Ikuti Kami

Pancasila Kuatkan Toleransi Beragama di Salatiga

Oleh: Tuti Roosdiono, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Daerah Pemilihan Jawa Tengah I

 Pancasila Kuatkan Toleransi Beragama di Salatiga
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Tuti Nusandari Roosdiono

DEWASA ini, hampir seluruh negara di dunia mengalami serangan terorisme yang dilakukan oleh pemberontak atau jaringan teroris dari luar kepada warganya. 

Di Indonesia, teroris sudah meresahkan dengan aksi terornya seperti bom bunuh diri hingga penyerangan kepada aparat kepolisian.

Semua aksi teror itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya dilakukan oleh sekelompok jaringan yang mengatasnamakan agama tertentu. Dan dengan cara pandang beragama yang sempit, mereka tidak bisa menerima perbedaan.

1 Oktober 2018 kemarin kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Untuk itu, Penulis berharap dengan tulisan ini kita merefleksikan kembali betapa beruntungnya bangsa kita yang sejak lama memiliki akar sejarah yang kuat untuk menerima perbedaan dari keberagaman. 

Para pendiri Bangsa telah memupuk semangat persatuan dan kesatuan. Dan itu semua diikat oleh ideologi bangsa kita: Pancasila. 

Selain itu, ada Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan nilai luhur warisan budaya nenek moyang kita untuk menerima perbedaan, menjadi landasan kita untuk bersatu.

Terlebih bicara Kebebasan berbagama dan berkeyakinan yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling mendasar dan krusial. 

Melihat pentingnya menjamin kebebasan memeluk agama atau keyakinan yang merupakan HAM, maka publik sepakat memasukkannya ke dalam kategori non-derogable right, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun. 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, non-derogable right mengatur hak-hak warga negara dalam Pasal 28 huruf I ayat 1 yang meliputi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 

Kemudian pada Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menjelaskan lebih lanjut mengenai yang dimaksud dengan "Dalam keadaan apapun" termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.

Sementara itu, derogable right adalah hak-hak yang masih bisa dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara dalam keadaan tertentu.
 
Terkait HAM dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, Negara wajib menjamin dan melindungi setiap warga negaranya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 merupakan ratifikasi dari kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. 

Belajar dari Salatiga

Jika ingin belajar toleransi dan bagaimana pengamalan Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika dijalankan, tengoklah Kota Salatiga. Kota kecil di Jawa Tengah yang sejuk nan permai, persatuan dan kesatuan umat beragama telah lama terjadi.

Tahun 2015 lalu, Setara Institute memberikan predikat Kota Paling Toleransi pada sepuluh kota di Indonesia. Salatiga menjadi satu-satunya kota di pulau Jawa yang masuk dalam daftar tersebut.

Salatiga diklaim warganya sebagai kota yang unik. Berada di tengah-tengah tiga kota besar: Semarang, Surakarta dan Yogyakarta, kota yang dulunya tempat persinggahan kolonial Belanda ini menjadi tujuan para pelajar untuk menimba ilmu. Berdirinya Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) pada tahun 1956 yang mempunyai jargon ‘Indonesia Mini’, karena mahasiswanya berasal dari Sabang sampai Merauke membuat Salatiga berkembang menjadi kota pendidikan.

Kehadiran UKSW, justru menguatkan toleransi agama di Salatiga. Apalagi dengan prakteknya yang memang menerima mahasiswa dari semua kalangan dan agama, tidak memandang satu agama. UKSW memang mencerminkan kota Salatiga yang tenang dan tentram.

Adanya  keseimbangan komunitas agama yang di Salatiga membuat hampir tidak pernah terjadi gesekan agama di kota kecil yang sejuk dan tenang ini.

Nyaris tak pernah terdengar ada konflik agama. Masyarakat sadar, berkonflik dan bergesekan soal agama tak ada tempatnya di Salatiga. Yang ada malah keseimbangan antara komunitas Kristen dan non Kristen dan semua agama. 

Di kota yang dikenal dengan makanan cemilan enting-enting gepuk ini, toleransi dijalankan. Salah satu bentuk toleransinya: penggunaaan lapangan Pancasila sebagai lokasi kegiatan keagamaan. Saat Natalan, lapangan ini menjadi tempat ibadah merayakan Natal umat kristiani se-Salatiga. Begitu pun saat Idul Fitri, di lapangan itu digunakan sebagai tempat sholat Ied umat Islam.

Begitupun saat merayakan Natal, sejumlah pemuda Masjid Agung Darul Amal yang berdekatan dengan lapangan tanpa dikomando, turut membantu kelancaran ibadah Natal dengan mengatur masuknya kendaraan dan mengatur para warga yang akan mengikuti ibadah. Setelah itu para pemuda masjid akan menyalami dan mengucapkan hari Natal kepada para umat Kristiani. 

Fenomena ini berbanding terbalik dengan realita yang ditunjukkan oleh sebagian kelompok umat Muslim di Indonesia yang menyatakan haram mengucapkan hari raya Natal kepada umat Kristiani.

Mengutip berita Metrotvnews.com hasil reportase wartawan Sonya Michaella, merayakan perbedaan di Salatiga tidak hanya hari Natal saja. Perayaan Paskah pun diadakan di Lapangan Pancasila dan Masjid Agung Darul Alam tidak pernah merasa terganggu kendati mereka juga menggunakan lapangan tersebut saat Idul Adha.

Dimulai sejak subuh sekitar pukul 4.00 WIB, Masjid Agung Darul Alam sangat menghormati perayaan Natal tersebut dengan mematikan pengeras suara adzan subuh. Hal yang terkadang sulit ditemui di kota-kota lain, apalagi dengan gesekan agama yang bertambah.

Pemerintah juga memberikan peluang dan kesempatan umat Kristiani untuk mengekspresikan hari Natal dengan menggelar festival Natal berkeliling kota Salatiga dan disaksikan pula oleh umat Muslim juga umat agama lain setiap tahunnya.

Salatiga bukan kota ajang pertarungan agama atau menganggap agamanya paling bagus dan hebat. Pemimpin kota Salatiga yang beragama Muslim sangat bisa bekerja sama dengan para bawahannya umat Nasrani.

Quote