Ikuti Kami

Asia dan Afrika Dalam Pergaulan Dunia 

Oleh: E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2.

Asia dan Afrika Dalam Pergaulan Dunia 
E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2. (Foto: Dok. Pribadi)

Senin, 18 April 1955, delegasi 29 negara-negara Asia dan Afrika bersiap menghadiri Sesi Pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Gedung Merdeka (Societeit Concordia) di Jl. Asia-Afrika (Jl. Raya Timur) Bandung. 

Konferensi Asia-Afrika, yang dikenal juga dengan nama Konferensi Bandung, merupakan pendahulu bagi Gerakan Non-Blok, diselenggarakan atas gagasan Presiden Soekarno yang disampaikan Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, ketika mengikuti pertemuan empat negara dalam rangka mempersiapkan Konferensi Kolombo pada 13 Januari 1954. 

Konferensi Bandung telah membangkitkan semangat dan menghidupkan kembali moral para pahlawan Asia Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka, sehingga banyak negara berdaulat dan merdeka bergabung. Konferensi itu juga berhasil mengembangkan semangat solidaritas di antara negara-negara Asia dan Afrika dalam menghadapi masalah regional dan internasional.

Di kemudian hari Gerakan Non-Blok, yang dibentuk pada tahun 1961 di Beograd oleh Perdana Menteri India Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Mesir Nasser, Presiden Ghana Nkrumah dan Presiden Yugoslavia Tito, menganjurkan “jalan antara pasukan lawan” dalam Perang Dingin antara aliansi Barat yang dipimpin Amerika Serikat (kapitalis) dan aliansi Timur yang dipimpin Uni Soviet (komunis).

“Biarkan Asia Baru dan Afrika Baru Lahir”

Judul pidato Presiden Soekarno “Biarkan Asia Baru dan Afrika Baru Lahir” pada Pembukaan Konferensi Bandung menyuarakan bahwa “kita, anggota konferensi, berasal dari negara yang berbeda, latar belakang sosial dan budaya yang berbeda, agama yang berbeda, politik yang berbeda, dan bahkan warna kulit yang berbeda, meskipun demikian, kita dapat dipersatukan, disatukan oleh pengalaman pahit penjajahan dan oleh keinginan dan perjuangan yang sama dalam mempromosikan perdamaian dunia”.

Gagasan Soekarno muncul setelah dipertimbangkan selama 30 tahun dan telah disuarakan untuk membangun solidaritas Asia Afrika, yang telah dibuktikan melalui gerakan nasional melawan kolonialisme.

Pada akhir pidatonya, Presiden Soekarno mengatakan: “Saya berharap bahwa ini akan memberikan bukti fakta bahwa kita para Pemimpin Asia dan Afrika memahami bahwa Asia dan Afrika hanya bisa makmur hanya ketika mereka bersatu, dan bahkan keselamatan dunia pada umumnya tidak dapat dilindungi tanpa bersatu dengan Asia-Afrika. Saya berharap konferensi ini akan memberi petunjuk kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia cara yang harus diambil untuk mencapai keselamatan dan kedamaian. Saya berharap ini akan memberikan bukti bahwa Asia dan Afrika telah dilahirkan kembali, bahkan, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah dilahirkan!”. (asianafricanmuseum.org/en/sejarah-konferensi-asia-afrika).

Pidato tersebut diakui sebagai pidato yang luar biasa dan menarik perhatian semua negara peserta, sehingga Perdana Menteri India Nehru dan segenap peserta konferensi menyampaikan penghargaan kepada Presiden Indonesia Soekarno. 

Pada akhirnya negara-negara peserta Konferensi Bandung mengadopsi deklarasi untuk mempromosikan perdamaian dunia dan kerja sama yang mencakup lima prinsip: saling menghormati integritas dan kedaulatan teritorial satu sama lain, saling tidak agresi, saling tidak campur tangan dalam urusan domestik, kesetaraan dan saling menguntungkan, dan perdamaian. 

Pada konteks dunia saat ini, yang terpenting adalah bagaimana memaknai pesan Konferensi Bandung, dan Gerakan Non-Blok, setelah berakhirnya Perang Dingin pada 1991 serta menghadapi “perang bentuk baru” di era globalisasi yang ditandai dengan kecepatan perkembangan teknologi di berbagai bidang yang terwujud dalam perang proxy maupun perang asimetri.

Asia Afrika Dalam Tatanan Dunia Multipolar

Berkurangnya persaingan negara adidaya di akhir 1980-an dan pembubaran Uni Soviet pada 1991, juga pecahnya Yugoslavia, telah mengantarkan era optimisme yang nyaris tak terkendali, bahkan optimisme kemenangan di belahan Barat. 

Francis Fukuyama menangkap zeitgeist era awal pasca Perang Dingin dengan esainya "The End of History?", di mana ia dengan yakin meramalkan pawai demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas yang tak terhindarkan, kekuatan-kekuatan yang akan menciptakan persaingan dan konflik di antara Kekuatan Hebat ke tempat sampah sejarah. 

