Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri ’njaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji Indonesia abadi
Jakarta, Gesuri.id - Lirik lagu ”Indonesia Raya” itu bergema pada pagi 10 November 2025, tepat saat Hari Pahlawan, di depan pusara sang penciptanya: Wage Rudolf Supratman. Dibacakan oleh Wakil Ketua DPRD Jatim Deni Wicaksono. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto tampak begitu mengkhidmati lirik lagu tersebut.
Hasto Kristiyanto mengingatkan, menjadi pahlawan adalah tentang pengorbanan, mendahulukan kepentingan public ketimbang pribadi, siap menjalani laku hidup yang sunyi, bahkan terasing. Kepahlawanan ini salah satunya tampak dari kehidupan WR Supratman yang melawan penjajahan sampai akhir hidupnya. Mungkin tidak dengan angkat senjata, kepalan tangan di udara, atau orasi yang menggelora; melainkan dengan tulisan dan musik. Supratman sadar: yang tertulis dan yang berbunyi punya daya tahan lebih panjang ketimbang umur manusia.
Supratman mungkin adalah pria yang jauh dari imej pejuang kemerdekaan yang bergelut di medan laga. Pria kelahiran 9 Maret 1903 ini, tanggal itu kelak ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional, seorang jurnalis dan musisi andal.
Perjalanan bermusik Supratman dimulai kala pindah ke Makassar pada 1914 mengikuti kakaknya, Roekijem, dan kakak iparnya Willem van Eldik. Dia belajar biola pada van Eldik. Setelah enam tahun belajar alat musik gesek itu, dia menggerakkan Black and White Jazz Band, dalam kisah yang dikutip National Geographic dari buku Wage Rudolf Supratman karya Bambang Sularto. Di sana, Supratman popular, terutama di kalangan Belanda karena memang tak banyak orang Indonesia yang lihai bermain biola saat itu.
Namun perjuangan nasional menyalakan api perlawanan dalam jiwa dan raganya. Pada 1924, dia kemas koper menuju Surabaya, kota yang menjadi ”dapur nasionalisme” dalam istilah Bung Karno. Di Kota Pahlawan, Supratman aktif di Kelompok Studi Indonesia yang digerakkan Soetomo, pendiri Boedi Oetomo.
Setelah menghabiskan beberapa waktu di Surabaya, Supratman ke Bandung, menetap di Cimahi, lantas aktif di kelompok studi yang didirikan Bung Karno. Dia juga menjadi jurnalis surat kabar ”Kaoem Moeda”, kemudian Biro Pers ”Alpena” (Algemene Pers Niews Agency). Supratman lantas berpindah ke ”Sin Po”, surat kabar yang berani mengobarkan api perlawanan ke Belanda. Salah satu tokohnya adalah Kwee Kek Beng, jurnalis dan intelektual Tionghoa yang mendukung gerakan nasionalis.
Kemudian terjadilah momen yang mengubah hidup WR Supratman. Pada 30 April hingga 2 Mei 1926, Supratman meliput Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Dia melihat dari dekat semangat perlawanan dan mendengar langsung pidato tokoh muda seperti Tabrani, Sumarno, Sumarto, hingga Bahder Djohan.
Tapi Supratman tahu, caranya melawan mungkin agak berbeda. Dia berpikir untuk membuat lagu kebangsaan dengan semangat marching yang bisa menghadirkan perasaan bergelora dalam perjuangan. Kepada Tabrani, ketua Kongres Pemuda, Supratman berjanji.
”Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diucapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Terutama Pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu saya akan buat,” kata Supratman.
Janji yang dibuat Supratman ini juga lahir karena kalimat di majalah ”Timbul”. ”Alangkah baiknya,” tulis majalah terbitan Solo itu—yang saya kutip dari artikel di Historia, ”kalau ada seorang pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!”
Momen bersejarah itu akhirnya tercipta. Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, lagu itu dikumandangkan dan mendapat sambutan hangat. Supratman viral. Surat kabar ”Sin Po” membantu lagu ini kian popular dengan mendistribusikan 5.000 pamflet lagu “Indonesia Raya”.
Lagu itu pertama kali direkam atas jasa Yo Kim Tjan, seorang saudagar. Beda dengan “Indonesia Raya” yang lebih banyak dikenal di Indonesia dalam versi satu stanza, versi awal yang ditulis Supratman terdiri atas tiga stanza. Liriknya lebih panjang, sehingga durasinya pun lebih lama.
Melawan dengan Musik hingga Akhir Hayat
Setelah Kongres Pemuda Kedua, pemerintah kolonial, yang awalnya meledek lagu itu, menyadari kesalahannya. Mereka waswas karena lagu itu kian populer. Lagu itu pun dilarang dengan dalih mengganggu ketertiban. Tetapi ini yang perlu dipahami para penguasa: setiap larangan akan memperbesar gaung perlawanan.
Supratman terus menulis berita dan lagu. Pemerintah kolonial tak tahan lagi. Lagu ”Matahari Terbit” karya Supratman, yang liriknya menggelorakan nasionalisme meski disalahpahami sebagai dukungan untuk Jepang, menjadi gong yang membuat Supratman dijebloskan ke penjara Kalisosok, Surabaya, pada 1938. Kesehatan Supratman menurun. Keluar dari penjara, kepada kerabatnya, Oerip Kasansengari, dia berpasrah diri.
”Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka.”
Pada 17 Agustus 1938, Supratman wafat, dimakamkan di Tambaksari, Surabaya. Tujuh tahun kemudian, Indonesia, ide negara-bangsa yang amat dicintainya, merdeka. Pada 1958, ”Indonesia Raya” ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.
Supratman tak sempat melihat semua cita-citanya terwujud. Namun satu yang pasti, bentuk perlawanan yang dia jalani telah dicatat sejarah: bahwa perjuangan kemerdekaan bisa dilakukan tak hanya dengan angkat senjata, tapi juga melalui musik.
Selain ”Indonesia Raya”, Supratman punya katalog lagu yang beragam. Sebagian besar bertema khas yang menggugah patriotisme dan mengobarkan perlawanan terhadap penjajah, seperti ”Bendera Kita Merah Putih”, ”Indonesia Iboekoe”, hingga “Bangoenlah Hai Kawan”. Sebagiannya punya corak lagu mars, yang memang disengaja dibuat untuk organisasi tertentu.
Namun ada juga lagu yang langgamnya lebih ”pop”, seperti ”Indonesia Tjantik”, konon lagu pertama ciptaan Supratman. Lagu ini dinyanyikan ulang Antea Putri, cicit buyut dari kakak Supratman—saya mendengarnya melalui Youtube.
Sampai saat ini, salah satu tantangan dalam mewariskan pengetahuan soal karya-karya Supratman adalah tak banyak lagunya yang bisa diakses publik. Pada Maret 2025, Kementerian Kebudayaan merilis piringan hitam berisi delapan versi lagu ”Indonesia Raya”. Namun, hingga saat ini rasa-rasanya belum ada karya Supratman, maupun cover-nya, yang dirilis resmi, berizin, dan bisa diakses dengan mudah oleh publik.
Ada baiknya kini kita memulai usaha untuk merilis karya-karya Supratman agar bisa diakses oleh publik, baik format fisik maupun digital. Hal ini rasanya penting, sebab kendati Supratman telah pergi, musik yang dia buat akan selalu abadi.

















































































