Ikuti Kami

Negara dan Kedewasaan Berdemokrasi

Oleh: Amilan Hatta, M.Si, Ketua PP BAMUSI Bid. Hubungan Antar Lembaga, Presidium GMNI Periode 2013-2015

Negara dan Kedewasaan Berdemokrasi
Amilan Hatta, M.Si, Ketua PP BAMUSI Bid. Hubungan Antar Lembaga, Presidium GMNI Periode 2013-2015

BERABAD-ABAD lamanya, tatanan sosial selalu menjadi objek menarik untuk diteliti. Mengenal nilai, budaya dan sistem yang ada didalamnya menjadi hal yang absolut sebelum kita beranjak menuju retorika. 

Manusia memerlukan konsep berfikir dalam memaknai fenomena tersebut untuk kemudian mencetuskan hal-hal baru demi terbentuknya perubahan sosial. Tentunya setiap pengupayaan itu adalah baik bagi penggagasnya. 

Namun dalam konteks membangun sebuah peradaban, kita akan selalu memerlukan kedewasaan. Jika dibahasakan lebih lanjut, maka akan kita dapati bahwa jalur ini begitu kompleks, sehingga setiap orang punya penafsiran sendiri termasuk dalam menginterpretasikan maksud-maksud sederhana dalam konsep bernegara. 

Negara memang adalah fenomena baru jika berukir dari tarikan sejarah. Tapi negara bisa pula kita maknai sebagai nama lain dari kebijaksanaan manusia. Maka bernegara adalah tentang kita yang menjadi terarah,  bukan tentang memarginalkan orang lain demi kepentingan-kepentingan belaka. 

Akan menjadi sedikit dikotomis bila dalam tatanan sosial yang sebesar ini, nilai-nilai yang  kita harapkan terentaskan, karena sebenarnya dengan tanpa memahami Bab per-Bab dari pasal-pasal undang-undang, pada dasarnya kita sudah terbingkai dalam suatu tatanan norma. Maka kita tidak perlu heran jika setiap hal berkenaan dengan konflik diputuskan berdasarkan hukum, karena tarikan dari hukum adalah norma itu sendiri. 

Mari menarik hipotesa bahwasanya kita membutuhkan kepahaman tentang hakikat dan konteks berkebangsaan untuk melahirkan keteraturan.

Pemerintah dan pemerintahan perlu gagasan dan tawaran-tawaran ideologis yang membangun dalam prosesnya. Bangsa ini tidak memerlukan perangai melankolis yang condong pada inkonsistensi bersikap. Di satu sisi mencoba menegakkan hukum, sedang di sisi lain mencoba menentang hukum. 

Kalah dalam politik artinya kalah dalam gagasan, dan barang siapa yang menghendaki menang dalam politik, maka berikanlah gagasan terbaik yang dimiliki, karena senjata terbaik di ruang demokrasi adalah gagasan itu sendiri. Di luar dari kemapanan berpikir tersebut, maka setiap gerakan hanya akan membentuk keributan. 

Poeple power yang kita telisik saat ini konon disebut sebagai reaksi nyata dari kelemahan sistem. Namun sayangnya sistem akan selalu terlihat lemah bagi yang tidak mau mengenalnya. 

Gerakan massa adalah seburuk-buruknya gerakan, karena model tersebut memperjelas ketidak mampuan penyelenggara tuntutan atau kecacatan berfikir orang yang menuntut itu sendiri. Aksi massa akan benar jika melalui mekanisme yang benar, termasuk pada intinya dibolehkan bilamana tidak ditemui kata sepakat oleh karena ketidaklogisan dalam audiensi dan klarifikasi.  

Pincangnya cara kita berdemokrasi hari ini adalah, kita yang mendahulukan mulut tanpa sejenak mau mendengar, sehingga semua rule making yang coba dihadirkan suatu sistem tertabrak habis oleh anarkisme dan egosentris. Menggunakan tindakan koersif belum tentu membangun pemikiran yang sama, justru akan berulang sebagai siklus wajib dalam berpolitik. 

UUD 1945 ayat (5) tentang perlindungan HAM menegaskan dalam bahasa keharusan untuk mengikuti prosedur hukum. Pada situasi politik seperti saat ini, tentunya hak politik seseoranglah yang perlu dijaga dan diperjuangkan secara hukum, bukan gerakan yang mematikan nalar masyarat dalam berdemokrasi. Terlebih dalam Bab X pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara dipandang sama di mata hukum.

Tindakan di luar aturan yang berlaku bukanlah pemikiran yang sehat untuk diterapkan. Pada kasus pemilihan umum serentak di Indonesia,  yang bahkan belum adanya keputuasan secara resmi, sangat tidak logis untuk bertindak inkonstitusional.

Menjamin hak bukan berarti membebaskan setiap tindakan, melainkan mengambil porsi yang tepat untuk adanya keselarasan. Dengan tanpa meninggalkan konstelasi yang seharusnya, siapapun wajib memiliki adab dalam berkewarganegaraan.

Sungguh tidak dapat terukur berapa jumlah suara yang mati nantinya, dan sengaja dimatikan secara pribadi sebagaiimbas dari proses ini atau dalam ungkapan lain kita kenal dengan istilah distrust politik. Kerakyatan dimaknai sebatas siapa yang berani turun ke jalan, tanpa melihat bahwa di sisi lain apa yang diterapkan saat ini dapat menjadi alasan tindakan-tindakan abnormal berikutnya dimasa yang akan datang. 

Menjamu keharmonisan yang kita miliki, perlu rasanya untuk kembali pada nilai-nilai feodal ketimuran yang sempat tertanam, dan bersamanya kita mulai kehilangan. Bukan tentang menjadi angkuh atau kuno dalam beraspirasi, melainkan hanya sedikit menilik relevansi yang ada. Nilai-nilai tersebut adalah kita yang mengedepankan musyawarah dan mufakat, serta menghormati setiap putusan-putusan yang ada. 

Pada 2017 berdasarkan Biro Sensus Amerika, tercatat penduduk Indonesia berjumlah 264 Juta  jiwa, setelah sebelumnya pada tahun 2015 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa pada tahun ini. Jumlah ini adalah hitungan yang sangat signifikan untuk sekedar memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi, bahwa berdemokrasi adalah tentang mematuhi apa yang kita bangun sendiri. 

Menang kalah dalam kontestasi politik adalah hal yang biasa. Justru ketika mampu melihat kemenangan pihak lain sebagi kehormatan bersama, pada saat itu pula kita pantas dianggap sebagai negarawan yang baik. Jika negara adalah sosok ibu, maka siapa yang pantas dikatakan anak tiri jika kita lahir dari rahim yang sama ?

Quote