Ikuti Kami

Bersatu Dalam Rampak Barisan Mencegah Radikalisme

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan dan Doctor in Stratejik Manajemen.

Bersatu Dalam Rampak Barisan Mencegah Radikalisme
Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan dan Doctor in Stratejik Manajemen.

Jakarta, Gesuri.id - Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah merebaknya aksi terorisme yang seakan tidak pernah berhenti setidaknya dalam empat tahun terakhir. Diawali dengan aksi pengeboman dan baku tembak di Plasa Sarinah pada tahun 2016, peledakan bom di beberapa gereja seperti Gereja Katholik Santo Yosep di Medan dan Gereja Oikumene di Samarinda, bom bunuh diri di Gereja di Surabaya, penyerangan beberapa markas Kepolisian di Surakarta, Surabaya, Riau dan Kalimantan Selatan, tragedi kerusuhan berdarah di Mako Brimob, penusukan Menkopolhukam di Pandeglang, sampai yang terbaru yaitu pemenggalan 4 orang anggota gereja di Sigi Sulawesi Selatan. 

Ya dipenggal dalam arti harafiah, yaitu dipisahkan kepala dari badannya di tengah beberapa orang yang menyaksikan. Jelas ini adalah sebuah kebiadaban yang sulit diterima oleh akal sehat. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara yang paling efektif untuk menghentikan semua ini. Untuk bisa menjawabnya tentu kita perlu menelusuri lebih dahulu akar permasalahan yang ada. 

Radikalisme berawal dari faham fundamentalisme yang menganut konsep kebenaran tunggal. Ini muncul akibat adanya sekelompok orang yang kehilangan daya nalar yang kemudian memonopoli arti kebenaran dan menghakimi semua orang yang tidak sepaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik. Jika sekedar merasa yang paling benar dan tanpa menghukum pihak lain, sebenarnya tidak terlalu berbahaya.

Bahaya baru akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan, bahkan bertindak melebihi Tuhan itu sendiri, lalu merasa berhak untuk menghukum dan membinasakan orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di negeri seperti Amerikapun fundamentalisme bisa tumbuh dan berkembang.

Dalam banyak kasus, fundamentalisme juga sering muncul akibat kegagalan sekelompok orang dalam menghadapi arus modernitas dan globalisasi yang dinilai malahan menyudutkan kehidupan mereka. Ketidak berdayaan ini membuat mereka mencari dalil untuk “menghibur diri” dalam sebuah “dunia” yang dibayangkan belum tercemar. Lalu mereka menyusun kekuatan politik dan sosial untuk melawan modernitas dan globalisasi itu melalui berbagai cara, termasuk menggunakan kekerasan yang sering melewati batas-batas kemanusiaan. 

Untuk membenarkan tindakannya mereka biasanya mengangkat semangat “senasib sependeritaan” dengan penduduk di belahan dunia lain, yang memang sedang menghadapi ketidak adilan dalam kehidupan mereka. Atas nama kesetiakawanan global mereka melegitimasi kekerasan sebagai bentuk perlawanan. 

Padahal jelas bahwa kesetiakawanan terhadap penderitaan di Palestina, Afganistan, Khasmir dan Irak sebenarnya bukan monopoli milik mereka. Yang membedakan adalah pilihan tindakannya yang keluar dari nalar manusia, dibandingkan dengan orang-orang lain yang lebih mengedepankan perdamaian dan menghindari kekerasan.

Idiologi yang dianut para radikalis adalah idiologi kematian. Bagi mereka kematian adalah sebuah kemenangan. Kematian juga satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan mereka. Ini yang harus dipahami oleh semua pihak bahwa persoalan hakiki dalam radikalisme dan terorisme bukan masalah sosial dan ekonomi semata, tetapi lebih pada sesat idiologi yang mereka anut. 

