Ikuti Kami

Ketika Ganjar Berada di Rumah Lahir Bung Karno

Oleh: Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Adi Sutarwijono. 

Ketika Ganjar Berada di Rumah Lahir Bung Karno
Ganjar ketika mengamati foto Bung Karno di rumah Jalan Pandean Gang 4 No. 40, Peneleh, Genteng.

Jakarta, Gesuri.id - Pranowo melewati massa berjubel, berdesak-desakan, yang menyambut di Jalan Raya Peneleh. Dan, di jalan kampung menujui rumah kelahiran Bung Karno. Di Jalan Pandean Gang 4 Nomor 40, Kota Surabaya. Anak-anak muda santri berbaju putih berjajar. Berbaur dengan kader-kader banteng dan warga masyarakat umum. Mereka ingin melihat dan bertemu Ganjar.

Waktu menunjukkan pukul 16.55 WIB. Sabtu 6 Mei 2023. Massa yang bergelora berebut untuk berfoto, bersalaman, dan berteriak-teriak. Histeris. Jalan kampung yang sempit itu menjadi bertambah sempit. Penuh sesak. Berjalan setapak demi setapak. Ganjar menyalami satu per satu massa yang berebut. Ia memaksimalkan betul “the power of salaman”.

Mendampingi Ganjar, komunitas penggiat sejarah Begandring. Sampai di rumah Bung Karno, politisi jangkung berambut putih itu disambut warga dan tokoh masyarakat Pandean. Agus Santoso, tokoh Pandean, memberi kendil berisi air dari Sumur Jobong. Sumur berusia 600 tahun, sejak jaman kerajaan Majapahit. Prosesi penyerahan air itu didahului gending Jawa. Dikisahkan tentang tumurune wahyu keprabon (turunnya wahyu keprabon).

“Agus Santoso adalah warga asli Pandean, yang teridentifikasi melalui tes DNA sebagai keturunan penduduk pertama Surabaya enam abad lalu,” ujar Kuncarsono Prasetyo, penggiat Begandring.

Meneguhkan Spirit Kebangsaan

Kuncar, Nanang Purwono, dengan komunitas Begandring berpakaian ala jaman pergerakan 1920-an. Era ketika pemimpin Sarikat Islam, HOS Tjokroaminoto, menggembleng sejumlah anak muda termasuk Soekarno, di rumah indekos Jalan Peneleh Gang 7, yang letaknya tidak jauh dari kampung Pandean

“Sebuah era ketika Surabaya disebut Soekarno, sebagai kota yang tumbuh sebagai dapurnya nasionalisme Indonesia. Ketika itu Soekarno muda indekos di rumah Pak Tjokro karena bersekolah di Surabaya, dan berinteraksi aktif dengan tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai aliran pemikiran ideologi,” kata Kuncar.

Begandring sengaja menghidupkan memorabilia semangat jaman ketika jabang bayi Koesno lahir di rumah kecil, 6 Juni 1901. Menjelang fajar matahari merekah. Dari orangtua bernama R. Soekeni Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika situasi rakyat di negerinya sedang terbelenggu penjajahan Belanda.

Soekeni adalah guru sekolah kaum pribumi jaman Belanda, dan ibunya berasal dari Singaraja, Bali. Karena sakit-sakitan waktu kecil, Koesno kemudian diubah nama menjadi Soekarno. Di kemudian hari, Bung Karno juga dikenal dengan sebutan Sang Putra Fajar. 

Pergantian nama itu mengingatkan kisah Ganjar waktu kecil. Setelah dia lahir, kedua orangtuanya memberi nama Ganjar Sungkowo. Karena kerap sakit-sakitan, kedua orangtuanya kemudian mengganti Ganjar Pranowo, seperti yang dikenal publik sekarang. 

Ganjar kemudian membasuh muka, membasahi kepala, dan tangan, dengan air di kendil dari Sumur Jobong. “Air diambil dari Sumur Jobong pada Kamis malam, malam Jumat Legi, sebelum Mas Ganjar datang. Diambil dengan diiringi doa-doa dari warga masyarakat Pandean,” kata Djadi Galajapo, yang bertindak MC.

“Air dari Sumur Jobong, sumur tua peninggalan kerajaan Majapahit, sebagai simbol peneguhan spirit kebangsaan Indonesia yang menggelora pada diri Mas Ganjar Pranowo,” terang Djadi. Setelah membasuh muka, Ganjar kemudian diajak masuk ke rumah kelahiran Bung Karno yang telah dipugar Wali Kota Eri Cahyadi.

Ganjar, Diam dan Merasakan

Kuncar kemudian menjelaskan riwayat rumah itu. Rumah yang sudah menjadi milik Pemkot Surabaya, di era Wali Kota Tri Rismaharini. Ditandai penyerahan kunci rumah pada 17 Agustus 2019. Sebelumnya, rumah sudah berganti pemilik tiga kali.

Bung Karno lahir di Pandean karena ayahnya pindah tugas mengajar di Surabaya dari Singaraja, Bali. Soekeni mengajar di Sekolah Ongko Loro untuk warga pribumi, terletak di Soeloeng (kini, Jalan Sulung Sekolahan No.1). Sekolah itu kemudian berubah nama Sekolah Rakyat Soeloeng. Pasca kemerdekaan, menjadi SDN Soelong. Sekarang bernama SDN Alun-Alun Contong.  Lokasinya tidak jauh dari kampung di Pandean. Kuncar menyebut, Soekeni Sosrodihardjo mengajar di sekolah itu tahun 1898-1901.

