Ikuti Kami

Samuel Wattimena Nilai Industri Fesyen di Jawa Tengah Kian Kreatif

Samuel mengatakan para pelaku industri fesyen harus realistis dalam membidik pasar dengan menelurkan koleksi-koleksi desain fesyen

Samuel Wattimena Nilai Industri Fesyen di Jawa Tengah Kian Kreatif
Perancang busana yang juga anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Samuel Wattimena.

Jakarta, Gesuri.id - Perancang busana yang juga anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Samuel Wattimena menilai industri fesyen di Jawa Tengah (Jateng) secara umum dari segi kreativitas sangat baik dan terus meningkat.

"Industri fesyen di Jateng ya, bukan hanya di Semarang. Tapi, tentunya fokusnya yang masih harus dipertajam pasarnya," katanya, di sela-sela "Semarang's Luxury Wedding Expo-Renaissance Romance 2025" di Semarang, Minggu.

Ia mengatakan para pelaku industri fesyen di Jateng harus realistis dalam membidik pasar dengan menelurkan koleksi-koleksi desain fesyen yang lebih dipertajam, terutama untuk masyarakat lokal.

Baca: Ganjar Pranowo Ajak Kepala Daerah Praktek Pancasila

Samuel mengakui selama ini tren fesyen memang banyak berkiblat dari luar negeri. Tetapi sebenarnya sudah saatnya pada pelaku industri fesyen untuk tidak latah mengikuti tren yang terus berkembang tanpa melihat lokalitas.

"Bisa enggak jangan pakai kata tren? Karena kalau pakai kata tren, keterkaitannya dengan industri besar. Kita Enggak bisa bilang tren lalu 'slow production'. Tren itu dibentuk karena industri, produksi kain, warna, sekian banyak, dan masyarakat dijejali," katanya.

Menurut dia, saat ini sebenarnya momentum baik bagi pelaku industri fesyen, terutama para desainer yang belum bisa memenuhi kebutuhan pasar secara "fast fashion".

"Setelah Prancis menjadi pusat mode, Jepang menyadari dan bikin fesyen 'dekonstruktivis' yang sesuai dengan pasar mereka. Nah, di kita ini sebetulnya kekuatannya di etnik. Jadi, jangan sibuk dengan tren dunia. Tapi harus punya percaya diri. Angkat etnik kita," katanya.

"Semarang's Luxury Wedding Expo-Renaissance Romance 2025" adalah pameran perkawinan yang menampilkan pula deretan koleksi fesyen rancangan para desainer papan atas.

Pada kesempatan itu, Samuel menampilkan delapan koleksinya yang dibalut dengan tema "Hoax & Seven Sins" memadukan kain sisa, tekstur kasar, dan pola-pola yang seolah saling bertabrakan.

Melalui karyanya, desainer kelahiran 25 November 1960 itu ingin menggambarkan kondisi sekarang yang tercerai berai oleh polarisasi, kehilangan kepercayaan, dan keterputusan dari akar budaya.

Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Untuk Berhati-hati

"Ini adalah hasil perenungan saya di dalam beberapa kurun waktu yang kemudian akhirnya keluarnya melalui karya seperti itu. Baju-bajunya mayoritas 80 persen adalah baju bekas yang diolah lagi," katanya.

Dari limbah tekstil, karyanya menghidupkan kembali yang ditinggalkan dan menyiratkan sebuah pernyataan bahwa yang remeh pun bisa memikul makna, dari sisa bisa tumbuh kesadaran, dan di situ pula muncul rasa syukur bahwa masih ada kejujuran.

"Karya ini bukan sekadar busana. Ia lahir dari keresahan; politik tanpa arah, budaya yang dipoles demi wisata, agama yang kehilangan makna. Ketika batik desa bersanding dengan denim urban, itu bukan estetika semata. Itu seruan bahwa lokalitas masih hidup, dan bisa berdialog tanpa kehilangan jati diri," ujar dia.

Quote