Dengan kata lain, dunia mungkin telah sampai pada titik belok bersejarah: saat senja dari tatanan liberal internasional yang dipimpin AS dan masa fajar era baru kekacauan global di mana kekuatan revisionis regional – khususnya China yang sedang bangkit – mengambil keuntungan dari Amerika yang sedang mengalami demoralisasi dan terpolarisasi, untuk menantang kepemimpinan yang dilakukan Amerika sejak akhir Perang Dunia Kedua.

Tren saat ini tampaknya menunjukkan bahwa selama beberapa dekade ke depan, sistem internasional cenderung menjadi bipolar, meskipun ada kutub-kutub kuat lainnya seperti Uni Eropa, Rusia, Jepang dan India (meskipun mereka mungkin sejalan dengan Amerika Serikat atau China, baik sepenuhnya atau sebagian) dan bipolaritas asimetris di mana Amerika terus menjadi lebih kuat daripada China. Namun demikian, tidak ada perlombaan senjata antara kedua negara, juga tidak ada persaingan ideologis yang terbuka.

Kedua negara saat ini menyadari pentingnya menjaga dan memperkuat hubungan yang stabil sehingga mereka dapat menghindari persaingan keamanan yang ketat, dan bekerja sama untuk mengatasi sejumlah masalah global yang menantang mereka berdua, seperti terorisme, mencegah penyebaran senjata pemusnah massal dan perubahan iklim.

Satu-satunya kekhawatiran Amerika terhadap tujuan akhir China adalah membangun tatanan Sino-sentris di Asia. Sedangkan bagi China, ada persepsi bahwa Amerika secara aktif bekerja mencegah meningkatnya kekuatan dan pengaruh China melalui kebijakan pertahanan. 

Amerika juga menuduh China mempraktikkan kebijakan ekonomi merkantilis, memanipulasi mata uang, serta terlibat dalam serangan dunia maya dan spionase dalam skala besar. China dituduh tidak melakukan cukup banyak tekanan untuk mencegah ambisi nuklir dan rudal balistik Korea Utara. Sebaliknya, Amerika dituduh menerapkan standar ganda, mencampuri sengketa wilayah dan maritim di Asia Afrika, dan memihak separatis di berbagai wilayah seperti Tibet, Yugoslavia, Afghanistan dan beberapa negara Afrika.

Apa yang saling dituduhkan kedua negara kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu sebenarnya sudah digemakan dalam deklarasi lima prinsip Konferensi Bandung. 

Tidak bisa disangkal, secara geopolitik dan geostrategi, Asia dan Afrika masing-masing memiliki peran penting dan spesifik bagi kedua kekuatan tersebut. Misalnya proyek infrastruktur besar yang memperdalam dan memperbesar konektivitas China dengan negara-negara di seluruh Asia, Afrika dan Eropa, yang dinamakan One Belt One Road/ OBOR (belakangan berganti nama menjadi Belt and Road Initiative/ BRI).

Dapat dipahami bahwa ikatan politik antar anggota Konferensi Bandung tidak sekuat jika mereka tidak menjadi anggota Gerakan Non-Blok. Pertanyaannya kemudian adalah apakah para pemimpin negara-negara itu, atau di antara mereka, memiliki keinginan, kemauan, dan keberanian untuk melakukan sesuatu sebelum masalah terjadi? Tanpa ideologi umum dan kepentingan bersama, sulit untuk melihat bagaimana negara-negara itu dapat bersatu.  

Prinsip-prinsip dalam deklarasi Konferensi Bandung perlu diperbarui dan menyesuaikan dengan kenyataan saat ini, dan dibuat konkret oleh sistem keamanan internasional bersama. Sebab seperti diketahui dunia, Amerika dan sekutunya semakin tidak relevan dalam memperlakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, hukum internasional atau perbedaan pendapat yang kritis.

Pragmatis dan Strategis

Setiap negara berdaulat yang memiliki hubungan timbal balik,  pasti mempertimbangkan prinsip kerjasama yang pragmatis dalam meningkatkan hubungan terutama di bidang perdagangan dan investasi. Sementara dalam bidang kedaulatan (pertahanan keamanan), prinsip kepentingan strategis menjadi pijakannya.

Pragmatis tentu tidak meninggalkan prinsip-prinsip tata kelola bersih (tidak manipulatif dan koruptif) serta bersifat hati-hati (berhitung cermat bisnis dan risiko nilai tukar). 

Kerjasama bisnis apapun, khususnya yang berwujud G2G (Government to Government), adalah interaksi yang bersifat persaingan antar aliansi geopolitik. Sedangkan dalam bidang kedaulatan merupakan interaksi persaingan antar aliansi geostrategis.

Indonesia pun kiranya berpijak kepada prinsip pragmatis dan strategis dalam hubungan kepada kekuatan multipolar, baik China, Amerika, ataupun kekuatan kutub dunia lainnya. 

SELAMAT HARI PERINGATAN KONFERENSI ASIA AFRIKA
18 APRIL 2019

Quote