Ikuti Kami

Catatan Tinta Emas Sang Proklamator

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan.

Catatan Tinta Emas Sang Proklamator
Fajar Ahmad Huseini, Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Kesinambungan momentum paling bersejarah mulai dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945 hari kemerdekaan bangsa Indonesia, kemudian terus saja bergerak menjadi sebuah perjalanan interpretasi spirit perjuangan yang "sangat progresif". 

Dikatakan progresif bukannya tanpa landasan, karena setelah Ir. Soekarno diamanahkan menjadi Presiden RI pertama, Bung Karno dalam proses perjuangannya tidak hanya sedang  mempersiapkan langkah-langkah  membangun infrastruktur konstitusi berbangsa dan bernegara, tapi sekaligus menafsirkan " dimensi filosofi" Pancasila dan UUD 1945, dengan cara meluaskan artikulasi pada setiap aspek pemaknaannya. 

Pada konteks itu tentunya menjadi sangatlah menarik untuk diamati secara mendalam, dari perspektif tertentu. Ketika menelusuri kesinambungan arah jejaknya sampai pada momentum kesepakatan komitmen besar yang terjadi saat itu. Ketika dicetuskannya sebagai sebuah visi misi perjuangan pada konferensi Asia Afrika (KAA), yang dihadiri dua puluh sembilan pimpinan negara di kota Bandung. 

Tepatnya pada tanggal 18 - 24 April 1955 atas muatan penegasan gagasan sang Proklamator Ir. Soekarno, merespon pertemuan Kolombo ketika mengutus Ali Sastroamidjojo diplomat jenius, beberapa waktu sebelumnya. Beliau juga sangat berperan besar atas terselenggaranya konferensi tersebut, sebagaimana diulas secara lengkap di buku The Bandung Connecting, karya Roeslan Abdulgani. 

Sejarah mencatat dengan tinta emasnya, Bung Karno begitu sangatlah visioner dalam menatap cita-cita arah peradaban dunia, dengan merealisasikan konferensi Asia Afrika. Bahwa tafsir hidup filosofis Pancasila sebagaimana telah disinggung di atas, kemudian diterjemahkannya untuk menjawab sekaligus menyerukan kepada dunia bahwa kolonialisasi, imperialisme, rasisme, atau segala bentuk penjajahan harus dihentikan, karena sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur keadilan dan kemanusiaan. 

Artikulasinya dalam konteks tersebut, bahwa dimensi nilai Pancasila sejatinya ingin ditransformasikan Bung Karno ke dalam tatanan moral peradaban dunia saat itu. Terlepas dari faktanya kemudian bahwa, tidak tumbuh berkembangnya cita-cita spirit perjuangan konferensi tersebut karena berbagai faktor penghalangnya akibat sengitnya pertarungan kepentingan pragmatis politik global setelah itu. 

Uraian ini setidaknya berniat mengajak untuk menatap kembali bahwa, sebagai sebuah gagasan paradigmatik dan sekaligus sangat startegis - implikasinya telah mengantarkan posisi Indonesia menjadi kekuatan yang sangat menentukan dan diperhitungkan. 

Menatap realita tersebut, pastinya adalah lembaran sejarah bangsa yang patut diartikulasikan dalam perkembangan konteksnya, karena substansi perjuangannya adalah cita-cita untuk memberikan tawaran solusi terbaiknya. Di saat peradaban global dunia mengalami dekadensi moral akut, akibat kronisnya masalah hubungan pergaulan antar bangsa dan negara-negara yang saling mengeksploitasi. Tentunya begitu jelas tergambarkan yang masih saja diwariskan hingga hari ini, walaupun dengan pergeseran polanya yang sedikit berbeda.

Proses pada tahapan perencanaannya begitu menyita banyak waktu dan energi. Maka saat matahari mulai terbit, kota Bandung akhirnya menggemakan realisasi seruan lantang perjuangannya pada tanggal 18 April 1955, hingga tepat pada pukul 10.20 WIB, setelah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, memulai pidato pembukaannya yang spektakuler dengan tema, “Let a New Asia And a New Africa be Born, Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru" . 

Dalam kesempatan yang sangat berharga tersebut Presiden Soekarno menyatakan bahwa, kita peserta konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda, namun kita dapat bersatu, dan dipersatukan oleh sebuah pengalaman pahit yang sama, akibat tindakan politik kolonialisme, olehnya maka menyatulah keinginan yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. 

Pada bagian akhirnya beliau mengatakan, “Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan,  Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”. 

Muatan pidatonya seperti memiliki konotasi "kekuatan spiritual" yang menyentak jantung kesadaran kolektif seluruh pimpinan negara-negara Asia Afrika yang hadir saat itu. Rekaman sejarah mengungkapkan, bahwa paparan Bung Karno sekaligus menjadi kekuatan magnet yang berhasil menarik perhatian karena sangat mempengaruhi para hadirin. Dibuktikan adanya respon usulan Perdana Menteri India dan didukung seluruh peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan apresiasi  kepada Presiden atas pidato pembukaannya, yang sangat menginspiratif bagi mereka.

Respon peserta konferensi memang merupakan sebuah konsekuensi logis, karena saat itu negara-negara Asia Afrika sebagian besar baru saja terlepas dari penderitaan panjangnya akibat cengkeraman penjajahan, sehingga seruan cita-cita pembebasan yang diungkapkan Bung Karno sekali lagi, begitu sangat menginspirasi. Tentunya harus dikatakan, pastinya bahwa semua itu bermuatan filosofis pemaknaan atas dimensi nilai-nilai Pancasila. 

