Ikuti Kami

Pengurangan Limbah dan Peningkatan Pertanian Pangan

Oleh: E.Y. Wenny Astuti Achwan, Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan & Anak DPD PDI Perjuangan NTB.

Pengurangan Limbah dan Peningkatan Pertanian Pangan
Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan & Anak DPD PDI Perjuangan NTB, E.Y. Wenny Astuti Achwan.

Jakarta, Gesuri.id - Hari Pangan Sedunia (HPS), atau World Food Day, diperingati setiap tanggal 16 Oktober.

HPS adalah hari aksi yang didedikasikan untuk mengatasi kelaparan global. Orang-orang sedunia bersatu menyatakan komitmen mereka untuk menghilangkan kelaparan dari kehidupan manusia di seluruh dunia.
    
Berbagai acara yang diselenggarakan oleh lebih dari 150 negara di dunia, menjadikannya sebagai salah satu hari paling terkenal dalam kalender PBB. Acara-acara tersebut mempromosikan kesadaran dan tindakan di seluruh dunia bagi mereka yang menderita kelaparan dan untuk memastikan keamanan pangan dan diet bergizi untuk semua. 

Fokus hari ini adalah bahwa makanan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan fundamental. 

Di dunia saat ini, lebih dari 820 juta orang menderita kekurangan gizi kronis, 60% perempuan, dan hampir lima juta anak balita meninggal karena berbagai sebab yang berhubungan dengan kekurangan gizi setiap hari.

Penting juga untuk dicatat bahwa selain jutaan orang menderita kelaparan, 672 juta orang menderita obesitas, dan 1,3 miliar lainnya kelebihan berat badan. Oleh karena itu kita bertekad untuk mengubahnya.

Tema HPS tahun ini adalah “Our Actions Are Our Future Healthy Diets for A #ZeroHunger World.” Sedangkan tema HPS 2019 Nasional adalah ”Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045”.

Kebiasaan Sehari-hari yang Membuat Perbedaan

Pada tingkat pribadi, kegiatan peringatan HPS hendaknya mampu memberi pendidikan kepada individu tentang cara yang dapat mengubah kebiasaan dan keputusan sehari-hari yang sederhana untuk membuat perbedaan. Sumber daya terkait membantu individu memahami isu-isu global yang penting seperti kemiskinan, konflik dan perubahan iklim yang berdampak pada pasokan dan distribusi pangan dunia.  Tidak kurang pentingnya adalah mengurangi kehilangan dan limbah makanan.

Menurut laporan 2011 dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi di Bumi terbuang sia-sia atau hilang di suatu tempat di sepanjang perjalanan dari pertanian ke perut kita. Itu berarti sekitar 1,3 miliar metrik ton makanan yang hilang per tahun. Jika proporsi itu tidak berubah, para ahli mengatakan bahwa jumlah makanan yang terbuang akan meningkat menjadi 2,1 miliar ton per tahun pada tahun 2030. Semua makanan yang terbuang tersebut bukan hanya masalah etika, namun juga menjadi masalah lingkungan.

Menurut PBB, pertanian (sebagian besar produksi daging, susu dan beras) menyumbang setidaknya 8,4% dari total emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Saat ini, emisi yang terkait dengan makanan yang hilang atau terbuang menambah hingga sekitar 4,4 gigaton gas rumah kaca per tahun. Artinya adalah jika makanan yang tidak dimakan dianggap sebagai sebuah negara, maka ia menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah China dan AS.

Persentase makanan yang hilang dan terbuang pada akhirnya sangat mirip di berbagai wilayah di dunia. Menurut catatan FAO, sekitar 35% dari total makanan yang diproduksi di Amerika Utara tidak pernah dikonsumsi oleh manusia, sebanyak 36% di sub-Sahara Afrika dan 34% di Eropa, Amerika Selatan, dan industrialisasi Asia. Sementara di Asia Selatan dan Tenggara hanya 26% yang terbuang dari total makanan.

Apa yang sangat berbeda di antara daerah-daerah tersebut adalah jumlah makanan yang hilang per kapita. Di Amerika Utara, misalnya, 650 pon makanan hilang atau terbuang untuk setiap pria, wanita dan anak-anak setiap tahun. Itu lebih dari dua kali lipat di Asia Selatan dan Tenggara, sebesar £ 243 (4,3 juta rupiah) terbuang per orang per tahun.

Sumber perbedaan lainnya adalah pada tahap mana di sepanjang rantai makanan itu hilang. Di Amerika Utara, 58% dari total kehilangan makanan terjadi pada tahap konsumsi dan 6% hilang selama penyimpanan dan penanganan. Di Sub-Sahara Afrika, hanya 6% dari total kehilangan makanan terjadi pada fase konsumsi, sedangkan 36% hilang selama penyimpanan dan penanganan (data FAO).

Untuk mengatasi masalah ini, anggota PBB mengadopsi tujuan planetwide untuk mengurangi limbah makanan sebesar 50% pada tahun 2030. Setiap negara harus menetapkan tujuan mereka sendiri seputar kehilangan dan pemborosan makanan jika target PBB akan tercapai pada 2030.

Untuk mengetahui seberapa baik dunia berkembang menuju tujuan itu, pemerintah dan industri perlu memiliki data yang lebih baik tentang berapa banyak makanan yang terbuang sekarang dan di mana hilangnya dalam tahapan rantai makanan. Hal ini akan memungkinkan pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi apa yang disebut "hot spot" dan menargetkan titik-titik tersebut secara langsung.

Langkah-langkah tegas dan tepat perlu diambil untuk mengurangi makanan yang hilang. Semua pihak didorong untuk mengumpulkan tanaman yang tidak dipanen yang tak dapat dijual dan mendistribusikannya ke dapur makanan atau dapur umum. 

