Ikuti Kami

Pidato Politik Megawati di HUT Ke-50 PDI Perjuangan

GENGGAM TANGAN PERSATUAN DENGAN JIWA GOTONG ROYONG DAN SEMANGAT API PERJUANGAN NAN TAK KUNJUNG PADAM.

Pidato Politik Megawati di HUT Ke-50 PDI Perjuangan
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

JAKARTA, 10 JANUARI 2023

Selain sebagai Ketua Umum, Ibu ditugasi dua badan. Yang pertama sangat penting sekali, Ibu dijadikan sebagai Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Ini menurut Ibu paling berat karena ada nama ideologi Pancasila. Saya hanya sebagai Ketua Dewan Pembina karena kita sudah punya ideologi Pancasila. Maka, saat ini Ibu ajari dahulu Salam Pancasila. Bagi mereka yang merasa PDI Perjuangan saya minta untuk berdiri. Tadi kita sudah lihat Satgas Cakra Buana, kalau sudah mulai bonding dengan PDI Perjuangan berdiri.

Salam Pancasila diikuti Merdeka, Merdeka, Merdeka!

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,

Syalom,

Om Swasti Astu,

Namo Budaya, Salam Kebajikan, Rahayu.

Anak-anakku yang aku cintai dari PDI Perjuangan, Partai di mana pun mereka berada, para tamu, hadirin sekalian yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan atas karunia-Nya, hari ini, PDI Perjuangan merayakan ulang tahun ke-50. Lima puluh tahun telah kita lalui sejak kelahiran Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia lahir melalui fusi sebagai penggabungan Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA).

Dengan latar belakang historis saat itu, saya ditanya, mengapa akhirnya memilih PDI? Bapak saya, ada yang tahu bapak saya siapa? Fusi, di situ ada PNI yang yang didirikan Bung Karno, Bapak saya, pada tanggal 4 Juli 1927.

Bayangkan saat itu masih zaman penjajahan, bagaimana bisa mengorganisir rakyat? Mengapa nantinya kita harus merdeka? Sampai akhirnya pada saat itu beliau bersama teman-teman beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia. Pada waktu itu jangan dipikir sudah enak. Konsekuensinya tidak ringan, masuk penjara dan dibuang jauh dari sanak dan keluarganya demi apa? Karena berkeinganan wilayah yang disebut Nusantara yang masih dijajah, dimerdekakan untuk membentuk sebuah negara, membentuk sebuah bangsa yang sekarang dinamakan Bangsa Indonesia. Ini harus diingat sebagai asal.

Sekarang setelah merdeka semangat semakin menurun, hanya ingin mendapatkan kenyamanan, ingin mendapatkan kekuasaan. Zaman dulu sewaktu masuk partai saya selalu bicara Bung Karno, karena saat itu dibuat supaya orang tidak banyak bicara tentang Bung Karno. Tetapi saya memang anak Bung Karno. Bapak sendiri kok tidak mau diakui.

Bung Karno tidak pernah berhenti tanpa lelah mengorganisir rakyat. Yang ikut waktu PDI angkat tangan, jangan ragu-ragu, berdiri. Tadinya saya sudah mau putus asa, yang tua-tua ini belum pensiun, semangat, kewalahan, mereka pada mau datang, bilang pada Pak Sekjen kita mau gotong royong memakai bus. Ini semuanya adalah 17 ribu, 7 ribu satgas, perempuan 4 batalyon. Yang memimpin Pak Ganif, “Wah saya punya anak buah lagi”, saya selalu dilapori. Ini harus masuk ke dalam hati kalian, jangan hanya dengar pidato Ibu tetapi budeg, tetapi harus masuk ke “hati”.

Kita ini bonding antara “pikiran” dan “hati”, satu. Satu itu terus mancur ke atas. Kenapa? Kita ini diparingi oleh Gusti Allah bisa jadi begini. Dengan segala hormat saya, kalau ada anak buah di dalam aturan partainya harus sampai pada pemecatan, ya saya teken. Jadi, jangan bikin tangan Ibu ini untuk membuat itu. Sekarang saya bikin aturan baru, kalau begitu mundur saja, tetapi juga tidak mau. Dulu Pak Jokowi gugatan saya “segini” (banyak sekali) karena atas nama partai, padahal mereka tidak benar-benar ada yang tidak menjalankan aturan partai, ada yang berkhianat, dan sebagainya. Ini maka dengan segala hormat pada teman-teman partai lain, kali ini tidak mengundang karena ini adalah konsolidasi partai untuk kangen-kangenan dan saya tidak muncul bertatap muka seperti sekarang ini tiga tahunan.

