Ikuti Kami

Dibutuhkan Kemauan Politik untuk Mendukung Antikorupsi

Oleh : E.Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan untuk DPR RI, Dapil NTB 2

Dibutuhkan Kemauan Politik untuk Mendukung Antikorupsi
E.Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan untuk DPR RI, Dapil NTB 2

PADA tahun 2013 Xi Jinping, yang sekarang menjadi Presiden China ke-7, bersumpah untuk melawan 'harimau' dan 'lalat' dalam gerakan antikorupsi. "Kami harus menjunjung tinggi perlawanan terhadap harimau dan lalat. Pada saat yang sama dengan tegas menyelidiki kasus-kasus yang melanggar hukum dari para pejabat terkemuka dan juga dengan sungguh-sungguh menyelesaikan kecenderungan tidak sehat dan masalah korupsi yang terjadi di sekitar masyarakat." (Guardian, 22 Januari 2013).

Korupsi umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan otoritas publik yang dipercayakan demi meraih keuntungan pribadi. Sedangkan korupsi politik didefinisikan sebagai korupsi yang melibatkan para pengambil keputusan politik.

Hal itu merupakan fenomena kompleks yang terjadi dalam berbagai bentuk, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi dua: korupsi kecil dan korupsi besar (yang diistilahkan Xi Jinping sebagai “lalat” dan “harimau”). Korupsi kecil terjadi terutama sebagai transaksi tingkat rendah dalam pertukaran untuk pemberian layanan publik. Ini menghambat sistem pelayanan publik yang efisien dan adil.

Sedangkan korupsi besar didefinisikan sebagai kolusi di tingkat pemerintahan tinggi dan tertinggi. Kebiasaan ini melibatkan pengadaan dan keuntungan finansial besar di kalangan elit publik dan swasta. Masyarakat umum jarang mengamati transaksi ini secara langsung. Keduanya sama merugikan untuk akses terhadap kekuasaan.

Peran Penyelenggara Negara dan Korupsi Politik

Peran negara yang menentukan tercermin dalam sebagian besar definisi korupsi. Korupsi secara konvensional dipahami dan disebut sebagai perilaku seseorang yang mewakili negara dan otoritas publik yang mencari kekayaan pribadi, atau penyalahgunaan barang publik oleh pejabat publik untuk tujuan pribadi. Definisi korupsi oleh Bank Dunia adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.

Penyelenggara negara, yaitu pegawai negeri sipil baik birokrat, fungsionaris maupun pejabat yang dipilih melalui proses politis, adalah pemegang posisi otoritas yang mengalokasikan hak sumber daya publik atas nama negara atau pemerintah.

Keterlibatan pejabat negara dalam korupsi juga ditekankan dalam sebuah definisi alternatif, di mana korupsi dipandang sebagai "suatu bentuk pertukaran sosial rahasia di mana mereka yang berkuasa (secara politik atau administratif) mengambil keuntungan pribadi, dari satu jenis atau lainnya, dari pengaruh yang mereka jalankan berdasarkan mandat mereka atau fungsi mereka.” (Méry, dikutip dari de Sardan 1999: 49). Singkatnya, hampir semua definisi korupsi memiliki fokus utama kepada negara dan politik.

Korupsi politik tidak hanya mengarah pada kesalahan alokasi sumber daya, tetapi juga mempengaruhi cara membuat keputusan. Korupsi politik adalah manipulasi institusi politik dan aturan prosedur sehingga karenanya mempengaruhi institusi pemerintah dan sistem politik yang sering menyebabkan kerusakan institusional.

Korupsi politik adalah sesuatu yang lebih dari sekedar penyimpangan dari norma hukum formal dan tertulis, kode etik profesional dan putusan pengadilan. Korupsi politik adalah ketika hukum dan peraturan lebih atau kurang disalahgunakan oleh penguasa, bergerak ke samping, diabaikan, atau bahkan disesuaikan agar sesuai dengan minat dan kepentingan mereka.

Di sisi lain, terdapat pihak yang menawarkan suap dan keuntungan yang mereka peroleh. Mereka adalah pemasok yang berasal dari masyarakat umum, atau masyarakat “non-negara”. Mereka bisa berupa rekan-rekan pejabat, perusahaan dan organisasi non-pemerintah maupun non-publik yang domestik dan eksternal. Suap adalah pembayaran (dalam bentuk uang atau barang) yang diberikan kepada atau diambil oleh pejabat negara dalam hubungan korup. Itu semua berupa pembayaran yang diperlukan atau diminta untuk membuat segalanya berjalan lebih cepat, lebih lancar atau lebih baik melalui birokrasi, atau untuk menghindari beban.

Dengan "pelicin" banyak perusahaan dan kepentingan bisnis dapat membeli bantuan politik dan menghindari diri dari beban pajak dan peraturan lingkungan, sedangkan yang lainnya dapat membeli pasar dan monopoli yang dilindungi, lisensi impor/ ekspor, dan lain-lain.

Korupsi semacam itu dapat berakibat kepada sistem politik karena menghancurkan moral publik. Hal ini dapat menjadi gejala negatif dalam perekonomian umum dan perkembangan moral masyarakat.  

Karena hal di atas itulah maka kerangka hukum formal negara tidak cukup sebagai syarat referensi untuk menilai masalah korupsi politik. Moral, normatif, tolok ukur etika, dan hal-hal politis harus dibawa masuk, setidaknya karena perlu untuk melihat legalitas dari legitimasi ketika menyangkut korupsi politik. Selain itu, meskipun korupsi birokrasi biasanya bisa ditangani melalui auditing, legislasi, dan pengaturan kelembagaan yang degeneratif, efek dari korupsi politik tidak dapat dilawan hanya dengan pendekatan administratif belaka.

