Bandung, Gesuri.id – PDI Perjuangan (PDIP) menegaskan bahwa peringatan 70 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) tidak boleh berhenti pada nostalgia, melainkan harus menjadi momentum untuk menata tatanan dunia baru yang lebih adil.
Hal itu disampaikan Politisi muda PDI Perjuuangan, Aryo Seno Bagaskoro saat hadir di sela-sela Konferensi Internasional ‘Bandung At 70: Assessment and Perspective To Build The World A New’ di Kampus IPDN, Bandung, Selasa (28/10/2025).
Aryo Seno menyatakan bahwa semangat perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme yang digaungkan Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno pada pada Konferensi Asia Afrika (KAA) 70 tahun lalu masih sangat relevan hingga hari ini.
“Hari ini struktur ekonomi, struktur keadilan sosial, struktur politik dunia tidak banyak berubah dari 70 tahun yang lalu. Kolonialisme, imperialisme yang dulu dilawan oleh Soekarno. Hari ini juga masih kita mengalami tantangan-tantangan yang serupa,” ujar Aryo Seno.
Oleh karena itu, dia menekankan bahwa semangat Bandung tidak boleh hanya menjadi spirit, tetapi harus mengejawantah dalam bentuk kelembagaan.
“Ada ASEAN, ada BRICS sebagai lembaga-lembaga politik aktif, lembaga ekonomi antarbangsa yang itu kita dorong terus perannya,” tambahnya.
Aryo juga menjelaskan bahwa PDI Perjuangan sebagai partai dengan paradigma geopolitik Soekarno terus memainkan peran penting dalam kerangka ‘progresif coexistence geopolitical’, yaitu hidup berdampingan secara geopolitik dengan berbagai bangsa.
Dia menambahkan, forum ini juga menjadi kesempatan untuk menyuarakan pembelaan terhadap bangsa-bangsa yang menghadapi kolonialisme jenis baru, seperti yang dialami oleh rakyat Palestina.
Sementara itu, politisi muda PDI Perjuangan lainnya, Ilham F. Wiratmaja menyoroti berbagai krisis global yang sedang terjadi sebagai alasan pentingnya menghidupkan kembali semangat KAA 1955.
“Dunia ini sedang mengalami suatu krisis luar biasa, dari mulai ancaman iklim, kemudian konflik geopolitik global ada Palestina, Ukraina, dan ada hampir 100 lebih konflik bersenjata di seluruh dunia, belum lagi transformasi sosial yang juga dipicu oleh beberapa disrupsi teknologi,” papar Ilham.
Menurutnya, krisis-krisis ini mengarah pada satu pertanyaan mendasar, yakni dunia seperti apa yang sebenarnya kita inginkan ke depan.
Dia pun melihat semangat KAA sebagai legacy yang dapat ditawarkan sebagai sistem nilai untuk tatanan dunia baru.
“Kita semestinya sekarang menganggap bahwa Konferensi Asia Afrika atau Bandung Conference ini bukan lagi sebagai nostalgia, tapi sebagai titik berangkat untuk menata dunia baru,” tegas Ilham.
Sebagai informasi, Konferensi Internasional yang dihadiri perwakilan dari lebih 30 negara ini akan berlanjut dengan rangkaian diskusi di beberapa kota, termasuk Surabaya, Blitar, dan Yogyakarta, hingga 3 November mendatang, untuk mendorong suara negara-negara progresif Asia Afrika lebih didengarkan di panggung global.

















































































