Ikuti Kami

Vote Ganjar-Mahfud, Momentum Tinggalkan Politikus Minus Integritas dan Miskin Gagasan

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua Pemenangan Ganjarian Spartan Community Sulawesi Selatan.

Vote Ganjar-Mahfud, Momentum Tinggalkan Politikus Minus Integritas dan Miskin Gagasan
Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua Pemenangan Ganjarian Spartan Community Sulawesi Selatan.

Jakarta, Gesuri.id - Sebelumnya penulis menyampaikan bahwa uraian ini ditulis setelah penulis mendapatkan hadiah buku dari kawan Markas Besar Ganjaraian Spartan Jakarta, yakni sejenis "buku saku" yang sangat bagus karena pemaparannya sederhana dan konstruktif atas pikiran, gagasan, komitmen integritas dan sedikit uraian singkat rekam jejak Ganjar Pranowo sebagai salah satu Calon Presiden 2024 mendatang. 

Buku tersebut ditulis Hamid Basyaib berjudul, Membongkar Pikiran Ganjar. Walaupun ini bukan satu-satunya alasan atas uraian tulisan sederhana ini. 

Tidak berlebihan jika mengatakan, menjadi sebuah kemestian untuk menentukan sikap keberpihakan karena "tanggung jawab" nalar kritis dan moral dalam mengambil peran dukungan atas dasar rasionalisasi pada ruang eskalasi politik kekuasaan, ketika itu dimungkinkan dan apalagi peluang partisipasi itu terbuka lebar. 

Menentukan pilihan dukungan kepada figur yang memiliki integritas dan rekam jejak prestasi pada perhelatan pemilihan Presiden dan wakil Presiden pada 14 Februari 2024 mendatang, menjadi sebuah keniscayaan logis. 

Walaupun harus dikatakan bahwa ketika mengamati ritual "janji manis" setiap kontestan merupakan pemandangan lumrah dalam setiap prosesi prosedural demokrasi lima tahunan, yang disuguhkan pada ruang publik kita. 

Pada di sisi lain, sikap apatis merupakan fakta dan sekaligus menjadi persoalan tersendiri yang masih saja terjadi pada segelintir masyarakat kita. Tentunya itu juga sebuah konsekuensi logis akibat beberapa catatan kegagalan pada proses praktek kekuasaan tersebut di berbagai levelnya, dalam menjalankan amanah dan fungsinya untuk kepentingan masyarakat sebagaimana mandat amanah cita-cita luhur ideologi konstitusional kita. 

Sistem dan mekanisme politik demokrasi kita realitanya gagap, bahkan mungkin saja "masih buta warna" untuk kemudian bisa berfungsi menyaring atau menghalau ruang gerak para elit politikus yang motif dan orientasinya hanya berlomba mendulang elektoral sebagai cara meraih pragmatisme kekuasaan. 

Juga sudah menjadi rahasia umum, tentang bagaimana persoalan peran praktek oligarki pada setiap perjalanan proses politik itu sendiri. Pastinya ini menjadi catatan masalah yang sangat serius dan masih menjadi kajian tersendiri, bagi para pakar dan akademisi pemerhati arah politik-demokrasi dalam upayanya mencari opsi penyelesaian untuk solusi terbaiknya. 
   
Dalam konteks historis, etimologi, dan epistemologi perkembangan arah demokrasi deliberatif, daya kritis menjadi tuntutan yang sangat prinsipil. Dalam menguji pembuktian atas tujuan perbaikan sistem sosio-politik, ekonomi, dan hukum, yang diharapkan kemudian bisa tegaknya rasa keadilan, arah kesejahteraan, dan tonggak nilai kemanusiaan dalam realitas kemasyarakatan, sebagaimana asas cita-cita luhur demokrasi Pancasila yang diwariskan oleh Bung Karno bagi bangsa Indonesia (Lihat, Refleksi Paradigmatik Prinsip Politik Demokrasi Bung Karno, kolom Analisis-Gesuri.Id). 

Relevan dengan itu mengutip dari esai salah seorang cendikiawan progresif Yudi Latif, tentang kata "idiot" pada masa awal perdaban keemasan tradisi filsafat Yunani, yang berelasi dengan kelahiran tatanan sistem demokrasi. 

Ketika kosa kata idiot itu pertama kalinya dimunculkan, bukan mengacu kepada orang yang terbelakang soal mental atau kecerdasan rasional, tetapi arti idiot sebenarnya dinisbahkan kepada orang-orang yang tidak mau perduli dengan tanggung jawab sosial politik, dan hidup tanpa komitmen perjuangan untuk itu dalam membangun kemajuan pada tatanan kemasyarakatannya. 

Nanti setelah belakangan istilah idiot mengalami pergeseran atau penyempitan arti secara umum seperti sekarang ini.

Dan ketika berbicara soal "politikus minus integritas dan miskin gagasan" dalam membangun kualitas peradaban demokrasi, berkaitan dengan fakta catatan rekam jejak, mungkin sah- sah saja kalau kita melihat istilah di atas, pengertiannya bisa meliputi para politikus yang tidak memiliki komitmen dan keberpihakan yang jelas atas amanah kekuasaan. 

Karena konklusi sederhananya, bahwa mindset para elit politikus yang hanya terobsesi pada kekuasaan, dapat dipastikan tidak memahami mandat amanah apa arti sejatinya sebuah makna kekuasaan dan perilaku mereka jelas nantinya tidak akan pernah peduli, apalagi mau berkomitmen untuk membangun perbaikan atau keberpihakan kepada masyarakat yang masih termarginalkan oleh sistem yang perlu dikoreksi. 
     