Rakyat kita saat itu masih banyak yang belum berpengetahuan cukup, masih sangat sederhana. Saya masih ingat, Bung Karno saat itu dengan menggelegar, kita jangan mau dihisap, antarmanusia dengan manusia. Beliau bilang dengan fasih exploitation de l’homme par l’homme artinya manusia dieksploitasi dengan manusia lain. Sewaktu menjadi DPR, saya juga memberikan masukan seperti itu. Lalu ada dengan semangat, “kulo ngertos, Bu”, karena kalau di Jawa Tengah mesti pintar bahasa Jawa. Lomplom niku Bung Karno. Saya bilang Yes, betul! Coba bayangkan bagaimana kamu datang keren tetapi tidak turun ke bawah. Siapa yang belum turun angkat tangan? Beliau sendiri mengorganisir rakyat.

Dulu kita dibilang kita rakyat sandal jepit, tetapi mau mengikut, mencari seorang pemimpinnya dengan ketulusan hati, apakah kalau masuk partai ini akan mendapat kenikmatan dan kekuasaan. Saya ndlosor, pernah ndlosor? Ndeprok, kados pundi panjenengan iku? Bonding. Rakyat ternyata seperti ini. Bonding. Menyatunya bukan fisik tapi rasa, ada getaran yang kalau tidak turun ke bawah tidak akan merasakan. Mulai hari ini supaya gampang diingat, simbolisnya adalah akar rumput, karena kalau saya pergi ke mana pun banyak jenis rumput yang kemana saja ada. Bayangkan di Jeddah saja sekarang tumbuh rumput karena Gusti Allah maringi hujan.

Siapa yang suka menebangi pohon? Jangan. Saya juga ditugasi Pak Jokowi memegang BRIN. Tumbuhan adalah plasma nutfah, Allah yang memberi, menurunkan segala sesuatu yang sangat diperlukan sebagai teman. Akar rumput itu tidak menyerah. Kalau saya cabut, dia tidak menyerah, dia akan tumbuh lagi. Akar rumput, dia akan diam kalau sedang diinjak, tetapi kalau sudah merasa leluasa, merdeka, akan tumbuh subur bisa memberi makan sapi.

Bu Risma kalau datang pada saya menangis, saya juga menangis karena juga perempuan. Pernah datang pada saya sambil menangis dan bertanya mengapa kok ternyata banyak sekali yang sengsara. Angkat tangan yang dari DKI. Lihat kesengsaraan yang ada di sekitar Ibukota Negara. Apakah kita punya perasaan, rasa iba? Jangan yang dipikir hanya bagaimana saya mau kaya, bagaimana saya berkuasa. Kalau itu maaf dengan segala hormat lebih baik mundur dari PDI Perjuangan, tidak ada guna.

Sudah jelas kita ini adalah organisasi partai politik. Organisasi itu datangnya dari organ. Badan kita ini semuga juga terdiri dari organ. Ketua umum adanya di mana? Pak Jokowi sebagai presiden di mana? Di sini “kepala”, memikirkan rakyat. Pak Hasto dan DPP saya, kita semua ini organ. Anak ranting itu mungkin kuku. Gampangnya, untuk ingat, kalau Ibu pusing, tidak bisa berpikir, macet, kalian tidak bisa kerja. Jadi semua itu harus bonding, menyatu jadi kalau saya instruksi jangan hanya sebagai kertas tetapi dijalankan. Sekarang saya sedang melakukan hal pemantauan, supaya hati-hati.

