Ikuti Kami

Bung Karno dan Dinamika Perjalanan Teori Sosial Kritis

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan yang juga Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulsel.

Bung Karno dan Dinamika Perjalanan Teori Sosial Kritis
Ilustrasi. Bung Karno.

Jakarta, Gesuri.id - Pancasila sebagai ideologi konstitusional negara yang dirumuskan oleh Presiden pertama kita Ir. H. Soekarno, dari salah satu sudut perspektifnya yang lebih luas merupakan garis besar "gagasan jenius" yang tidak hanya menjadi fondasi ideologis struktur konstitusional berbangsa dan bernegara, tapi jika dikaji secara lebih luas akan sangat relevan sebagai opsi alternatif filosofis pandangan dunia secara global. 

Tidak berlebihan kemudian ketika penilaian itu dilakukan, karena jika diuraikan pendalamannya lebih lanjut sangat jelas bahwa, terminologi filosofis Pancasila sebagai ideologi pembebasan. Landasan tersebut memiliki prinsip-prinsip yang sangat komprehensif pada framing konsepnya, mulai dari aspek dimensi filosofisnya itu sendiri, teologis, politik demokrasi, hukum, ketatanegaraan, ekonomi, hingga kepada ruang-ruang yang dimungkinkan sebagai sosiologi-makna, misalnya pada dimensi psikologinya berkaitan dengan tata nilai realita kemasyarakatan yang merupakan keniscayaan pada kenyataan kebhinnekaannya.

Fajar Ahmad Huseini.
 
Fakta-fakta sejarah dunia telah mencatat, bagaimana gagasan spirit Pancasila oleh Bung Karno telah diterjemahkan atau diaktualisasikan prinsip nilai-nilainya ke dalam muatan visioner penyelenggaraan Konferensi Internasional Asia Afrika yang dilaksanakan pada 18 - 24 April 1955 (Lihat, Gesuri 11 November 2020, "Catatan Tinta Emas Sang Proklamator"). Sehingga benang merah tersebut, secara tidak langsung bisa dibuktikan, bahwa keluasan makna filosofis Pancasila sebagai tata nilai dalam membangun komunikasi global telah teruji. 

Konsepsi Ketuhanan pada sila pertama dan relasinya sampai kepada sila ke lima, jika ditafsirkan "secara progresif" dan terbuka di dalam sistem masyarakat nations ataupun global, sangat dimungkinkan akan sama-sama menemukan relasi relevansinya dalam upaya  perjuangan penegakan cita-cita martabat kemuliaan nilai kemanusiaan dan keadilannya. Tentunya walaupun semua itu masih berhadapan dengan pusaran kenyataan persoalan besar yang tak kunjung teselesaikan dalam eskalasi pergaulan dunia global hingga hari ini, yang masih saja berdenyut dalam "nafas konfliknya". 

Pemikiran yang terpenjara indentitas primordial, atau ideologi dalam konotasi negatifnya, memang menjadi hal yang harus terus dikritik atau dikoreksi dalam pemaknaan perjuangan pembebasan, baik itu dalam konteks kebangsaan maupun dalam tinjauan globalnya.  

Perlawanan Bung Karno atas segala bentuk hegemoni atau imperialisme merupakan dasar prinsip nilai idealisme yang tidak lepas dari spirit sosialisme yang diyakininya, tentunya tidak sekedar hal yang normatif belaka, tapi lebih kepada pembuktian penekanan substansinya sebagai upaya melepaskan jeratan dari sistem yang melanggengkan perbudakan dan implikasi alienasi kemanusiaan pada struktur sosial kemasyarakatan. 

Pada titik ini jelas konotasi yang dimaksudkan adalah gugatan terhadap  kapitalisme radikal atau liberalisme yang merupakan produk masyarakat "penyembah" materialisme (baca: postivisme) - yang membentuk totalitasnya tetapi cacat dalam logika rasionalitasnya, karena konsekuensi berbagai malapetaka kemanusiaan dari segala implikasinya. Poin di titik ini bahwa, kemanusiaan dan tuntutan keadilan akan tereduksi selama disingkirkannya pengetahuan dari arah keberpihakannya pada makna kebenarannya yang utuh. 

Berbicara tentang ketimpangan dan berbagai kerusakan masyarakat kapitalisme dalam pandangan para begawan teori kritis, memang menjadi pusaran yang menjadi proyek serius dalam fokus koreksinya. Max Horkheimer sebagai pencetus teori sosial kritis dari generasi pertama, melakukan analisa ke dalam motif perjalanan fasenya, dari kapitalisme liberal ke kapitalisme monopoli, di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, hingga kajian ini terus berlangsung sampai pada kritik soal kapitalisme negara. Artikulasi sederhananya, bahwa secara garis besarnya terdapat ekuivalen spirit antara pemikiran Bung Karno dan dinamika perjalanan teori sosial kritis hingga ke perjalanan fase berikutnya. 