Pada titik ini penulis perpendapat bahwa Pancasila selain sebagai asas nilai konstitusional negara kita, pendalamannya juga sangat dimungkinkan sebagai alternatif opsi "pandangan dunia (weltanschauung) global". Karena memiliki relevansi kearifan dalam menjawab berbagai problem buntunya hubungan komunikasi antar berbagai ideologi dunia, kemajemukan eksistensi agama-agama maupun suku-bangsa, hingga sistem politik antar negara-negara. 

Slogan kemanusiaan dan keadilan yang terdistorsi

Walaupun harus diakui bahwa pelaksanaan konferensi Asia Afrika tidak dapat dilepaskan atau terikat dengan deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), karena atas nama slogan cita-cita dalam menciptakan perdamaian dunia yang menjadi landasan bersamanya. Pada prinsipnya hasil rekomendasi konferensi Asia Afrika menjadi daya dorong yang secara langsung "menggugat kegagalan" konsensus PBB dalam berbagai catatannya, atau dengan kata lain "akibat terdistorsinya" harapan PBB dalam merealisasikan perdamaian dunia, yang berlandaskan prinsip cita-cita keadilan dan kemanusiaan pada tatanan global.

Rekomendasi itu melahirkan komitmen dalam rumusannya yang dinamakan Jiwa Bandung dalam sistematika sepuluh poin Dasasilanya. Fakta ini telah menancapkan goresan sejarahnya dengan merubah konstelasi pandangan dunia, tentang hubungan internasional yang garis besarnya berorientasi pada komitmen penguatan nilai-nilai Keadilan dalam penegasan harkat Hak Asasi Manusia (HAM). Yang sebelumnya sekedar slogan basa basi karena faktanya terdistorsi atau tersandera oleh perlakuan politik hegemoni negara-negara kolonialis, yang tidak mampu diselesaikan oleh PBB (bandingkan, Dasasila Bandung).

Sebut saja, bahwa komitmen Bandung ini telah mencetuskan paradigma baru Dunia Ketiga atau “Non-Aligned”, terhadap hegemoni blok Amerika dan sekutunya di Washington dan blok lainnya yang berpusat di Moscow. Spirit Dasasila Bandung telah merubah arah arus dan sekaligus juga konstelasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Dampak langsungnya, PBB tidak lagi menjadi forum komunikasi eksklusif hegemoni blok Barat saat itu dan setelahnya, karena melahirkan kesadaran paradigma dunia baru, terutama bagi negara-negara Asia dan Afrika yang sebagiannya masih dalam kondisi terjajah, akibat politik kolonialisasi atau imperialisme. Ada catatan menarik sebenarnya kalau diamati lebih jauh dalam pembacaan sejarah tersebut, bahwa setelah konferensi internasional Asia Afrika, telah membuahkan hasil bagi percepatan proses-proses kemerdekaan beberapa negara Asia dan Afrika yang masih terjajah saat itu.

Krisis legitimasi konsensus global

Realitas globalisasi merupakan keniscayaan yang tak terelakkan, spektrum narasi politik- demokrasi, kedaulatan negara-negara, Hukum dan HAM, serta perdagangan bebas ekonomi global, dalam kontroversi dan kontradiksinya dari berbagai kemajemukan kanal-kanal budaya dunia dan identitasnya - masih saja terekam sebagai fakta dalam pembacaannya, menyimpan berbagai ambiguitasnya. Dan pada sisi lainnya, masih terus melahirkan prasangka dalam wacana global dan terasakan sebagai denyut konflik, yang setiap saatnya "memicu kepanikan" pada relasi perputaran ekonomi pasar global.

Fenomena globalisasi hari ini ketika terkonsentrasinya kampanye demokratisasi di ruang global, sering kali justru kadang menjelma menjadi "sadis dan memilukan". Dan seakan tanpa henti-hentinya harus ditebus dengan berbagai krisis berupa ketidakadilan, meluasnya jurang ketidakesetaraan, hingga resiko dari tidak ramahnya perputaran ekonomi pasar bebas akibat terciptanya berbagai ancaman ekologis. 

Sehingga harus dikatakan, bahwa setiap upaya konsensus globalisasi yang dilakukan begitu rapuh logika legitimasinya - terdengar atas nama keadilan dan moral kemanusiaan, yang menjadi jualan semboyan demokratisasi global, dalam puja-pujinya terdengar sumbang. Berangkat dari sisi ini, bagaimana perkembangan mutakhir pergumulan antara teori sosial positivisme dan teori sosial kritis, dalam perkembangan analisisnya membuktikan tak satu pun opsi teori globalisasi yang bisa diterima secara universal. 

Menatap kembali polemik tersebut, hampir menjelang satu abad lalu Bung Karno mengatakan dengan ketegasannya, "Bahwa tanpa bersatunya negara-negara Asia Afrika, maka keamanan di seluruh dunia tak akan terjamin". Ungkapan itu bisa saja dipahami "sebagai ramalan", yang dipastikan memiliki kekuatan logika - rasionalisasi dan mungkin saja sekaligus telah "menjadi sebuah kutukan". 

Akhir kata, bahwa dosa peradaban global itu adalah akibat pengkhianatan terhadap komitmen perjuangan cita-cita pembebasan yang termaktub dalam sprit konferensi Asia Afrika, karena telah menghukumnya menjadi sekedar museum sejarah saja. Sehingga sampailah kita pada puncak pertanyaan seriusnya, "Apakah denyut nadi cita-cita perjuangan kemanusiaan dan keadilan pada tatanan global harus dimuseumkan juga ?". Maka dengan tegas kita wajib menjawabnya, "Bahwa sebagai putra dan putri ideologis Bung Karno, tidak akan pernah mendiamkan cita-cita perjuangan sang Proklamator !".
Sekian

*Tulisan ini merupakan sebuah refleksi, dalam rangka rencana realisasi Brand Makassar sebagai Kota Bhinneka Tunggal Ika.

Quote