Ikuti Kami

Sejarah Panjang Organisasi Kepemudaan: Dari Budi Utomo hingga Era Digital

Dalam setiap perubahan besar, ada satu benang merah yang tak pernah putus: organisasi kepemudaan.

Sejarah Panjang Organisasi Kepemudaan: Dari Budi Utomo hingga Era Digital
Ogranisasi Jong Sumatranen Bond - Foto: Wikipedia/Museum Sumpah Pemuda

Jakarta, Gesuri.id - Setiap zaman memiliki pemudanya, dan setiap pemuda memiliki zamannya sebagai aktor penggerak zaman.

Sejak awal abad ke-20, semangat muda Indonesia selalu menjadi bahan bakar bagi setiap babak sejarah bangsa—dari masa penjajahan, revolusi, hingga era digital yang serba cepat hari ini. Dalam setiap perubahan besar, ada satu benang merah yang tak pernah putus: organisasi kepemudaan.

Benih Kesadaran dari Budi Utomo

Tahun 1908 menjadi penanda awal kesadaran kebangsaan lahir lewat organisasi Budi Utomo. Didirikan oleh Dr. Soetomo dan para pelajar STOVIA, organisasi ini tidak lahir dari semangat perlawanan bersenjata, melainkan dari kesadaran intelektual. Mereka menyadari bahwa kemerdekaan tak mungkin diraih tanpa pendidikan dan pengetahuan.

Budi Utomo memang belum berbicara tentang “Indonesia” seperti yang kita kenal sekarang, tetapi organisasi ini menanamkan satu nilai penting—bahwa nasib bangsa tidak bisa diserahkan pada penjajah, melainkan harus dipegang oleh generasi mudanya sendiri. Dari sinilah benih nasionalisme tumbuh dan menjalar ke berbagai daerah.

Sumpah yang Menyatukan

Memasuki dekade 1920-an, kesadaran itu kian menguat. Lahir berbagai organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, hingga Pemuda Indonesia. Mereka datang dari latar budaya berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama: membangun persatuan.

Tonggak persatuan itu mencapai puncaknya pada 28 Oktober 1928, ketika para wakil organisasi pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda. Di sana, untuk pertama kalinya mereka menyebut satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.

Tak lama setelah itu, WR Soepratman memperdengarkan lagu “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya—sebuah lagu yang menjadi gema kebangkitan, meski dilarang pemerintah kolonial.

Sumpah Pemuda bukan sekadar seremonial. Ia adalah deklarasi moral, bukti bahwa pemuda mampu melampaui sekat suku, agama, dan status sosial demi satu cita-cita: kemerdekaan.

Pemuda di Garda Depan Kemerdekaan

Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan, pemuda tidak tinggal diam. Mereka menjadi penggerak revolusi, dari barisan Angkatan Pemuda Indonesia (API) hingga Gerakan 45, yang mengorganisir perlawanan terhadap tentara Belanda.

Di masa ini, peran pemuda bukan hanya di medan tempur, tetapi juga di ranah diplomasi dan pendidikan. Mereka belajar, berdiskusi, dan membangun kesadaran baru tentang bangsa yang merdeka. Dari ruang rapat kecil hingga jalanan kota, semangat muda menjadi tenaga penggerak bagi Republik yang baru lahir.

Orde Baru: Antara Pembinaan dan Pembungkaman

Masuk era Orde Baru, pemerintah mulai menata dan mengontrol pergerakan pemuda. Organisasi seperti Gerakan Pramuka, KNPI, dan berbagai lembaga kepemudaan resmi dibentuk dengan semangat “pembinaan”. Nilai-nilai Pancasila ditanamkan, tetapi di sisi lain, kebebasan berekspresi juga dibatasi.

Namun, sejarah mencatat, semangat muda tak bisa dibungkam selamanya. Menjelang akhir rezim, mahasiswa dan organisasi pemuda kembali menjadi pelopor perubahan. Aksi-aksi mahasiswa 1998 mengguncang Jakarta dan melahirkan era Reformasi. Dari jalanan yang berdebu, pemuda kembali menulis sejarahnya sendiri.

Era Reformasi dan Kebangkitan Digital

Setelah Reformasi, organisasi kepemudaan bermunculan dengan bentuk yang lebih beragam—dari KNPI, komunitas sosial, hingga gerakan akar rumput berbasis digital. Mereka tak lagi berfokus pada ideologi besar, tetapi pada isu-isu konkret: lingkungan, kesetaraan gender, ekonomi kreatif, hingga politik bersih.

Media sosial kemudian menjadi “organisasi tanpa batas”. Lewat platform digital, pemuda Indonesia kini bisa menggerakkan ribuan orang hanya dengan satu unggahan. Kampanye solidaritas, penggalangan dana, hingga aksi sosial kini berjalan dari ruang virtual ke dunia nyata.

Namun, di balik peluang besar itu, muncul pula tantangan baru—hoaks, disinformasi, dan polarisasi yang sering kali menjerat generasi muda. Tantangan ini menuntut kedewasaan berpikir dan keteguhan moral yang tak kalah besar dari masa-masa perjuangan dulu.

Menatap Masa Depan: Dari Romantisme ke Aksi Nyata

Menelusuri sejarah organisasi kepemudaan berarti membaca cermin perjalanan bangsa. Dari Budi Utomo hingga gerakan digital masa kini, satu hal tak berubah: pemuda selalu menjadi motor perubahan.

Kini, saat dunia bergerak lebih cepat dari sebelumnya, peran organisasi kepemudaan tidak boleh berhenti pada seremoni atau nostalgia sejarah. Mereka harus hadir dalam bentuk aksi nyata—mengubah kepedulian menjadi gerakan, mengubah gagasan menjadi kebijakan, dan mengubah semangat menjadi hasil.

Karena sejarah yang berbicara, dari tangan pemuda-lah masa depan bangsa ini diukir. Dan selama semangat itu tak padam, Indonesia akan selalu punya harapan.

*Tulisan ini merupakan rangkaian kegiatan Merah Muda Fest 2025 untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 yang akan diselenggarakan Selasa 28 Oktober 2025 di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Jakarta dan Sabtu 1 November 2025 di GOR Among Rogo Yogyakarta.

Quote