Saudara-saudara sekalian, anak-anakku yang kucintai,

Saya masuk tadi sebenarnya karena saya mengikuti PNI. Jadi sebenarnya saya waktu itu masuk partai hanya sebagai batu loncatan. Saya sumpah bilang pada Bapak saya, Bapak, saya minta restumu, saya mau masuk partai politik. Cerita pendeknya, dulu keluarga Bung Karno itu dijegal pokoknya tidak boleh masuk partai politik. Tau-tau saya ditawari. Saya minta restu pada beliau. “Bapak saya masuk tetapi ke Partai Demokrasi Indonesia, tetapi yang saya jalankan adalah ketika kamu menjalankan Partai Nasional Indonesia, nanti Bapak lihat apakah berhasil atau tidak?” Ternyata yang ikut saya sejak PDI masih banyak. Di sini kalau saya ingat, tadi komandan satgas Komarrudin, zaman dulu galak dia, susah diatur. Zaman dulu Ibumu ini dikasih nama Ratu Preman.

Saya sendiri kaget karena polisi membantu atau bagaimana? Pagi-pagi dari rumah, bangun sudah pada siap atau belum? 86. Apa di sana semut-semut merahnya sudah pada berdatangan? Oh itu kodenya semut-semut merah. Kita dulu tempur. Yang lucu, yang terutama ratu premannya ada di mana ya? Ratu preman itu siapa? Ya Ibulah. Keren memang banyak anak buahku preman. Polisi sudah gemetar, karena hari itu kampanye PPP. Maka yang sekarang berkumpul, jangan berpikir masuk PDI Perjuangan yang besar, supaya bisa masuk ke struktur, ke legislatif, ke eksekutif, terus cari duit. Jangan dipikir Ibu tidak tahu. Sekarang mulai wabah yang namanya korupsi berjamaah. Dikira Ibu tidak tahu, awas.

Dulu sejarah PDI memang berliku seperti mau turun ke bawah saja benar-benar sulit karena mesti minta izin dengan polisi dan sebagainya. Banyak anak-anak yang ditangkap oleh polisi. Ini cerita dulu, kalau sekarang kita dengan polisi sudah berteman baik. Jadi ketika saya turun di Jawa Tengah, ini yang saya ingat, bagaimana caranya cari rakyat yang akan terorganisir.

Suatu ketika saya diberi tahu orang tua, Ibu kalau Ibu bisa datang ke rumah saya, apakah panjenengan mau? Mau, saya jawab. Saya masuk kurang lebih ada 50 orang tua. Apakah Ibu benar putri Bung Karno? Saya adalah anak kedua, putri pertama dari Bung Karno. Matanya saya tidak akan lupa, berpendar-pendar. Mereka itu siapa to? Mereka adalah orang-orang dari PNI, kami menunggu. Kalau ingat, rasanya ingin menangis melulu. Ibu tidak usah susah payah mikir, kita akan bantu terus. Itu mengapa pertama saya turun. DPR dari 27, 100 persen jadi 54. Mengapa? Karena saya turun ke bawah.

Saudara-saudara sekalian siapa yang tidak mau turun ke bawah apa boleh buat. Satu-satunya cara untuk bisa mengumpulkan rakyat, mereka tidak mengerti, ada yang disebut massa mengambang. Tetapi bagaimana caranya? Itu sebabnya Bung Karno membentuk PNI, membentuk struktur dengan nama tiga pilar. Kalau ini saja sudah beres, sudah bagus, tetapi orang-orangnya tidak disiplin, kedua tidak punya harga diri, mesti apa? Ibu mesti apa? Mau bilang apalagi, tidak menjalankan instruksi partai.

Sekarang Ibu sedang bikin, diketuai oleh Mas Prananda, ada tempat pemantauan, apa yang Ibu instruksikan harus dijalankan dan selalu harus turun ke bawah. Yang namanya legislatif dan eksekutif apa ingin jadi lagi? Sebetulnya tidak ada cara lain, turun ke bawah. Dulu waktu Pak Jokowi periode pertama, taruhan dengan saya, nanti akan terbayar mudah-mudahan. Bapak kalau keliling, Ibu sudah pernah ke situ atau belum? Alhamdulilah skornya sampai saat ini saya masih menang. Ada daerah-daerah yang belum didatangi. Itu namanya pemimpin.

Dulu, itu struktur tidak boleh hanya sampai DPC (cabang). Cabang itu kota atau kabupaten, tetapi tidak boleh sampai datang. Jadi saya bentuk yang namanya Korcam, dan itu saya jalan sendiri karena susah, orang pada takut. Saya suka terkenang pada Bang Mangara Siahaan, karena nelongsa. Mana mungkin kan mesti ada reng-rengan. Sudah lantik saja, nanti kita tugaskan suruh cari orang. Ini terobosan supaya dari situ kita bisa menjangkau benar rakyat benar, akar rumput yang di bawah. Itu terbentuk karena mereka mendengar saya. Itu bonding.

