Ikuti Kami

Dikotomi Perlindungan Kesehatan vs Pertumbuhan Ekonomi?

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan yang juga Doctor in Strategic Management.

Dikotomi Perlindungan Kesehatan vs Pertumbuhan Ekonomi?
Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan yang juga Doctor in Strategic Management.

Jakarta, Gesuri.id - Dalam menghadapi pandemi Covid-19 banyak pihak yang beranggapan bahwa terdapat dikotomi antara perlindungan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang mampu menangani pandemi dengan baik, diyakini pertumbuhan ekonominya akan mengalami kehancuran. 

Sebaliknya negara yang fokus pada mempertahankan pertumbuhan ekonomi, akan dibayar dengan tingkat kematian yang tinggi akibat pandemi Covid-19. 

Satu contoh yang sering diangkat adalah keberhasilan penanganan Covid-19 di Singapura. Jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Singapura per tanggal 17 September 2020 adalah 57.488 orang dengan tingkat kematian hanya 27 orang. 

Keberhasilan Singapura dalam mengendalikan angka kematian akibat Covid-19 ini dibayar mahal dengan pertumbuhan ekonomi yang minus 2,2% pada kuartal pertama dan minus 41,2% pada kuartal kedua tahun 2020. 

Ini adalah pertumbuhan ekonomi terparah yang dialami negara tersebut sejak merdeka tahun 1965. Dari data ini kemudian disimpulkan bahwa memang ada trade-off antara penanganan pandemi Covid-19 dengan pertumbuhan ekonomi. 

Kesimpulan itu tentu tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Ekonomi negara sekecil Singapura memang sudah tergolong outlier (keluar dari pakem) dalam masa normal. Pertumbuhan ekonominya ditopang oleh perdagangan internasional yang luar biasa besar. 

Kontribusi nett ekspor terhadap total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) adalah sebesar 170%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, di mana kontribusi perdagangan internasionalnya hanya sebesar 20% dari PDB. 

Sehingga dengan menggunakan data terbatas, apalagi hanya mengambil sampel Singapura maka kesimpulan tersebut kurang tepat dan bisa menimbulkan bias. 

Mari kita menganalisa menggunakan data yang lebih besar agar lebih bisa mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Tabel 1 di bawah ini menggambarkan negara-negara yang paling banyak terdapat kasus Covid-19. Data Worldometer per tanggal 17 September 2020 menunjukkan bahwa Amerika Serikat, India, Brazil dan Russia adalah 4 negara di mana terdapat lebih dari 1 juta kasus Covid-19. 

Indonesia menduduki peringkat ke 23 dengan jumlah kasus terkonfirmasi positif sebanyak 232.628. 

Tetapi kalau dimasukkan data jumlah penduduk maka jumlah kasus Indonesia sebesar 849 kasus per 1 juta penduduk, atau menduduki peringkat 141 dari 215 negara. 

Banyak pihak yang meragukan data kasus terkonfirmasi positif di Indonesia, mengingat jumlah pengujiannya memang masih kecil, yaitu 10.050 per 1 juta penduduk. 

Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan 4 negara dengan kasus pandemi terbanyak, yaitu Amerika yang sebesar 284.746 per 1 juta penduduk, India 42.797, Brazil 68.668 dan Russia 286.054. Maka akan lebih realitastis apabila kita menggunakan angka kematian. 

Jumlah kematian di Indonesia akibat Covid-19 adalah sebesar 9.222 atau 34 orang per 1 juta penduduk dan ini menduduki peringkat ke 105. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan 4 negara jawara Covid-19, yaitu Amerika Serikat 608 kematian per 1 juta penduduk, India 60, Brazil 630 dan Russia 131. 

Dari data ini dapat disimpulkan bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain.

Bagaimana dari sisi ekonomi? Data OECD pada grafik 1 menunjukkan bahwa di luar China yang memang sudah mengalami pertumbuhan positif di kuartal kedua tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke 6 negara yang memiliki kinerja ekonomi terbaik. 

Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengalami perlambatan sebesar minus 5,4%. Bahkan dari 20 negara dengan GDP terbesar di dunia, Indonesia menduduki peringkat kedua di bawah Korea Selatan yang hanya mengalami perlambatan sebesar 3.0%. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyatakan bahwa perlambatan ekonomi masih bisa terjadi pada kuartal ketiga tahun 2020. Skenario terburuk pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 0 persen sampai minus 2 persen. Artinya, Indonesia kemungkinan akan masuk fase resesi karena mengalami pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut. 

Tetapi jelas bahwa resesi sama sekali bukan berarti kehancuran ekonomi Indonesia. Bahkan harus diakui bahwa kondisi perekonomian Indonesia jauh lebih bagus dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih curam.

Kalau kedua data tersebut digabung, yaitu data keberhasilan penanganan Covid-19 yang dilihat dari jumlah kematian per 1 juta penduduk dan data perlambatan pertumbuhan ekonomi, maka akan didapatkan satu temuan yang sangat menarik untuk dicermati. 

Grafik 2 ini menunjukkan trend line dengan gradien yang negatif. Artinya negara-negara yang berada di zona kanan bawah semakin baik penanganan kesehatannya sekaligus semakin baik penanganan pertumbuhan ekonominya. Indonesia dan Taiwan adalah contohnya. Sebaliknya negara yang ada pada zona kiri atas boleh dikatakan kurang berhasil dalam menangani faktor kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. 

Contoh dari negara-negara yang ada pada zona ini adalah Inggris, Italia dan Perancis. Garis trend line dengan gradien yang negatif sekaligus menegasikan premis bahwa harus terjadi dikotomi dan trade off antara penanganan protokol kesehatan dengan penanganan ekonomi. Kalau premis dikotomi dan trade off benar, maka garis trend line akan memiliki gradien yang positif. 

Kesimpulannya penanganan pandemi dari dari aspek kesehatan dan penanganan ekonomi bisa berjalan seiring. Negara yang sukses menangani sisi kesehatannya seringkali juga sukses dalam menangani sisi ekonominya. 

Jadi benar apa yang dikatakan Presiden Jokowi  bahwa kita harus mampu menangani mengendalikan pandemi penyebaran Covid-19, sekaligus menerapkan strategi ekonomi yang baik. 

Kita tidak boleh hanya fokus di satu sisi dengan mengorbankan sisi yang lain. Keduanya bisa dioptimumkan secara bersama.

Quote