Civil Society ini.
Organisasi yang dia maksud adalah Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa tedeng aling-aling, Hikam menyebut ormas terbesar di Indonesia tersebut saat ini sangat loyo karena dekat dengan kekuasaan. Berbeda saat masih dipimpin Almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ketika di zaman otoriter Orde Baru.
“(Masyarakat sipil lemah) karena dua hal. Pertama karena secara organisatoris tidak ada organisasi sebesar Nahdlatul Ulama yang menjadi pendukung (masyarakat sipil). Yang kedua tidak ada pemimpin seperti almaghfurlah Gus Dur yang bisa menyatukan masyarakat sipil,” ucap intelektual NU ini.
Meski demikian, doktor politik jebolan Universitas Hawaii, Amerika Serikat ini, masih percaya terhadap sebagian masyarakat sipil. Misalnya para akademisi dan civil society yang terus menyampaikan kritik dan keprihatinan atas cawe-cawe Presiden Jokowi pada Pilpres 2024 ini.
Meskipun, mereka tidak mempunyai kekuatan seperti tahun 1998 yang dapat menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru.
“Mahasiswa, civitas akademika, civil society, sebagian dari media, medsos, citizen jurnalis, saya masih optimis. Tetapi kalau mereka mimpi ingin seperti ’98, misalnya menurunkan presiden atau mengalahkan rezim ini, itu mimpi saja,” ucapnya.
“Yang bisa dilakukan adalah berjuang lagi, tapi dengan posisi yang lebih lemah. Caranya menggunakan strategi (membangun) networking dunia. Memang tidak akan efektif seperti ’98. Tapi kalau tidak ada itu, maka (demokrasi Indonesia) akan lebih payah lagi,” sambungnya.
Meski tidak punya bargaining ketika berhadapan dengan pemerintah, masyarakat sipil masih memiliki kekuatan dalam menyuarakan persoalan demokrasi Indonesia di tingkat dunia sehingga mendapat perhatian masyarakat internasional.
Dengan demikian, pemerintah diharapkan merasa diawasi dunia sehingga berpikir dua kali kalau akan bertindak sewenang-wenang.
“Indonesia kalau tidak digitukan, waduh semakin mentang-mentang. Itu pun jangan terlalu berharap juga. Karena kalau Indonesia ditemani oleh negara-negara besar yang kuat militernya dan ekonominya, mungkin akan repot juga,” tuturnya.
“Tapi setidak-tidaknya, lembaga dunia kayak PBB, LSM-LSM besar seperti Human Right Watch, Amnesty International akan terus memantau Indonesia,” demikian Muhammad AS Hikam.
Sebagaimana diketahui menurut Indeks Demokrasi yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia termasuk negara yang memiliki sistem demokrasi cacat. Negara yang masuk kelompok demokrasi cacat umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati hak kebebasan sipil dasar. Namun tingkat kebebasan pers masih cenderung rendah, budaya politiknya cenderung antikritik, partisipasi politik warga lemah, dan kinerja pemerintahnya belum optimal.
Nah, menurut Hikam, dengan adanya cawe-cawe Presiden Jokowi bahkan indikasi rekayasa dalam memenangkan paslon Prabowo-Gibran, Indonesia tidak lagi layak disebut sebagai flawed democracy atau demokrasi cacat. Tapi sudah menjadi democratic autoritarian state, negara otoriter yang berbulu demokrasi.
Sementara hasil Pilpres 2024 adalah dimenangkan Prabowo-Gibran dengan memperoleh 58 persen suara yang membuatnya berpeluang menang satu putaran. Namun, pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo menggugat hasil pilpres tersebut ke MK karena menilai pilpres diwarnai berbagai persoalan yang menguntungkan Prabowo-Gibran.
Kedua paslon itu pun menuntut agar digelar pilpres ulang tanpa pasangan capres-cawapres nomor urut 2 tersebut. Sidang gugatan hasil pilpres itu sudah bergulir di MK dan akan diputuskan pada 22 April 2024 mendatang.