Jakarta, Gesuri.id - Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) salah seorang filsuf terkemuka abad ini asal Britania Raya pernah berkata, bahwa Pancasila yang dirumuskan oleh Sukarno merupakan salah satu warisan filsafat dan ideologi besar yang dimiliki dunia hari ini.
Juga sebuah catatan peristiwa penting lainnya dari negeri para Mulla, pada saat pemimpin besar Republik Islam Iran Ayatullah Ali Khamenei, mendekam di penjara pada periode perjuangan revolusi Iran melawan rezim Reza Pahlevi yang menjadi boneka Amerika pada masa itu. Beliau bertemu salah seorang aktivis pejuang lainnya yang juga mendekam di lingkungan penjara yang sama, aktivis tersebut adalah salah seorang penganut Marxisme.
Ayatullah Ali Khamenei mengatakan kepadanya, saya telah membaca buku karya seorang pejuang revolusioner muslim Ahmad Sukarno, ada baiknya anda juga mambaca karya-karyanya. Singkat cerita, setelah itu Khamenei muda memberikan buku Bung Karno koleksinya kepadanya dan hari-hari pun berlalu.
Setelah bebas dari penjara keduanya menjadi akrab, karena disatukan oleh ikatan komitmen nurani dan idealisme prinsip perjuangan dalam sebuah upaya menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang mereka anut.
Pada akhirnya keduanya bersama para pejuang revolusioner lran lainnya berhasil menjemput takdirnya, dengan memetik buah kemenangan dan sekaligus mendirikan sistem pemerintahan Republik Islam Iran yang dinahkodai oleh Imam Khomeini pada Tahun 1979.
Saat ini dunia menyaksikan bangsa Iran begitu full power dalam menjaga marwah kehormatan kedaulatannya. Serta yang paling menarik untuk dicermati bahwa sejak awal tegaknya eksistensi Republik Islam Iran, negara ini telah mengalami berbagai ketidakadilan terutama sanksi embargo yang diprakarsai Amerika dan sekutunya untuk mengintimidasi.
Tapi faktanya bangsa Iran sangat tangguh dalam mengatasi segala bentuk tekanan yang dialaminya. Catatan pentingnya yang harus digarisbawahi adalah walaupun negara tersebut mengalami tekanan yang luar biasa, akan tetapi berdasarkan komitmen prinsip nilai-nilai asas konstitusinya dalam keteguhan kemandiriannya, mereka juga mampu terus berjuang dengan sangat konsisten membela negara lain yang menjadi korban dari berbagai tekanan, intimidasi, atau penjajahan oleh perilaku negara-negara berwatak kolonialis dengan polanya yang baru.
Masih ada beberapa catatan peristiwa di berbagai belahan dunia lainnya yang terinspirasi atau ekuivalen dengan gagasan dan prinsip garis perjuangan sang proklamator. Setidaknya bagi penulis, kedua peristiwa sejarah tersebut sudah lebih dari cukup agar kita bisa menganalisa, menilai, atau merasakan warisan pemikiran besar dan cita-cita pembebasan Bung Karno bagi dunia.
Yang pasti bahwa, api spirit perjuangan Bung Karno sejatinya akan terus berkobar untuk melawan berbagai agenda skenario kolonialisme global yang telah menyebabkan berbagai problem ketidakadilan dan krisis multidimensi hingga hari ini.
Jalan retak keadilan dalam cengkraman kolonialisme yang bermetamorfosa
Penyakit kronis dalam denyut nadi pergaulan global yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya adalah tendensi kolonialisasi, imperialisme, atau dengan kata lain motif hegemoni yang masih saja mengeras, dan pada sisi lain mengakibatkan respon perlawanan atas dasar kehormatan kedaulatan setiap negara atau blok negara, yang berefek pada peningkatan suhu ketegangan dalam realitasnya.
Setelah perang dingin ketegangan dunia sama sekali belum usai, hanya pergeseran pada konstelasinya saja yang sedikit mengalami perubahan dari pola dominasi bipolar dua negara adi daya menjadi multipolar blok negara-negara.
Jargon wacana demokratisasi bagai 'nyanyian sumbang' yang diorkestrasi para cendikiawan propagandis - karena dalam kenyataannya norma dan cita-cita keadilan itu sendiri sering kehilangan makna substansinya. Dari berbagai narasi kampanye 'demokrasi global' muatan konotasinya hanya berjalan pada rel keserakahan kepentingan monopoli ekonomi belaka.
Sehingga dengan kenyataan problem besar pada konteks ini, sangat membutuhkan investigasi intelektual serius dan objektif yang berkelanjutan, dalam setiap upayanya untuk menapak jalan retak menuju tatanan keadilan dunia (Chomsky, Who Rulers The World?, 2016).
Singkatnya, sebagaimana dalam muatan analisis penelitian Noam Chomsky dari setiap karyanya, secara garis besar bahwa jalan menuju cita-cita keadilan dalam pergaulan global kenyataannya begitu rapuh, sebagai akibat perilaku watak kolonialisme negara-negara tertentu dalam menerapkan kebijakan dominasinya yang terus menerus bermetamorfosa.
Dan contoh wajah antagonis dari peradaban global yang terburuk sebagaimana telah disaksikan oleh masyarakat dunia adalah kejahatan kemanusiaan setelah politik apartheid di Afrika Selatan, yaitu tindakan genosida politik Zionis Israel kepada bangsa Palestina yang masih saja berlangsung hingga saat ini, serta peristiwa terbaru pecahnya konflik memilukan yang terjadi di negara Sudan, dan hal itu tidak lain karena ulah dari skenario kepentingan pragmatisme tertentu.