Dulu tidak mudah. Seingat saya masih ada NTB, Rahmat. DPC Solo, Rudi. Pak Rudi itu sampai hari ini, urusannya maunya berantem melulu. Dulu tapi memang benar-benar preman. Tidak usah kamu merasa kecil hati, orang itu untuk cari kehidupan. Saya suka menangis. Ada supir truk, dia bisa jadi bupati karena dicintai rakyat, namanya Tasdi. Itu bonding. Jadi kalau kamu tidak bisa mengerti yang Ibu maksud, jangan ada di PDI Perjuangan, lebih baik pindah, keluar. Karena yang diperlukan di kita adalah sehati. Itulah kenapa namanya genggam tangan persatuan, karena kalau tidak bonding rasanya anyep. Tidak ada guna segini banyak, lebih baik kecil tapi militan.

Suatu ketika saya di wawancara Kompas, saya mau dengan syarat mengikuti etika jurnalistik. Demokrasi kita tidak mengikuti demokrasi liberal, sesuai dengan demokrasi kita bukan ala Barat. Demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia. Kita punya musyawarah dan mufakat, bagaimana untuk bisa bekerja dan memutuskan. Kalau seperti ini biasanya langsung di-bully. Memangnya pembullyan itu budaya kita? Bayangkan dulu saya sebut kongres luar biasa di Sukolilo. Pada waktu itu, pertanyaan hanya ada satu, “Mbak, kalau terjadi sesuai di arena kongres ini, apakah Mbak akan pergi?” No, saya akan tetap ada bersama kalian, karena saya adalah utusan. Kalau memang senang ya tepuk tangan, kalau tidak senang ya tidak usah. Tidak perlu semuanya komando, seperti sekawanan bebek, angsa.

Peristiwa Gambir, serangan kantor yang disebut Kudatuli 27. Saya bingung kita ini sah lho, kok diserang. Ini tata cara apa? Saya dibawa polisi, ditanyai, dibawa ke kejaksaan. Sampai waktu itu saya bilang dengan Kejaksaan, “Pak ini dari jam 8 pagi lho pak, sampai jam 8 malam. Saya ini kan punya suami dan anak, kalau mau ditangkap, sini saya bacain BAP-nya. Tetapi hanya satu, saya tidak mau kalau dibilang komunis. Tetapi kalau saya dibilang Soekarnois, yes!” Mereka semua pada gugup, nanti Ibu saya antarkan. Itu pemimpin gagah berani, tidak melempem. Ada dualisme PDI Soerjadi, PDI Pro-Mega. Tidak bisa ikut karena yang sudah disahkan pemerintah PDI Soerjadi, untung saya pintar. Pengamat CNBC memberi award, pintar, kharismatik, pejuang.

PDI Perjuangan menggalakkan program pengentasan stunting. Legal formal, aturan mainnya. Dulu Pak Ma’ruf sama-sama di BPIP. Saya bilang Pak Jokowi, untuk pendamping Bapak, Pak Ma’ruf. Jadi sebetulnya 50 tahun bukan hanya PDI, tetapi dari dari PDI ke PDI Perjuangannya.

Semangatnya tadi dibilang Satyam Eva Jayate. Itu bukan dari saya, saya dapat dari buku seorang profesor Perancis yang sudah diterjemahkan. Dia mengambil kerajaan-kerajaan di Indonesia. Waktu mau era Raden Wijaya, pendek cerita ada sesepuh yang mengatakan sesanti ini: Satyam Eva Jayate. Wah itu masuk ke hatiku. Saya pasang di DPP. Artinya, kalau kamu bekerja untuk PDI Perjuangan, tidak perlu takut, tidak perlu takut, harus disiplin, harga diri, karena apa? Apa yang saya jalankan untuk kalian, untuk bangsa dan negeri ini, seperti saya sudah sumpah pada Bung Karno, adalah Satyam Eva Jayate, karena kebenaranlah yang akan menang. Buktinya iya, tapi kan juga mesti kerja.