Kekuatan Penyeimbang Politik 

Demokratisasi politik dapat mengkonsolidasi sehingga berimplikasi kepada beberapa perangkat institusi, prosedur, dan nilai-nilai yang dapat secara signifikan mengurangi tingkat korupsi. Langkah-langkah antikorupsi yang paling penting adalah pemeriksaan institusional, aturan hukum, akses gratis ke informasi dan hak untuk mengkritik, serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.

Jadi, dengan konsolidasi demokrasi, negara dapat meningkatkan kecanggihan lembaga-lembaga dan prosedur sehingga mengatasi penyakit korupsi yang merajalela.

Pertarungan melawan praktek korupsi dengan demikian merupakan bagian dari perjuangan demokrasi yang lebih luas untuk pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab dan juga untuk warga yang bertanggung jawab. 

Skandal korupsi yang terungkap sebenarnya dapat mempertajam instrumen kontrol. Lembaga-lembaga demokratis yang bekerja melawan korupsi, tidak boleh terancam oleh insiden politik yang terindikasi koruptif. Mereka justru makin diperkuat jika kasus-kasus korupsi politik ditangani dengan benar. Lembaga yang demikian haruslah independen yang dapat mensurvei, menilai, menangani dan menindak.

Lembaga menyiratkan institusionalisasi demokratis yang mengatur kekuatan sosial sebagai ujud dari kekuatan penyeimbang politik. Sebab korupsi politik yang sistematis dan endemik tetap membahayakan sistem demokrasi apapun.

Kemauan Politik dan Integritas Pemimpin

Perjuangan melawan korupsi yang didukung pengambil keputusan dan kelompok yang berpikiran reformis memiliki kepentingan yang sama dalam membatasi dan melawan korupsi yaitu pertempuran harus dimulai dari tingkat tertinggi.

Korupsi yang dilawan berasal dari empat sumber: dari luar (dunia luar), dari atas (para penguasa sendiri), dari dalam (institusi administratif dan birokrasi), dan dari bawah (masyarakat sipil, komunitas bisnis dan setiap warganegara). Masing-masing sumber memberikan tekanan kepada anti-korupsi berupa tuntutan, sikap, godaan dan peluang untuk korupsi.

Jabatan tidak dimaknai sebagai bagi-bagi kekuasaan atau bentuk balas budi politik. Pemisahan antara wilayah layanan sipil dan politik partisan, yang bercirikan profesionalisasi birokrasi melalui entri kompetitif, penggunaan sumber daya publik yang dapat dipertanggungjawabkan (akun yang diaudit), sistem kompensasi dan jasa yang kompetitif berbasis kinerja (yaitu meritokrasi) adalah salah satu instrumen kontrol.

Etika dan kinerja sektor publik juga dapat disempurnakan melalui reorganisasi lembaga dan institusi pemerintah (perampingan dan optimalisasi organisasi), crating atau penguatan koordinasi pusat, penyederhanaan, standardisasi, dan fleksibilitas (menghilangkan fungsi-fungsi yang tidak penting, pemecatan pegawai negeri yang menyimpang, prosedur rekrutmen, inspeksi, peningkatan kapasitas dalam pelatihan, menghilangkan pekerjaan bergaji buta, monetarisasi manfaat).

Deklarasi aset dan asas pembuktian terbalik kekayaan para pejabat, dan ketentuan mengenai transparansi dalam penawaran dan pemberian kontrak sektor publik adalah hal-hal yang sangat penting. Semakin banyak pejabat diskresi melalui peraturan yang berlimpah, rumit dan tidak transparan, semakin banyak kemungkinan korupsi.

Mencegah korupsi dari atas dapat dilakukan melalui mekanisme yang efisien. Pidato dan kampanye meningkatkan kepekaan dan moralitas mungkin berguna selain pelaporan eksekutif, reformasi institusional dan kontrol kebijakan administratif berbagai kementerian, departeman dan biro. Namun semua langkah itu membutuhkan satu faktor yang harus hadir, yaitu kemauan politik. Dengan kata lain, penindakan dan pencegahan korupsi harus dijalankan mulai dari atas secara konsisten dan konsekuen. 

Para pemimpin yang jujur dengan moral otoritas dan kemauan politik yang telah mampu mereformasi suatu sistem yang memungkinkan celah korupsi politik dan birokrasi dari atas, berumur tidak lama karena pembatasan jabatan. Lebih sering, "perang melawan korupsi" adalah setengah hati atau bahkan secara langsung ditentang oleh elit penguasa dan para pejabat korup yang eksistensinya bergantung pada korupsi sebagai mekanisme ekstraksi sumber daya yang semuanya itu dimanfaatkan sebagai dasar dukungan politik. Betapapun begitu, para pemimpin baik politik maupun birokrasi yang berintegritas tetaplah penting.
 
“Only a virtuous people are capable of freedom. As nations become corrupt and vicious, they have more need of masters.” – Benjamin Fanklin.

“Hanya orang-orang yang berbudi luhur yang mampu bebas. Ketika bangsa-bangsa menjadi korup dan ganas, mereka lebih membutuhkan para pemimpin”.

SELAMAT MEMPERINGATI HARI ANTI-KORUPSI SEDUNIA
9 Desember 2018

Quote