Kita perlu membeli lebih banyak buah dan sayuran yang terlihat "tidak sempurna" tetapi benar-benar baik untuk dimakan. Perusahaan penyedia makanan perlu mencatat lebih baik dan cermat tentang makanan apa yang paling mungkin ditinggalkan dan membuatnya lebih sedikit di saat ada pesanan berikutnya. 

Selain hal tersebut, yang terpenting adalah tidak meninggalkan sisa makanan dalam piring kita masing-masing. Inilah tindakan perubahan yang langsung berdampak dan pasti dapat dilakukan semua orang dalam kehidupan sehari-hari.

Teknologi Pertanian yang Mendukung Ketahanan Pangan

Salah satu kecemasan tentang persediaan pangan di masa depan adalah erosi tanah. Sekitar 40% dari tanah yang digunakan untuk pertanian diklasifikasikan sebagai habis. Diperkirakan bahwa tanah sedang digunakan pada tingkat yang sepuluh kali lebih besar daripada tingkat di mana tanah secara alami diisi ulang.  Beberapa orang berpikir bahwa kita hanya memiliki sekitar 60 tahun lapisan tanah atas yang tersisa.
 
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemanasan global. Ketika suhu naik dalam beberapa dekade ke depan, hal itu mungkin akan memberi efek negatif pada produksi pertanian global. Naiknya suhu menyebabkan lebih banyak kekeringan dan meningkatkan kebutuhan akan irigasi. Musim dingin yang lebih hangat akan berarti bahwa lebih sedikit serangga akan mati selama musim dingin, yang menyebabkan peningkatan beberapa populasi serangga yang dapat mengancam tanaman. 

Ketika populasi tumbuh, semakin banyak hutan dunia yang diubah menjadi lahan pertanian, yang dapat meningkatkan pemanasan global (karena hutan menyerap karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global). Ada juga fakta bahwa persediaan air bersih menjadi lebih ditekankan, yang mungkin memiliki efek yang sangat negatif terhadap kemampuan kita untuk mengairi lahan pertanian.

Terkait dengan faktor-faktor di atas, ada beberapa hal yang membangkitkan sikap optimis sebagai berikut :

Pertama, pertumbuhan teknologi yang terus berlanjut di berbagai bidang juga akan dialami pertanian. Serupa dengan penemuan mobil self-driving, pengembangan robotisasi tanam dan petik kelak akan mampu menanam dan memanen tanaman lebih efisien daripada hari ini. Dalam beberapa dekade ke depan mesin pertanian super efisien akan semakin tersedia dalam jumlah yang semakin banyak dan, sesuai dengan hukum Moore yang berlaku, harganya semakin terjangkau pula. Jika hal itu terjadi, produksi pangan per luas lahan akan meningkat (saat ini sekitar 1,5 ton gabah per hektar). Diperkirakan akan membutuhkan produktivitas 2,5 ton gabah per hektar untuk memberi makan dunia pada tahun 2050.

Kedua, faktor lain yang dapat meningkatkan produktivitas per hektar adalah pengembangan tanaman rekayasa genetika baru. Para ilmuwan sedang mengerjakan tanaman rekayasa genetika baru yang akan membutuhkan lebih sedikit air, pupuk, maupun pembasmi hama tetapi menghasilkan lebih banyak makanan. Satu terobosan dalam bidang ini dapat menghasilkan peningkatan besar dalam produksi makanan global.

Ada juga potensi besar untuk meningkatkan pasokan makanan dengan mengurangi konsumsi global daging, dan menggunakan lebih banyak lahan untuk menanam tanaman secara langsung daripada menggunakannya untuk memelihara ternak. Budidaya ternak seperti sapi dan babi adalah cara yang sangat tidak efisien untuk menghasilkan makanan. Tanah dan energi yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi sama jumlahnya untuk menghasilkan sepuluh kilogram biji-bijian. 

Produksi ternak adalah penyebab utama pemanasan global. Bisa jadi bahwa di masa depan semakin banyak orang akan menjadi vegetarian untuk membantu mengurangi pemanasan global. Jika hal itu terjadi, dan lahan penggembalaan dikonversi menjadi ladang gandum, atau bahan pangan lainnya, maka produktivitas pangan global dapat meningkat tajam.
 
Seperti diuraikan di atas, selain kehilangan/ pemborosan makanan terjadi pada fase konsumsi, juga terjadi selama penyimpanan dan penanganannya. Oleh karenanya perlu ditingkatkan akses ke fasilitas penyimpanan dingin bertenaga ramah lingkungan (energi surya atau non-fosil lainnya) serta akses ke kantong penyimpanan biji-bijian kedap udara.

Planet kita telah berubah sehingga mempengaruhi produksi dan distribusi pangan. Pertanian perlu beradaptasi karena perubahan iklim terhadap migrasi mempengaruhi ketahanan pangan. Perlu juga ditingkatkan pemahaman akan pentingnya kualitas tanah untuk keamanan pangan dan ekosistem. Pengetahuan tentang jenis, struktur, manajemen dan kondisi tanah ini akan membuat perbedaan dalam upaya meningkatkan pertanian yang mendukung ketahanan pangan.

Hampir semua pengetahuan, teknologi dan praktik telah tersedia untuk mendukung pertanian dan peningkatan ketahanan pangan. Hal utama yang mempengaruhi tercapai tidaknya tujuan itu adalah kemauan politik dan komitmen dari rantai pasokan ekonomi agar segala sesuatunya bekerja secara mangkus dan sangkil.

Semua di seluruh dunia dapat segera memainkan perannya masing-masing.

SELAMAT HARI PANGAN SEDUNIA
16 Oktober 2019

Quote