Satgas itu tadi mau datang banyak, tetapi tempatnya mana. Kalian masih mau kumpul lagi atau tidak? Saya sudah bilang tadi sama Pak Jokowi, tadinya perayaan ini akan dibuat di GBK, tetapi waktu itu pengurus GBK bilang untuk pertandingan sepak bola. Artinya apa? Jadi siap-siap, nanti Bulan Bung Karno tanggal 1 Juni, Insya Allah akan dilakukan lagi konsolidasi yang akan diadakan di Gelora Bung Karno. Awas kalau tidak siap-siap, saya punya pemantauan.

Dengan itu, maka kekuatan riil PDI Perjuangan apa? Kita ini pengawal Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Kebhinnekaan Indonesia. Seperti tadi, melihat satgas saja, itu adalah ujung tombak yang menjaga akar rumput, bukan hanya akar rumput partai, tetapi akar rumput seluruh Indonesia. Maka temanya genggam tangan persatuan. Kalau satu saja bisa gerak? Tidak bisa. Jadi jari kita lima, Pancasila. Genggam itu palu godam. Kita bisa begini benar karena gotong royong. Saya suka lihat rasa kegotong-royongan itu tadi adalah bonding. Lihat orang sakit, orang PDI Perjuangan harusnya bilang mari ramai-ramai kita gotong ke rumah sakit. Itu namanya ikhlas. Untuk semangat itu saya ambil yang namanya api yang nan tak kunjung padam. Itu sebagai api perjuangan karena kalau itu meredup langsung fisik pun meredup, tidak ada gairah.

Bicara tentang genggam tangan persatuan itu adalah sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia yang menjadi landasan Indonesia dibangun untuk semua tidak membeda-bedakan suku, agama, gender. Bhinneka Tunggal Ika. Bung Karno saja di dalam Sarinah tahun 1947 itu melambangkan bahwa laki-laki dan perempuan itu seperti burung Garuda terbang tinggi ke angkasa dengan kepakan sayapnya yang akan membawa kita menuju Indonesia Raya. 77 tahun lebih Indonesia Merdeka, namun jika dicermati secara kualitatif maupun kuantitatif, kenapa kaum perempuan kita tidak seperti zaman dulu, ketika masa perjuangan?

Saya sendiri bingung, apa salahnya? Banyak kaum perempuan yang seperti saya begitu, maju bersama. Ini abad modern. Kita sudah menjadi orang merdeka. Kita bisa berbicara sesuai dengan seni budaya Indonesia, tetapi kenapa yang namanya kaum perempuan sepertinya: satu, dari budaya, pendidikan dan lain sebagainya, belum merasakan bahwa dia mempunyai harga diri dan kekuatan yang sama.

Saya pernah waktu itu disuruh wawancara oleh Angkatan Laut ketika meluncurkan kapal Bimasuci. Waktu itu saya juga diminta untuk mendukung Ratu Kalinyamat menjadi pahlawan nasional. Saya bilang oke, why not. Saya sampai tanya kalau kalian merasa kaum perempuan kekuatannya kalah sama kaum laki-laki. Sorry, apakah udah pernah dengar ada bapak-bapak yang melahirkan? Saya tantang kalau tidak akan menjadi keajaiban dunia. Bu Retno Menlu, saya minta sekali pada Pak Jokowi, saya mau kali ini Menlunya perempuan. Itu Mbak Retno juga bisa kok. Saya dengar di radio, anak Indonesia sekarang sudah fasih berbahasa Inggris, tidak diomongkan apakah dia fasih berbahasa daerah. Katanya yang nomor satu adalah Jakarta dan mana begitu.

Mestinya kan juga tahu bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang fasih. Dari BRIN saya tahu ada bahasa daerah yang sudah punah, padahal mestinya saya aktifkan untuk dicari literaturnya. Mengapa? Selain speak english, tetapi juga bahasa daerah tetap dipertahankan. Buktinya waktu saya ke Jawa Tengah, untung Jawa Tengah, saya bisa bahasa Jawa. Coba kalau bahasa Indonesia melulu, tidak akan gathuk (ketemu). Contohnya, bahasa Jawa itu kalau bilang “inggih” itu memakai nada. Inggih yang tegas itu beneran, tetapi yang halus itu ngapusi. Itu turun ke bawah.