Maka dalam memerangi radikalisme dan terorisme seluruh elit politik negeri ini harus memiliki visi yang sama, semangat yang sama dan tafsir yang sama tentang gerakan terorisme ini. Di satu sisi negara tidak boleh kalah oleh kekuatan apapun, tetapi pilihan tindakannya harus tetap terukur dan sistematis.

Jika tidak maka mereka akan dengan mudah memanipulasi kebenaran dan kemanusiaan ketika dihadapkan pada kekuatan bersenjata semata. Bahkan hal ini akan menimbulkan dendam dan pembenaran atas langkah balas dendam yang mereka usung. Diperlukan pola pendekatan yang berbeda, sistematik dan holistik untuk menghentikan kekerasan dengan mengedepankan budaya pengampunan, persaudaraan dan rekonsiliasi.

Cara yang terbaik untuk menumpas radikalisme dan terorisme sampai ke akar-akarnya adalah dengan membatasi ruang gerak mereka, baik di media maupun dalam kehidupan kekerabatan dalam masyarakat. Peranan media massa menjadi sangat vital. Media massa harus mampu mengajak masyarakat untuk memerangi terorisme melalui cara berpikir dan pendidikan yang kritis. Media massa tidak boleh menampilkan mereka dalam ruang-ruang publik. Media sosial juga harus mampu dikendalikan oleh negara pada batas tertentu. 

Ujaran kebencian di media sosial harus segera dihentikan. Penyebaran berita hoax yang sistematis harus diberantas lewat penelusuran sumber pendanaan yang menopang kegiatan mereka. Tokoh-tokoh yang sengaja terlibat dalam pendanaan harus dihadapkan di muka hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Para pemuka agama harus berperan mengajarkan damai, cinta persaudaraan dan bukan menebarkan kebencian, ketakutan dan kecemasan. Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang terbesar di Indonesia harus lebih diberdayakan sebagai pilar utama agama Islam yang cinta damai, ramah dan menerima kebhinnekaan sebagai sebuah keniscayaan. Organisasi keagamaan lain harus juga mengabarkan kedamaian, bukan mengobarkan kebencian dan balas dendam.

Terorisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama apapun dan terorisme adalah musuh semua agama. Bahkan terorisme adalah musuh bangsa karena melanggar peri kemanusiaan. Para politisi juga harus mampu mengekang ego politiknya, demi keutuhan bangsa dan negara. 

Politik itu bukan semata perebutan kekuasaan belaka, tetapi politik juga harus mampu membangun peradaban. Para politisi harus memiliki jiwa kenegarawanan dan etikat baik untuk bukan hanya menggolkan payung hukum yang lebih tegas bagi aparat kepolisian untuk bisa melakukan langkah-langkah preventif guna mempersempit ruang gerak para teroris, tetapi memberikan dukungan politik kepada pemerintah demi keutuhan negeri. 

Payung hukum dan dukungan politik ini diharapkan menjadi senjata yang ampuh untuk mencegah aksi-aksi terorisme yang memang bertujuan menghancurkan negeri. Inilah saatnya seluruh komponen bangsa bersatu, bergerak dalam satu rampak barisan dalam memerangi terorisme. Kita nyalakan suluh perjuangan demi mencapai kesejahteraan rakyat dan mempertahankan keutuhan negeri. Mari kita patahkan idiologi terorisme dengan bahasa persaudaraan dan pengampunan, yang hormat terhadap martabat manusia dan kemanusiaan, demi mematahkan idiologi kematian yang diusung teroris. 

Jiwa-jiwa yang merdeka tak akan pernah tunduk dan takut bila kita tetap setia dan bersatu di bawah panji-panji Pancasila. Kita harus bersatu karena persatuan itu adalah hakekat dari kemanusiaan, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno. Persatuan itu juga sebagai manifestasi dari wujud kecintaan kita pada bangsa dan negara. Negara tidak akan kalah oleh radikalisme dan terorisme. Merdeka!

Quote