Ikuti Kami

Memfitnah Penggali Pancasila, Mengkomuniskan Pahlawan Islam

Oleh: Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno, Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Rahmat Sahid.

Memfitnah Penggali Pancasila, Mengkomuniskan Pahlawan Islam
Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno, Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Rahmat Sahid.

Gesekan ideologi kembali sedikit memanas akhir-akhir ini, meski tensinya tak sepanas dan setinggi jika dibandingkan yang terjadi di era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno. Jika dulu gesekan ideologi disertai dengan gesekan fisik (pemberontakan), kini gesekan itu sekadar bising dalam perdebatan di media sosial dan sedikit diwarnai kekuatan massa demonstrasi sebagai alat legitimasi.

Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang menjadi inisiatif DPR dijadikan “alat tembak” dengan penafsiran gaya jalanan tanpa kajian ilmiah serta kecakapan referensi oleh kelompok yang selama ini konsisten memperjuangkan ideologi transnasional dan penentang Pancaasila. Seperti mendapatkan energi baru untuk menyerang kelompok nasionalis-pancasilais, mereka menjadikan RUU HIP, khususnya pasal yang menyebutkan diksi Trisila dan Ekasila, untuk diasosiasikan dengan ideologi komunis. Mereka tak mau mengkaji untuk mengetahui bagaimana konteks Trisila dan Ekasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rangka menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat: “Apa dasar Negara yang akan kita bentuk ini”.

Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengurai lima prinsip dasar Indonesia merdeka yang disebut Pancasila, yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Itulah yang kemudian disepakati secara aklamasi sidang BPUPKI. Diakui Bung Karno dalam pidatonya, ia memang senang dengan symbol angka, terlebih angka lima, sama dengan rukun Islam. “Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya”. Demikian petikan pidato Bung Karno.

Baca: Berikut 10 Fakta Menarik Pancasila

Kemudian dalam rumusan oleh Tim Delapan, dan berikutnya dibentuk Tim Semblian, yang mana Bung Karno juga ada di dalamnya, mengasilkan konsensus Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dan pada 18 Agustus 1945 menetapkan sila-sila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Lalu, dalam konteks apa diski Trisila dan Ekasila itu muncul? Itu adalah dalam konteks alternatif manakala sidang BPUPKI tidak sepakat dengan lima prinsip dasar yang disampaikan Bung Karno dengan sebutan Pancasila. Artinya, dalam tafsiran Bung Karno, jika Pancasila tidak disetujui misal karena bilangan lima, maka ia bisa memerasnya menjadi Trisila (socio-nationalisme, socio democratie, dan Ketuhanan), tanpa mengurangi lima prinsip itu. Pun jika pun karena bilangan tiga itu tidak disetujuinya, maka Bung Karno bisa memerasnya menjadi Ekasila, yakni gotong-royong.

Nyatanya, Pancasila itulah yang disetujui oleh BPUPKI, yang dalam rumusannya telah ditetapkan urutan sila-silanya. Adapun Trisila maupun Ekasila, itu merupakan perasan jika lima sila itu tidak disetujui. Artinya, secara prinsip nilainya tetaplah sama, karena berangkat dari Pancasila. Bukan prinsip yang dipertentangkan sebagaimana ditafsirkan oleh mereka yang belakangan ini merasa sebagai pembela Pancasila meskipun selama ini lebih getol memperjuangkan ideologi transnasional

Jadi, merupakan sikap yang ahistoris (atau bisa jadi kesengajaan untuk mendistorsi) ketika mempertentangkan Pancasila dengan diksi Trisila dan Ekasila, yang itu semua sama-sama muncul dari penggalinya, yakni Bung Karno. Sebab, baik Trisila maupun Ekasila adalah perasan dari prinsip dasar lima sila itu sendiri.

Lantas, atas dasar dan argumentasi apa mereka memfitnah prinsip Ekasila dan Trisila (gotong-royong) sebagai ajaran komunis? Padahal sejatinya prinsip itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Prinsip Ekasila (gotong-royong) misalnya, merupakan sebuah prinsip pengaplikasian dari perintah Tuhan Yang Maha Esa: “Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa …”(Al-Quran Surat Al Maidah ayat 2).

Fitnah Isu Komunisme

Banyak literatur sejarah yang kredibel dari sisi sumber dan referensi, bahwa faktor dominan yang berhasil “mengkudeta” Bung Karno adalah fitnah yang mengidentifikasikan sosoknya dengan komunisme dan berpihak pada Partai Komunis Indonesia. Sebuah fitnah yang sebenarnya sulit diterima akal sehat, ketika menuding Bung Karno terlibat dalam pemberontakan PKI dalam posisi saat itu ia sendiri adalah Presiden Indonesia yang sah. Masuk akal kah Bung Karno “mengkudeta” dirinya sendiri dengan cara berkolaborasi dengan PKI?