Kemudian mereka sama sekali terlihat sangat tidak meyakinkan, dalam mengusung visi misinya atau rencana yang terukur dalam menjalankan proses kekuasaan itu nantinya, sebagaimana tanggung jawab moral politik-demokrasi berdasarkan nilai-nilai luhur ideologis itu sendiri. 

Misalnya saja, di era kemajuan informasi saat ini, bagaimana janji para kontestan Calon Presiden atau Wakilnya yang dipertontonkan, nampak kasat mata terlihat begitu jelasnya siapa kandidat yang memiliki rekam jejak prestasi akan fakta komitmennya, juga sebaliknya siapa yang tidak memilikinya - sebagai dasar rasionalisasi pada penilaian pada konsep visi misi yang konstruktif dan konkret. 

Salah satu kenyataan yang tak bisa dihindari bahwa, ketika Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pastinya akan "diperhadapkan" dengan kontradiksi antara janji manis mereka dengan realitas rekam jejaknya. Menjadi penting untuk dikritisi, karena ada kandidat sangat diragukan memiliki jaminan komitmen atau dengan kata lain bisa dikatakan komitmen mereka itu absurd. 

Misalnya saja, salah satunya karena bagian dari aktor kerusakan "dosa masa lalu" soal Hukum dan HAM, serta jejak perilaku politik indentitas pada salah satu kontestasi pemilihan kepala daerah, sehingga masyarakat harus "menanggung beban", keterbelahan akibat terpicunya suasana menguatnya sentimen identitad antar pemeluk agama yang sangat kontraproduktif dengan asas nilai-nilai kearifan bhinneka tunggal ika. 

Pastinya mustahil bagi rasionalitas masyarakat untuk bisa memahami apalagi untuk diyakinkan, apakah kandidat kontestan itu bisa peduli dan berkomitmen dengan makna cita-cita besar membangun bangsa dan negara. 

Nalar kritis atas populisme

Wacana populisme dalam negara yang  menganut sistem demokrasi di berbagai belahan dunia adalah kenyataan dan sekaligus fenomenal, terkhusus di negara kita saat ini. Isme populisme dalam terminologinya begitu marak dan akrab di ruang publik kita, dan hal tersebut meniscayakan adanya tuntutan rasionalisasi kritis dalam membedah arah konsekuensinya dalam membangun peradaban politik demokrasi kita ke depanbmenuju arah terbaiknya. 

Mengacu pada kamus besar Cambridge dan Oxford terminologi populisme artinya, sebuah ide dan pendekatan yang mengandung tujuan menarik simpatik publik atau masyarakat umum. 

Dengan demikian dalam upaya pendalaman artikulasi idealnya terdapat kesulitan tersendiri, karena faktanya dalam ruang publik kita, bisa memiliki konotasi yang bermacam-macam. Terdapat ketidakjelasan makna, akibat kenyataan penggunaannya yang memang tidak ketat, karena diksi populisme itu sendiri dalam berbagai implikasi konteksnya begitu kompleks dan rumit. 

Bahkan pemimpin rezim diktator pun menggunakan atau terkonfirmasi melekatnya istilah populisme pada mereka, tanpa terkecuali pada para elit politisi yang berperilaku manipulatif di negara-negara  penganut sistem demokrasi (Lihat, Populism, Margaret Canovan, 1981). 

Duet pasangan Ganjar Pranowo Calon Presiden dan Mahfud MD sebagai Wakil Presiden yang secara resmi diusung partai PDI Perjuangan dan koalisinya, pada hari rabu 18 Oktober 2023 kemarin, sangat menarik perhatian publik. Figur keduanya jelas terang benderang berdasarkan pembacaan rekam jejaknya, memiliki catatan prestasi luar biasa dalam perjalanan karir politiknya. 

Setidaknya penulis ingin menekankan pada konteks ini, bahwa puja puji kosong atau "populisme semu" bisa menjadi mengecil dengan masifnya nalar kritis dalam suasana kebatinan masyarakat kita. Penekan harapannya, agar bisa terbangun tradisi penilaian berdasarkan pembacaan secara kritis dalam menatap kapasitas, kompotensi, kreativitas inovasi, dan kemampuan pemahaman secara komprehensif, atas seluk beluk persoalan sistem pemerintahan, pada setiap kontestan calon pemimpin negeri ini. 

Tanpa harus menggiring opini, penulis mempersilahkan setiap pembaca uraian pada tulisan ini untuk menilai rekam jejak secara objektif, atas kedua pasangan Capres dan Cawapres usungan Partai PDI Perjuangan dan koalisinya tersebut, dan sekaligus membandingkannya dengan kontestan kandidat Capres dan Cawapres lainnya. 

Terutama atas berbagai problem utama bangsa ini, soal komitmen keberlanjutan arah pembangunan, masalah korupsi, keberpihakan pada masyarakat yang masih terpinggirkan oleh sistem yang timpang, problem kebhinnekaan, kedaulatan pangan, hilirisasi kebijakan pengelolaan kekayaan alam, dan yang lainnya. 

Dapat dipastikan, semua ini berbanding lurus dengan arah terbaik kebijakan geopolitik Indonesia pada peguatan substansi makna kedaulatannya. Closing statement, saatnya membangun kualitas peradaban politik-demokrasi  dengan cara  "meninggalkan para politikus minus integritas dan miskin gagasan, untuk menyongsong Indonesia Unggul, Indonesia Maju.

 

kurator: Fransiska Silolongan

Quote