Menurut hemat penulis memang harus diakui tidak mudah untuk kemudian menafsirkan secara progresif fondasi gagasan besar Pancasilaisme Bung Karno, "sebagai philosophische grondslag atau pandangan dunia weltanschauung", apalagi dalam menemukan batas-batas terluasnya, begitupun dengan perjalanan perkembangan mutakhir teori sosial kritis hingga saat ini pada generasi keduanya. Singkatnya memang membutuhkan keseriusan dan energi akademik yang sangat besar untuk mendalaminya. Tulisan singkat ini hanya sebagai gambaran sekilas belaka tidak lebih, sebagai atensi penulis saja yang begitu mengagumi pemikiran besar Bung Karno dan sejarah perkembangan dinamika teori sosial kritis, yang memang sama-sama berangkat dari spirit sosialisme dalam motif perjuangan keadilannya. 

Teori Sosial Kritis secara umum familiar dikenal dengan sebutan aliran Mazhab Frankfurt, dalam berbagai konteksnya mendalami sosiologi pengetahuan dan kemanusiaan. Sejarah berdirinya berasal dari asosiasi institusinya berdiri sejak tahun 1920-an di Jerman sebelum masa kegelapan anti semit Nazi. Perkembangan pemikiran tersebut sangat dinamis, luas dan kompleks. 

Ciri umum rumusan kajiannya selain menggugat fatalistis gerakan fasisme, juga memiliki kecenderungan yang sangat ketat melawan arus dominasi perkembangan kapitalisme liberal yang melahirkan "anak kandungnya" berupa frame pengetahuan positivisme, yang notebene membentuk nalar instrumental akibat tumpuan landasan episentrum epistemiknya. 
Problem perkembangan epistemologinya, sejatinya menjadi salah satu topik pendalaman kritik yang dilakukan Jurgen Habermas tokoh utama teori kritis generasi ke dua. (Lihat, "Frankfurt School Critical", Volume I & II. Editor, Beverly Best, Werner Bonefeld & Cris O' Kane, 2018). 

Imperialisme dan moderintas

Harapan dan mimpi modernisasi sejak dihembuskan pasca renaisans di belahan bumi Barat, dianalisa secara empirik oleh Geeretz merupakan kehendak yang  berkonotasi politis dan pastinya bermuatan hegemoni atau monopoli dalam sejarah perjalanan prosesnya. 

Di hadapan para pemikir Mazhab Frankfurt kemudian menjadi kerja kolosal untuk melakukan kritik sengit dari para tokoh-tokohnya, baik generasi pertama hingga kedua, sebut saja beberapa diantaranya adalah Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas dan lainnya. 

Bahwa modernitas diyakini adalah produk perjalanan kapitalisme lanjutan yang konsekuensinya adalah sangat dimungkinkan menjelma menjadi ledakan bom waktu disentegrasi di setiap tatanan realitas sosial.

Maraknya studi hingga debatebel para sosiolog mutakhir bertema moderintas hingga postmodernitas, karena topik ini menjadi landasan tema utama berkaitan dengan konteks teori kritik terhadap metodologi yang dikembangkan dari setiap masing-masing pengkaji sains sosial. Sehingga tidak berlebihan dalam berbagai konteksnya, para sosiolog lainnya menyakini bahwa "menjadi modern" adalah berbanding lurus berkehendak untuk berkuasa dalam terminologi hegemonik pada sistem imperialisme", walaupun tentunya dalam hal ini masih tetap terus saja menyisakan ruang debatelnya.

Di dalam perkembangannya di satu sisi bahwa arah modernitas dan pesatnya proses industrialisasi dengan segala jargonnya telah dijadikan mimpi "jalan keselamatan" di negara-negara sedang berkembang. 

Dari realita semua ini, kemudian yang harus dicermati secara mendalam bahwa, faktanya tetap saja menyimpan banyak sekali kelemahan-kelemahannya dan sekaligus telah menciptakan kenyataan alienasi akibat buntunya arah menuju emansipasi, singkatnya sebagai pertanda bahwa krisis itu tetap saja menjadi harga yang harus dibayar oleh masyarakat moderen. 

Harapan untuk melepaskan diri dari antagonisme prilaku kolonialisme atau imperialisme itu sendiri dalam proses perjalanannya tidak lepas atau berbanding lurus dengan kritik terhadap arah modernisasi. 

Mengutip salah satu tokoh pemikir besar yang sempat tergabung dalam Mazhab Frankfurt dalam melahirkan karya-karyanya, Erich Fromm (psikolog sosial), bahwa fenomena peradaban sains modern telah menjadi buta di puncak prestasinya, karena nalar saintisme hari ini hanya berfikir "apa yang dimungkinkan untuk menciptakan teknologi terbaru maka ciptakanlah", tapi tidak pernah sama sekali serius untuk bertanya, apakah penemuan-penemuan dari prestasi sains dan teknologi itu benar-benar dibutuhkan oleh esensi peradaban untuk visi kemanusiaan?". 

Inilah titik poin terpentingnya, sehingga kita dengan absah untuk mengatakan bahwa puncak sains dan teknologi abad ini faktanya "buta makna".

