Jakarta, Gesuri.id – Anggota DPRD Kabupaten Seluma Fraksi PDI Perjuangan, Febrinanda Putra Pratama mengeluhkan belum cairnya Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pemerintah Pusat yang totalnya mencapai hampir Rp50 miliar, termasuk di dalamnya DBH sektor sawit. Ia menegaskan, keterlambatan pencairan ini telah menghambat pembangunan dan mengganggu kewajiban daerah terhadap pihak ketiga.
Febrinanda menyampaikan hal tersebut saat ditemui Gesuri.id di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Jumat (21/11).
Menurutnya, Kabupaten Seluma memiliki potensi perkebunan sawit dan karet yang besar, sehingga DBH dari sektor tersebut seharusnya menjadi salah satu sumber utama pendapatan daerah. Namun hingga kini, dana tersebut belum ditransfer secara penuh.
Febrinanda menambahkan, secara keseluruhan dana transfer pusat yang belum dicairkan untuk Kabupaten Seluma jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar Rp50 miliar. Ironisnya, di saat DBH tak kunjung masuk, pemerintah kabupaten masih memiliki kewajiban pembayaran kepada kontraktor sebesar sekitar Rp30 miliar.
Ia menegaskan bahwa DBH merupakan hak daerah yang seharusnya dikembalikan dari pajak yang telah disetor ke negara.
“Ini tahun 2024, bahkan sudah November 2025, tapi DBH 2024 saja belum cair. Pajaknya masuk ke negara, tapi ke daerah tidak dikembalikan yang menjadi hak Kabupaten Seluma,” jelasnya.
Febrinanda menjelaskan bahwa pendapatan daerah bergantung pada PAD dan dana dari pusat. Jika dana transfer, termasuk DBH, tidak dikembalikan sesuai ketentuan, maka daerah mengalami hambatan serius dalam pembangunan.
“Pendapatan daerah itu dua: PAD dan pajak. Kalau pajak tidak dikembalikan, ya daerah kesulitan,” tegasnya.
DBH Sawit sendiri berasal dari pungutan ekspor dan bea keluar produk sawit yang kemudian disalurkan ke daerah penghasil sebagai bentuk pemerataan pembangunan. Dana tersebut umumnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur perkebunan, jalan kebun, pemberdayaan petani, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Febrinanda juga menyoroti kondisi lingkungan Kabupaten Seluma yang terdampak oleh aktivitas perkebunan sawit, sehingga menurutnya wajar jika daerah menuntut hak DBH yang seharusnya diberikan.
“Perkebunan sawit ini kan menyerap air dan menggerus tanah di Seluma. Tapi bagi hasilnya belum diberikan sampai sekarang,” tambahnya.
Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Seluma masih menunggu pencairan dana transfer pusat yang mencapai sekitar Rp50 miliar, sementara sejumlah kegiatan pembangunan harus tertunda karena keterbatasan anggaran.
Lebih jauh, Febrinanda menjelaskan bahwa dampak perkebunan sawit terhadap ketersediaan air di Kabupaten Seluma sangat serius. Ia menggambarkan, satu batang pohon sawit dapat menyerap kurang lebih satu galon air—sekitar 15 liter—setiap hari.
“Kalau satu batang saja menyerap satu galon air, bayangkan Seluma yang ditanami puluhan ribu batang sawit milik swasta. Air kita tersedot setiap hari,” ungkapnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat masyarakat Seluma kerap mengalami kekeringan saat musim kemarau, sementara di sisi lain hak DBH sawit yang seharusnya membantu penanganan dampak lingkungan justru tidak disalurkan.
“Yang kami dapat hanya kekeringan saat kemarau. DBH-nya tidak diberikan, padahal itu hak kami untuk memperbaiki lingkungan yang terdampak,” tegas Febrinanda.

















































































