Ikuti Kami

Sentuhan Bung Karno di Papua Tak Ciptakan Luka 

Sejatinya, 'luka' dalam persoalan Papua ini sangat tak diharapkan, atau bahkan tak pernah dibayangkan oleh Bung Karno.

Sentuhan Bung Karno di Papua Tak Ciptakan Luka 
Presiden Pertama RI Soekarno.

Jakarta, Gesuri.id - Senin (19/8), meletus kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Gedung DPRD Papua Barat pun terbakar sebagai dampak dari kerusuhan tersebut.

Di Jayapura ribuan massa rakyat dan mahasiswa menggelar demonstrasi  di Kantor Majelis Rakyat Papua dan selanjutnya bergerak ke  Kantor DPR Papua serta Kantor Gubernur Papua.

Baca: Edo: Tindak Ormas yang Rasis Pada Orang Papua!

Aksi demonstrasi dan kerusuhan itu merupakan reaksi terhadap tindakan rasis dan intimidatif dari oknum aparat dan ormas pada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Bahkan, ada anggota ormas yang mencaci-maki para mahasiswa Papua dengan sebutan binatang, sambil mengepung asrama tempat tinggal mereka di kedua kota di Jawa Timur tersebut. 

Sebagaimana yang diulas berbagai media, ormas-ormas yang terlibat tindakan tersebut antara lain Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP). Tindakan rasis dan intimidatif itu dipicu oleh hoaks soal pelecehan bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua.

Seluruh rangkaian peristiwa tersebut tentu menjadi luka di 'tubuh' kebangsaan kita. Dan rakyat Papua adalah bagian dari tak terpisahkan dari 'tubuh' kebangsaan itu.

Sejatinya, 'luka' dalam persoalan Papua ini sangat tak diharapkan, atau bahkan tak pernah dibayangkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Bung Karno. 

Perjuangan Bung Karno dalam merebut Papua (dahulu dinamakan Irian Barat) dari penguasaan imperialis Belanda sama sekali bukan untuk membuat luka di Papua. 

Melalui perjuangan berpanji Tiga Komando Rakyat (Trikora), Indonesia dibawah kepemimpinan Bung Karno akhirnya berhasil menuntun kembali Papua dalam wilayah kedaulatan Indonesia pada Mei 1963. Pemerintahan Bung Karno pun segera merancang program-program pembangunan di Papua. 

Baca: PDI Perjuangan Papua : Jangan Terpancing Rusuh Manokwari!

Di hadapan DPRD Irian Barat pada 22 Juli 1963, Wakil Menteri Pertama Koordinator Urusan Irian Barat Subandrio menyatakan bahwa Pemerintah Pusat akan fokus pada penguatan keamanan, konsolidasi pemerintahan sipil, dan menggerakkan perekonomian lokal di tahun pertama penyerahan Papua ke pangkuan RI.

Pada tahap awal, Pemerintah Pusat akan berfokus pada pembangunan daerah pedalaman. Pemerintahan Bung Karno memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan lembah Baliem.

Jadi tampak bahwa kepemimpinan Bung Karno telah memiliki konsep untuk membangun Papua. Bung Karno sangat mengerti, bahwa meraih kembali Papua ke pangkuan RI menimbulkan kewajiban bagi pemerintahannya untuk membangun Papua sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Dan Bung Karno pun sangat memahami bahwa orang Papua membutuhkan sentuhan tangan pemerintah pusat dalam pembangunan daerahnya. 

Untuk melaksanakan pembangunan di Papua, Pemerintahan Bung Karno memanfaatkan dana dari PBB yang disebut Fund for West Irian (Fundwi). Awalnya, dana Fundwi itu digunakan Bung Karno untuk membiayai proyek-proyek perhubungan udara dan transportasi darat. Maklum, Papua memang memiliki persoalan serius terkait infrastruktur dan sarana transportasi. 

Namun, kucuran dana Fundwi terhenti sejak Maret 1964, karena Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. 

Bung Karno pun tak sempat mewujudkan program=program pembangunannya di Papua. Sang Penggali Pancasila itu keburu dilengserkan Soeharto usai tragedi 1965. 

Dibawah kepemimpinan Soeharto, pola pembangunan Papua berubah total. Alih-alih melanjutkan program pembangunan daerah pedalaman yang dirancang Bung Karno, Soeharto justru mengeluarkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada 10 Januari 1967. 

Baca: Effendi Duga Benny Wenda Jadi Dalang Kerusuhan Papua

Tak lama kemudian, Soeharto mengeluarkan kebijakan yang berdampak panjang bagi nasib rakyat Papua hingga puluhan tahun lamanya, yakni pemberian kontrak karya kepada perusahaan tambang Amerika Freeport pada 7 April 1967.

Dengan kontrak karya itu, Freeport diberi ruang untuk mengeruk Erstberg alias Gunung Bijih yang kaya tembaga dalam periode 30 tahun.

Walhasil, orang Papua yang terkena dampak operasi tambang Freeport sering kali dirugikan. Hal itu dialami oleh suku Amungme yang turun-temurun mendiami  Gunung Grasberg yang ditambang Freeport. Bagi mereka Grasberg adalah tanah suci. 

Namun, aktivitas penambangan Freeport telah mengubah  Gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Danau Wanagon sebagai danau suci orang Amungme pun ikut hancur karena dijadikan tempat pembuangan batuan limbah yang sangat beracun.

Konflik antara Freeport dan masyarakat Papua di sekitar tambang pun tak terelakan. Pada 1977, misalnya, suku Amungme dan enam suku lainnya melayangkan protes kepada Freeport. Mereka memotong pipa penyalur bijih tembaga, membakar gudang, serta melepaskan kran tangki persediaan bahan bakar milik Freeport.

Peristiwa ini sampai ke telinga Soeharto. Presiden kedua RI itu pun  menerapkan  pendekatan keamanan. 

Baca: Ini Penjelasan Risma Soal Mahasiswa Papua di Surabaya

ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) diturunkan untuk merepresi  warga Amungme. Mereka ditangkapi dan dilabeli sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). 

Setahun kemudian Papua ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Orang Papua banyak yang menjadi korban represi militer selama DOM. 

Jadi, luka di Papua itu muncul di era rezim Soeharto. Luka itu belum sembuh hingga kini, dan bisa menjelma menjadi gejolak setiap waktu.

Quote