Pemikiran dan spirit perlawanan atas kolonialisme; antara Bung Karno dan Tan Malaka
Warisan pemikiran besar Bung Karno dan Tan Malaka terdapat kesamaan prinsip dan komitmen atas perlawanannya kepada segala bentuk penjajahan dan ketidakadilan. Tapi sekaligus ada sisi lain di antara pemikiran keduanya terdapat beberapa perbedaan pandangan jika ditelaah lebih lanjut.
Dalam uraian singkat ini misalnya, salah satunya adalah pada narasi spiritualitas agama atau dimensi mistisisme yang dikontraskan sebagai logika mistika, yakni diksi utama dialektika kritik pada buku Madilog yang secara resmi diterbitkan pada Tahun 1953, sekaligus menjadi karya magnum opus Tan Malaka, yang bernama lengkap Ibrahim Simabua Datuak Sutan Malaka.
Perbandingan pemaknaan aspek spiritualitas sebagai landasan nilai gagasan pencerahan untuk tujuan perjuangan kemerdekaan antara Bung Karno dan Tan Malaka, menjadi sangat penting untuk dikaji lebih lanjut. Sehubungan dengan kritik yang dipaparkan salah seorang tokoh cendikiawan muslim Indonesia Dr Muhsin Labib, bahwa adanya kesalahpahaman fatal yang sudah berlangsung cukup lama di negeri kita dan harus segera dikritisi atas pemikiran teoritis Tan Malaka.
Sebelumnya penulis harus menggarisbawahi bahwa, kritik ini tidak akan mengurangi sedikitpun ketokohan Tan Malaka, sebagai pemikir besar dari beberapa ide gagasan pencerahan dan hasil perjuangannya yang diwariskan kepada bangsa Indonesia.
Dalam proposisi argumentasi Muhsin Labib, poin utama yang harus dikoreksi pada buku Madilog adalah logika mistika ketika diinterpretasikan Tan Malaka sebagai mitos, yang dalam pengertiannya tanpa dasar rasionalitas, karena didalilkan tidak memiliki relevansi pada basis empiris sebagai 'syarat klaim ilmiah'.
Pada konteks ini diksi logika mistika atau mistisisme telah terfragmentasi akibat arus deras pengaruh wacana reduksionis kolonialisme pada masa itu, terhadap karakteristik khas dari berbagai pesan simbolik spiritualitas-mistisisme yang telah diasumsikan atau dipahami secara literal-harfiah.
Kesalahpahaman tersebut akibat artikulasi dimensi mistisisme gagal dimaknai lebih mendalam dari segi konstruksi filosofisnya sebagai keniscayaan logis.
Catatan sejarah sejak abad ke-14 kearifan Bhinneka Tunggal Ika di Nusantara sudah menjadi golden way dalam konteks filosofisnya yang bermuatan nilai-nilai esoterisme spiritual (mistisisme).
Keyakinan tersebut merupakan proses perjalanan panjang hingga terbentuknya 'rekonsiliasi-dialogis' canggih dari berbagai perkembangan keyakinan konsepsi teologis Ketuhanan di masyarakat sebagai fondasinya, pada realitas kemajemukan eksistensi agama.
Ini merupakan gambaran garis besar fakta sejarah akar budaya kearifan di Nusantara sejak masa itu, hingga memasuki periode menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bung Karno dalam perjalanan perjuangannya hingga capaian puncak momentumnya ketika membacakan teks proklamasi kemerdekaan, sebelumnya telah melakukan proses panjang dalam refleksi pemikiran atau upaya permenungannya secara mendalam untuk mempersiapkan nilai-nilai asas konstitusi setelah kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut terekam dalam catatan sejarah, dari berbagai muatan orasi tuntutan kemerdekaan dan beberapa buku yang ditulis Bung Karno, hingga akhirnya rumusan Pancasila diframing dengan kearifan budaya Nusantara yakni, Bhinneka Tunggal Ika atas pertimbangan untuk tujuan tegaknya cita-cita kemanusiaan dan keadilan.
Asas Ketuhanan dalam Pancasila merupakan sumber energi pembebasan untuk menemukan makna kemanusiaan dan arti berkeadilan. Pada konteks ini poin pentingnya Bung Karno tidak tergelincir dalam kesalahan paradigmatik, karena tidak melakukan 'dikotomi tak perlu' terhadap dimensi spiritualitas-mistisisme yang berelasi dengan berbagai konsepsi teologis Ketuhanan.
Sebagaimana dalam perjalanan dinamika kemungkinan terluasnya bahwa, aktivitas aspek rasionalitas tidak bisa dibatasi dengan sekedar klaim pembuktian yang hanya bersifat empiris belaka.
Justru Bung Karno sangat meyakini akan nilai-nilai dimensi spiritualitas-mistisisme dalam budaya Nusantara adalah energi terbesar yang sangat prinsipil, sebagai penuntun perjuangan kemerdekaan dan arah masa depan bangsa, hal tersebut sangat jelas terkonfirmasi dengan dilahirkannya Pancasila sebagai nilai-nilai asas konstitusional bangsa Indonesia.

















































































