Ikuti Kami

Kebangkitan Persatuan Nasional

Oleh: E. Y. Wenny Astuti Achwan, Kader PDI Perjuangan asal NTB.

Kebangkitan Persatuan Nasional
E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2. (Foto: Dok. Pribadi)

Sejak 1959, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, disingkat Harkitnas, yaitu hari nasional yang bukan hari libur yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 untuk memperingati peristiwa Kebangkitan Nasional Indonesia.

Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20, di mana banyak rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai "orang Indonesia". Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan ikrar Sumpah Pemuda  pada 28 Oktober 1928 (id.wikipedia.org/wiki/Kebangkitan_Nasional_Indonesia). 

Sebelum itu, tepatnya 17 September 1901, pidato Ratu Wilhelmina di Parlemen Belanda menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda memiliki kewajiban moral dan hutang budi pemerintah Belanda bagi kesejahteraan bangsa bumiputera Hindia Belanda yang tertuang dalam kebijakan politik etis atau politik balas budi (ethische politiek). Kelak dalam perjalanannya politik etis inilah yang ikut mengambil peran dalam perjuangan menumbuhkan rasa kesadaran nasional yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia.

Dari Perhimpunan Budaya Menjadi Pergerakan Nasionalisme

Boedi Oetomo (Budi Utomo/ BU) yang digagas Dr. Wahidin Sudirohusodo dan didirikan oleh Dr. Soetomo dan para mahasiswa adalah perhimpunan yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Sejak awal BU bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia yang ditujukan bagi golongan berpendidikan di Jawa. Bahkan kepemimpinannya pun diperuntukan bagi kalangan bangsawan atau priyayi. Kesan eksklusif ini makin tampak dengan bergabungnya kalangan bangsawan dan pejabat kolonial yang berasal dari berbagai wilayah di pulau Jawa. BU hanya mengenai kebudayaan dan pendidikan Jawa. Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan mengabaikan suku lain di luar Jawa.

Munculnya gerakan politik seperti Sarekat Dagang Islam (1905, berubah menjadi Sarekat Islam/ SI pada 1906) dan Indische Partij (Partai Politik pertama di Hindia Belanda, 1912) mempersatukan semua orang Indonesia yang tertindas oleh penjajahan. Perkembangan itu memantik perubahan dalam perjuangan BU bahwa BU adalah manifestasi dari perjuangan politik. Pengutamaan perjuangan BU di bidang kebudayaan dan pendidikan haruslah mencerminkan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme terdapat pula pada suku di luar Jawa (Sumatera, Sulawesi, Maluku, dll.). Sejak itulah BU tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang bumiputera. Soewardi Surjaningrat, kelak berganti nama Ki Hadjar Dewantara, mengatakan bahwa pada hakekatnya dalam perhimpunan BU, nasionalisme Indonesia ada dan merupakan unsur yang paling penting.

Selain hal itu, pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan pula dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Para pendukung politik etis menolak diskriminasi sosial-budaya dan menyadarkan kaum bumiputra agar melepaskan diri dari belenggu feodal serta mendukung emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Kebangkitan Nasional Adalah Bangkit Untuk Bersatu

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2019 mengingatkan kembali bahwa kesadaran nasionalisme telah bersemi sejak 111 tahun yang lalu di negara Indonesia. Kesadaran yang bermula dari primordialisme yang berujud kesamaan adat, kesukuan, ras, agama dan daerah asal kelahiran, kemudian berkembang menjadi kesadaran nasional sebagai “orang Indonesia” yang tumbuh di berbagai daerah lainnya. Kata “Indonesia” lantas dipandang sebagai identitas nasional dan sebagai lambang perjuangan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Maka segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia, bukan demi kepentingan primordial.

Mengutip tujuan peringatan yang ditetapkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2019, jiwa nasionalisme kebangsaan terus dipelihara, ditumbuhkan dan dikuatkan sebagai landasan dasar dalam melaksanakan pembangunan, menegakkan nilai-nilai demokrasi berlandaskan moral dan etika berbangsa dan bernegara, mempererat persaudaraan untuk mempercepat terwujudnya visi dan misi bangsa ke depan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa jiwa nasionalisme kebangsaan sudah bangkit dan akan terus dikuatkan dalam menyongsong kebangkitan Indonesia sebagai salah satu polar kekuatan yang diperhitungkan dunia. Sehingga dengan demikian tema kebangkitan yang dimaksudkan dalam peringatan 111 tahun Kebangkitan Nasional Tahun 2019 ini adalah kebangkitan dalam persatuan semua elemen bangsa.

Sebagaimana nasionalisme yang mengarah pada upaya melakukan pergerakan nasional melawan penjajah dan meraih kemerdekaan yang melibatkan peran berbagai golongan, maka dengan pola yang sama bangkitnya persatuan juga tidak lepas dari peran berbagai kalangan, mulai dari kaum terpelajar/ cendekiawan, profesional, sampai kalangan pers. Kaum terpelajar cendekia dan profesional dituntut untuk mengedepankan semangat persatuan dalam kerangka tugas pengajaran dan pencerdasan bangsa. Kaum pers juga berperan dalam penyampaian informasi yang berkualitas dan mencerminkan kebenaran faktawi. 

Melihat kembali peristiwa demokrasi berupa Pemilu serentak 2019, kita tidak membantah bahwa telah terjadi polarisasi dan segregasi masyarakat karena perbedaan pilihan politik. Dalam bermacam kalangan profesi di atas terungkap pula adanya polarisasi dan menegaskan segregasi di antara mereka sendiri. Masyarakat disuguhi aneka pemutarbalikan fakta dan kebenaran serta gempuran kebohongan, bahkan menyaksikan dengan terang benderang perpecahan di antara kalangan tersebut. Hal itu makin mengeksploitasi perbedaan dan memicu pertentangan baik secara online maupun offline.

Kini Pemilu telah usai dan keputusan demokrasi sudah sampai di ambang final. “Bangkit Untuk Bersatu” atau “Kebangkitan Dalam Persatuan” harus dikuatkan tanpa kenal henti betapapun diselingi dengan pesta demokrasi yang hanya lima tahun sekali. Inilah pekerjaan yang tetap nyata dan selalu besar yang diletakkan di pundak para terpelajar cendekia, pers, atau apapun profesi yang disandang demi kepentingan Indonesia. Demi dan atas nama persatuan nasional itu sendiri.

“Tuhan tidak mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri.”
- Bung Karno - 
  
SELAMAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL KE-111
20 MEI 2019

Quote