Keberhasilan menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno dengan isu komunisme, ternyata menjadi semacam resep strategi untuk menyerang secara politik untuk mendelegitimasi atau bahkan menjatuhkan pemerintahan yang sah ketika penerus ajaran Bung Karno berkuasa. Lihat saja bagaimana isu komunisme menghantam kekuasaan dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, isu komunisme dengan terstruktur, sistematis, dan massif selalu dialamatkan ke Jokowi dan partai pengusung utamanya PDI Perjuangan sejak awal kompetisi Pemilihan Presiden 2014 lalu, hingga ketika kepemimpinan untuk periode keduanya sekarang ini. Dan kali ini, munculnya RUU HIP menjadi celah untuk dijadikan serangan politik dengan cara mengkampanyekan bahwa Trisila dan Ekasila adalah ajaran komunisme.

Sulit untuk tidak menarik benang merah bahwa isu komunisme itu memang menjadi desain dan alat politik untuk mendelegitimasi dan menjatuhkan penerus ajaran Bung Karno ketika berkuasa. Termasuk dengan menggunakan tafsir sempit Pancasila sebagai alat Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera. Contohnya; seolah membela Pancasila dengan strategi mengkampanyekan Trisila dan Ekasila sebagai paham komunisme, tanpa mau mengetahui bagaimana konteks Trisila dan Ekasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno kala itu.

Padahal, kemalasan berpikir secara rasional dan menghindar dari rujukan ilmiah bisa jadi akan mensejajarkan pada pola pikir “asal menyalahkan”. Seperti juga misalnya pola pikir yang menyalahkan tafsir ulama bahwa Surat Alfatihah adalah intisari Alquran, ataupun tafsir Surat Yasin adalah jantungnya Alquran. Bisa dipastikan yang menyalahkan itu juga tentu tidak didasari ilmu tafsir dan ilmu hadits yang mumpuni, selain karena dorongan “nafsu politik” asal menyalahkan.

Dibenturkan dengan Islam

Pentingnya mempelajari sejarah tidak hanya untuk mengetahui bagaimana jasa dan pemikiran serta ajaran para pendiri bangsa. Tetapi juga untuk merangsang spirit dan jiwa kita untuk bisa meneladani, atau setidaknya kita bisa menghargainya. Ketika kita mengetahui bagaimana peran Bung Karno sebagai penggali Pancasila dan salah satu yang merumuskan sila-silanya, maka kita tidak akan gegabah untuk mengkomuniskan pemikirannya. Demikian juga ketika kita mengetahui bagaimana keislamannya, maka kita tak akan sembrono menuding gaya politiknya memusuhi Islam. Jika kita mengetahui bagaimana keyakinannya pada Tuhan, maka tidak akan tega untuk menudingnya sebagai ateis yang berpihak pada komunis.

Kita juga perlu mengetahui bagaimana kekaguman Bung Karno pada sosok Nabi Muhammad SAW sehingga kita bisa memaklumi kenapa dalam perjuangannya banyak terinspirasi olehnya sehingga selalu melibatkan para kyai dan ulama dalam menentukan nasib bangsa.

Ketika kita mengetahui bahwa Bung Karno begitu lekat dengan peradaban Islam dunia, seperti halnya penemuan makam Imam Al Buchori, pembukaan kembali Masjid Biru di st Petersburg, penanaman pohon mimba di Padang Arafah, Renovasi Jalur Sa’i, hingga perannya dalam kemerdekaan Negara-negara Islam melalui Konferensi Islam Asia Afrika yang kemudian membuatnya dianugerahi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan, tentu kita tidak akan tega menjadikannya objek fitnah untuk politik adu domba dengan alat politik Pancasila yang merupakan salah satu jasa besarnya untuk negeri ini.

Demikian halnya ketika kita mengetahui bagaimana lekatnya hubungan Bung Karno dengan Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta mengetahui bagaimana bahu-membahu perjuangan Bung Karno dengan para tokoh kedua organisasi itu, maka kita tak akan mampu memfitnah dan mengadudomba para pengikut ajaran Bung Karno dengan cara dibenturkan dengan dua orgasisasi keagamaan yang punya saham besar atas berdirinya republik ini.

Hanya mereka yang masih belum rela Negara Indonesia punya dasar Pancasila, yang tega dan mampu mendistorsikan sejarah, bahkan punya ketegaan untuk memfitnah gagasan dan ajarannya untuk kepentingan politik yang endingnya justru ingin mendelegitimasi nilai-nilai Pancasila, dengan tampilah seolah merekalah pembela Pancasila. Trisila dan Ekasila hanyalah jadi alat tembak politik untuk “target antara”, karena “target utamanya” adalah menjatuhkan pemerintahan yang sah dan mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dengan ideologi transnasional yang selama ini mereka diperjuangkan.

Quote