Sejalan dengan hal itu bentuk analogi sederhananya, bahwa walupun memang harus diakui sains dan teknologi telah mempermudah dan mengefisienkan fasilitas kehidupan manusia dari waktu ke waktu, akan tetapi disaat yang sama bahwa sains dan teknologi juga menjadi alat strategis dan sangat efektif untuk saling MENGEKSPLOITASI antara sesama kelompok manusia, maupun antar negara dalam konstruksi pergaulan masyarakat dunia itu sendiri. 

Paling ironi ketika jalan perang saling memusnahkan yang alatnya adalah sains dan teknologi, misalnya saja begitu terlihat jelas di perang dunia ke dua bagaimana manusia "dibumi hanguskan" oleh teknologi di Heroshima dan Nagasaki waktu itu. 

Tentunya masih terlihat kasat mata bahwa hingga saat ini, menciptakan senjata pemusnah massal seakan-akan telah menjadi kompetisi legal, dengan asumsi untuk saling memonopoli yang semata-mata berebut segala bentuk sumber daya. Menatap kenyataan yang ada, bahwa di setiap upaya deklarasi moral universal pada prinsipnya meniscayakan "jalan pengetahuan" untuk menemukan visi akan tujuan makna kemanusiaan-keadilan menjadi sangat relevan, dan pastinya akan selalu menemukan kekuatan energi rasionalitasnya sebagai pembuktiannya. 

Pencasila sebagai epistemologi kritik

Emansipasi, alienasi, perbudakan di dalam ketimpangan sistem masyarakat nations dan kenyataan imperialisme global, menjadi diksi kritik untuk tujuan meletakkan penegakan arti kemanusiaan dan keadilannya. Hal tersebut sekali lagi merupakan garis persingungan yang memiliki kesamaan nilai-nilai antara garis perjuangan Bung Karno dan subjek kajian teori sosial kritis itu sendiri. 

Pada pertengahan tahun lima puluhan hingga awal tahun enam puluhan, Bung Karno menyadari betul ketimpangan arah peradaban dunia yang ditenggarai akibat terus menggeliatnya hegemoni imperialisme. Sehingga dari beberapa cuplikan orasinya yang terekam sejarah, beliau terus menyentak bagaikan lecutan keras sebagai cambuk motivasi bagi semua putra-putri ideologisnya di seantro negeri, mengingatkan agar senantiasa terus berjuang menafsirkan dan mengaktualkan Pancasila "secara progresif". 

Dalam konteks tersebut atas pesan Bung Karno, menurut hemat penulis, butuh keseriusan pendalaman agar nantinya tidak terjadi reduksi yang menjurus kepada pendangkalan tafsirnya kemudian. 

Hiruk pikuk parsaingan di era globalisasi menjadi tantangan pasang surutnya perjuangan bangsa kita sejak awal kemerdekaan. Politik bebas aktif yang merupakan substansi perjuangan menjadi sering tereduksi akibat peta pembancaan eskalasi kerjasama internasional kita yang malah menyisakan ironi dalam perjalanan kebijakannya. Sehingga kedaulatan kita terus saja tercederai, hal ini muaranya sejak masa orde baru berkuasa setelah penggulingan pemerintah orde lama. Seringnya dalam kebebasan memilih kerjasama internasional kita, seakan-akan warisan blok kerjasama yang diwariskan Orde Baru adalah "sahabat", padahal  sejatinya adalah perpanjangan dari imperialisme. Singkatnya yang menjadi catatan penting adalah bahwa, bebas aktif bukan sekedar bebas bekerjasama dengan negara atau blok negara manapun, justru substansialnya adalah bagaimana perjuangan bebas aktif menegakkan kedaulatan dan sekaligus melawan segala bentuk hegemoni imperialisme pada tatatan masyarakat global, sebagaimana harapan cita-cita Bung Karno. 

Pancasila dalam kepungan segala bentuk  ketimpangan realita yang mendera, tentunya akan menjadi epistemologi kritik. Tentang bagaimana tafsirnya secara programatik wajib terus dilakukan dalam penggalian filosofis nilai pada muatan serta metodologinya, sebagai satu tawaran opsi horizon moralitas sosial atau etika politik demokrasi dalam negara, serta tentang bagaimana arah kebijakan hubungan internasional bangsa kita.

Sebagai penutup, sekali lagi sebagai sebuah perspektif akan kenyataan fakta sosial manusia, meniscayakan pentingnya arah visioner pengetahuan secara historis dan epistemologis, dalam membangun fondasi struktur moralitas dalam tuntutan solidaritasnya. Menjamin hak kebebasan individu yang seimbang dengan moral-etika sosialnya adalah salah satu prinsip utamanya. 

Artikulasi tersebut yaitu tentang bagaimana fungsi Pancasila sebagai epistemik kritik itu harus ditegakkan ketika ketidakseimbangan itu terjadi, yang fakta persoalan krusialnya selama ini, ketika atas nama "sentimen agama dan nalar pengetahuan ilmiah" telah memanipulasi dan mengoyak nilai-nilai kemanusiaan.

Quote