Ikuti Kami

Celaka Negara yang Tidak ber-Tuhan

Saya mulai menjadi pemimpin daripada rakyat dengan karunia Allah SWT pula, sering saya memikirkan persoalan-persoalan agama Islam ini.

Celaka Negara yang Tidak ber-Tuhan

Saya ini, Saudara-saudara sejak dari kecil, ya, sejak dari kecil dididik oleh orang tua untuk percaya kepada Tuhan. Bapak saya orang Islam. Tapi ya, sudah pernah saya katakan, ke-Islam-an Bapak saya almarhum itu ialah Islam-Islamanlah. Malah beliau adalah lebih banyak dari apa yang dinamakan “agama Jawa”.

NAH, Ibu saya, beliau orang Bali. Orang Bali; pada waktu Bapak jejaka, berjumpa dengan seorang gadis Bali yang cantik. Sukemi nama Bapak saya. Sukemi berjumpa dengan gadis Bali yang bernama Nyoman Rai, Ida Ayu Nyoman Rai. Sukemi berjumpa dengan Ida Ayu Nyoman Rai, dengan kehendak Tuhan orang dua ini, kata orang sekarang, verliefd satu-sama-lain. Kemudian menjadi suami-isteri, dan oleh Tuhan dijadikan Sukemi — Ida Ayu Njoman Rai ini “dapur” melahirkan Sukarno di dunia ini. Yang membuat itu, Tuhan. Ya, Sulkemi dan Ida Ayu Nyoman Rai itu sekadar dipakai oleh Tuhan menjadi “dapur” untuk melahirkan saya.

Nah ini, kecil-kecil Bapak sudah berkata demikian kepadaku: “Kusno—kemudian Sukarno; saya ini dulu bernama Kusno, Saudara-saudara—aku ini sekadar ‘dapur umum’.” Ibu pun demikian: “Sukarno, aku ini sekadar ‘dapur’ yang dibuat oleh Tuhan untuk melahirkan engkau Karena itu jangan lupa lho, Karno, jangan lupa, pembuatmu itu ialah Tuhan.”

Meskipun Bapak agamanya Islam, itu cuma Islam-Islaman. Maaf, kalau saya mengatakan demikian, oleh karena saya berkata demikian itu menurut hukum-hukum daripada Islam. Memang, beliau itu sekadar Islam-Islaman, ditinjau dari hukum Islam. Jadi beliau itu, ya, agamanya Islam kecampuran dengan banyak “agama Jawa”. Ibu pun agamanya itu agama Hindu yang kecampuran dengan Budhisme banyak sekali.

Tapi dua-duanya ini, Bapak dan Ibu almarhum, berpendirian bahwa mereka sekadar “dapur”. Tentu benar saya kira pendirian yang demikian itu. “Dapur”, oleh karena itu maka saya kecil-kecil juga diperingatkan oleh Bapak dan Ibu: “Ingat, Bapak dan Ibumu sekadar ‘dapur’. Yang membuat engkau Allah SWT.” Bapak berkata: “Gusti Kang Maha Suci.” Ibu berkata: “Hyang Widi.” Jangan lupa kepada Gusti Kang Maha Suci, Gusti Kang Maha Suci, jangan lupa Karno kepada Hyang Widi.

Jadi dari kecil-kecil sudah mempunyai benih percaya kepada Tuhan. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, tatkala menjadi besar, dan tatkala saya mulai menjadi pemimpin daripada rakyat dengan karunia Allah SWT pula, sering saya memikirkan persoalan-persoalan agama Islam ini.

Lho, agama Islam itu kok mengalami pasang naik dan pasang surat, apa sebabnya? Dulu mengalami pasang naik tatkala mercusuar Islam dilihat oleh umat manusia dengan dahsyat, dengan bangga, dengan kagum. Kemudian umat Islam mengalami pasang surut; dulu pasang naik, pasang surut, yang umat Islam itu dianggap oleh umat manusia yang lain sebagai umat yang remeh, yang inferior. Sebabnya apa?

Nah, untuk inilah Saudara-saudara, maka saya mengeluarkan diri saya daripada pemikiran yang biasa, saya naik di atas angkasanya sejarah. Nah, ini saya beritahukan kepada anak-anak mahasiswa-mahasiswi: kalau engkau ingin mengerti benar-benar akan kebenaran Islam, kalau engkau ingin mengerti benar-benar apa sebab Islam dulu, umat Islam dulu mengalami pasang-pasang naik, yang Islam dianggap sebagai mercusuar yang hebat oleh sebagian daripada umat manusia, tetapi juga mengalami pasang surut, yang Islam atau umat Islam dianggap sebagai satu golongan inferior atau hina-dina. Engkau harus naik, lepaskan kau punya pikiran itu daripada pikiran-pikiran yang conventioneel ini.

Kalau saya boleh memakai perkataan, tetapi jangan marah lho, ini sekadar untuk memberi pengertian, ya, untuk sekadar memberi illustratie. Kalau saya nanti mengucapkan sesuatu perkataan, jangan dianggap sebagai penghinaan. Tidak. Sekadar agar supaya Saudara-saudara lebih mengerti. Janganlah Saudara-saudara mahasiswa-mahasiswi dari IAIN, janganlah Saudara-saudara yang mempelajari Islam dan ingin membawa Islam ke taraf yang tinggi itu, sekadar dengan jiwa— maaf, ya—jiwa pesantren.

Saudara mengerti perkataan saya itu? Jangan sekadar jiwa pesantren. Ya, kalau Saudara sudah, sudah pandai membaca, sudah menjalankan kewajiban Islam sehari-hari, Iantas Saudara bisa berkata: ah, sebabnya Islam surut itu ialah ini, sebabnya Islam naik dulu ialah ini. Tidak, Saudara-saudara! Saudara harus melepaskan diri Saudara daripada— sekali lagi saya minta maaf lho, maaf, bukan untuk menghina ini—jiwa yang tadi saya namakan jiwa pesantren.

Lepaskan jiwa Saudara daripada jiwa yang demikian itu, tetapi naiklah ke angkasa yang setinggi-tingginya. Naik ke angkasa yang setinggi-tingginya, laksana burung elang-rajawali. Lihatlah seluruh dunia. Lepaskan Saudara-saudara punya pikiran hanya dari lingkungan: Oh itulah suraunya di situ, oh lha itu padasan; padasan itu tempat ambil air wudhu. Oh di situlah tempatnya kitab. Kitab ditaruh di pogo.

Tidak, lepaskan Saudara-saudara punya jiwa, juga daripada suasana pengertian pesantren itu. Naik ke angkasa, seperti saya ini, melihat keluar. Bukan saja melihat ke Saudi Arabia, ke Mekkah dan Medinah. Lihat (pula) Kairo, lihat Spanyol, lihat ke seluruh dunia. Lihat ke sejarah, lihat kepada zaman dahulu, sejarah daripada bangsa-bangsa; bukan saja bangsa Indonesia dan bangsa Arab, tetapi (juga) sejarah daripada seluruh umat manusia. 

(Artikel ini merupakan sebagian dari isi pidato Bung Karno berjudul “Celaka Negara yang Tidak Bertuhan” saat upacara pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin jurusan Dakwah, gelar Guru Besar Kehormatan dan gelar Pendidik Agung oleh IAIN Jakarta pada 2 Desember 1964 di Istana Negara dengan promotor KH Saifuddin Zuhri)

Quote