Sekarang SDN Alun-Alun Contong ditetapkan bangunan cagar budaya. Masih terpelihara ruang kelas yang menjadi tempat ayahanda Soekarno mengajar. Status cagar budaya juga ditetapkan Pemkot Surabaya terhadap Sumur Jobong dan rumah kelahiran Bung Karno di Pandean Gang 4 No. 40.

Setelah lahir di Surabaya, keluarga Soekeni kemudian berpindah-pindah tugas mengajar ke Mojokerto, Ploso Jombang, dan Blitar. Kepindahan itu dengan membawa Soekarno kecil. Sampai kemudian Soekarno kembali sekolah di  Surabaya, tinggal di rumah indekos HOS Tjokroaminoto di Peneleh Gang 7.

“Bung Karno lahir di Surabaya. Masa remajanya berada di Surabaya, sekolah di kota ini, indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Teman satu generasinya, termasuk Roeslan Abdulgani. Bung Karno bangga menjadi bagian dari arek Suroboyo, dengan kultur arek yang egaliter,” kata Kuncar pada Ganjar.

Di rumah kelahiran Bung Karno, Ganjar didampingi Puti Guntur Soekarno, cucu Bung Karno, putri Guntur Soekarno. Serta Indah Kurnia. Keduanya anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, dari Dapil Surabaya-Sidoarjo. Ada juga Wali Kota Eri Cahyadi.

Ganjar lebih banyak diam. Dia banyak mengamati ruangan, foto-foto yang terpasang dan merasakan situasinya. Ia terdiam mengamati cukup lama foto Soekarno beranjak remaja, dan foto Soekarno ketika menjadi tokoh besar dan Presiden pertama RI, yang terpajang di rumah itu. 

Dalam kamar, yang diperkirakan tempat lahir Bung Karno, Ganjar memejamkan mata. Dia berdoa kepada Sang Maha Pencipta. Dan, merasakan serta menyerap spirit kebangsaan Indonesia di rumah itu. Spirit yang mewujud dalam ide, gagasan, pemikiran dan cita-cita Bung Karno, yang tak kenal lelah diperjuangkan sampai napas berakhir. 

Spirit cita-cita itu yang diwariskan pada generasi berikutnya, dan tetap hidup sampai sekarang. Seperti api yang terus menyala nan tak kunjung padam. Tidak bisa dimatikan dengan cara apa pun. 

Terlebih ketika segenap pemikiran dan cita-cita itu digali dari amanat penderitaan rakyat, serta harapan wong cilik. Sekaligus membentuk watak perjuangan politik yang digerakkan oleh keyakinan ideologi. Teguh dan kokoh! 

Seperti keteguhan yang ditulis dalam bahasa Sensekerta: Satyam eva jayate. Yang artinya, pada akhirnya kebenaran akan berjaya. Keyakinan kuno itu diajarkan leluhur Jawa, yang diajarkan dan diterima pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Dan, terus diyakini hingga sekarang.

Surabaya, Dapur Nasionalisme

Spirit di rumah Pandean itu terhubung kuat dengan Istana Batu Tulis, rumah Bung Karno, di Bogor. Tepat Hari Kartini, 21 April lalu, di Istana Batu Tulis, Ganjar Pranowo ditetapkan menjadi Calon Presiden RI 2024 oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri, yang dihadiri khusus Presiden Jokowi. 

Istana Batu Tulis menjadi tempat Sang Proklamator berkontemplasi ketika akan mengambil kebijakan-kebijakan besar yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, serta masyarakat Indonesia. Ibu Megawati memberi kopiah baru berwarna hitam yang disematkan pada Ganjar. Mengenakan kopiah itu, seperti  Bung Karno biasa memakainya.

Kunjungan ke Surabaya membuktikan kota ini menjadi basis penting penyokong Ganjar Pranowo. Warga masyarakat tumpah ruah di setiap titik kegiatan. Tercatat ada tujuh titik kegiatan, Sabtu lalu. Dan, Surabaya menjadi kota pertama dalam kunjungan Ganjar ke Jawa Timur, setelah menerima mandat sebagai Calon Presiden RI 2024. Berbagai lapisan masyarakat, laki-laki dan perempuan, kalangan tua dan kaum milenial, tumplek blek. Menyambut Ganjar dengan antusias.

Kunjungan Ganjar ke Kota Pahlawan, khususnya ke rumah kelahiran Bung Karno, dengan demikian bisa dimaknai sebagai ziarah kebangsaan sekaligus napak tilas sejarah. Mengalami bonding dengan pemikiran dan cita-cita Bung Karno, di kota yang di masa lalu disebut “dapurnya nasionalisme” Indonesia, yaitu Surabaya. 

Cita-cita itu harus diwujudnyatakan dalam kebijakan pemerintahan, jika kelak terpilih menjadi Presiden RI ke-8, menggantikan Presiden Jokowi. Kebijakan yang bisa dirasakan serta membuat bungah hati rakyat, terutama wong cilik, kaum marhaen. 

Bonding itu tepatnya berada di kampung Pandean dan Peneleh yang memainkan peran penting dalam peradaban di masa lalu. Dalam pembentukan gagasan Indonesia pasca kolonial Belanda. Indonesia yang merdeka dan berdaulat, mewujudkan masyarakat adil dan makmur. 

Dan, di tempat Bung Karno dilahirkan, Ganjar dielu-elukan massa rakyat sebagai pemimpin masa depan Indonesia. Penerus api perjuangan si “Bung Besar”.

Quote