Zaman dulu saja, yang namanya menjadi ratu itu banyak, kok sekarang menurun, maunya dandan melulu. Maka iklan kosmetik makin banyak, penghalus kulit, tetapi apa itu melulu yang dipikirkan sampai anaknya stunting. Ini juga menjadi urusan. Saya dulu juga sebagai ibu memasak. Ini ada cucu saya, mereka bertanya nanti kalau mau masuk politik bagaimana, apakah boleh? Sip.

Maksud saya perempuan kalau mau berantem itu juga bisa. Untung ini ada satgas perempuan empat batalyon. Alhamdulilah. Boleh dandan, tetapi juga cari pengetahuan. Kalau jadi orang partai juga sama. Kalau saya bilang siap tempur? Perempuan juga menjawab yang sama. Coba Ratu Sima; Ken Dedes; Gayatri Radjapadmi; Tribhuwana Tungga Dewi; Laksamana Malahayati;

Ini nanti saya dapat gotong royong untuk sebuah kapal yang saya buat yang masuk ke sungai-sungai. Hasil turun ke bawah, karena banyak di remote area kalau sakit hanya memakai jalan darat saja, pakai udara kan mahal. Alhamdulilah gotong royong ini akan diresmikan. Laksamana Malahayati ini laksamana banget. Coba baca sejarah, Bapaknya dibunuh oleh Gubernur Jenderal, dia kemudian bertarung dan membunuh Gubernur Jenderal itu. Bukan maksudnya saya suruh membunuh, setara, setara, setara. Sekarang kalau lihat di TV, suami menampar istri, nanti kalau sudah dibunuh, ini benar atau tidak? Aturannya sudah ada. Lapangannya kan sudah ada.

Cut Nyak Dien; Itu Aceh, kenapa Aceh sekarang mengalami kemunduran. Dulu Aceh punya Cut Nyak Dien, Cut Meutia; RA Kartini; Dewi Sartika; Rohana Kudus; Hajjah Rasuna Said; Maria Martha Tiahahu;

Ibu Supeni itu oleh Bung Karno dijadikan duta besar keliling dan pejuang bangsa. Dari belahan dunia lain di era modern juga lahir Ratu Elizabeth; the Iron Lady, Margaret Thatcher; Angela Merkel; Christine Lagarde dan lain-lain. Belum lagi kalau kita melihat sejarah peradaban umat manusia di Mesir, muncul Cleopatra, Ratu Bilqis, atau juga dikenal dengan Ratu Syeba dan lain-lain.

Mengapa kadang perempuan sendiri merasa terkungkung. Mohon izin Bapak Presiden, bicara pada Pak Nadiem, Menteri Pendidikan. Apa sih sekarang yang kurang? Apakah aturan?

Saudara-saudara sekalian, anak-anakku yang tercinta,

Terbayang suatu negara yang sampai sekarang saya masih trenyuh sekali, yang namanya Afghanistan. Sekarang itu dimasuki yang menurut berita itu dinamakan Islam garis keras. Saya hanya melihat di TV. Yang namanya anak perempuan tidak boleh sekolah. Sekolah ditutup dan guru-guru ditiadakan, lalu mereka yang pergi ke luar kalau minta bekerja, NGO-NGO diminta untuk tidak mempekerjakan mereka. Ini bukan omongan saya, tetapi saya lihat di televisi asing dan itu diomongkan oleh banyak negara bagaimana perlakuan seperti itu.

Apakah terbayang kalau kalian masuk ke partai, apakah itu bukan juga bagian menghidupi, memberi nafkah kepada anak-anakmu yang terdiri dari laki dan perempuan. Apakah itu akan dipisahkan hanya laki-laki saja, perempuannya akan diabaikan. Lupa kalian. Sekali lagi kalau benar kalian adalah PDI Perjuangan, kalau memperlakukan hal seperti itu. Sudah tahu apa akibatnya. Gusti Allah memberi mengapa Nabi Adam yang sendiri diberikan Siti Hawa. Ini kan pelajaran. Untuk apa sebetulnya? Supaya berpasang-pasangan. Lho kok di Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Bung Karno yang telah mengatakan bahwa laki perempuan adalah setara dan di dalam hukum Republik Indonesia, konstitusi, amanat: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Jadi yang salah siapa? Kenapa kita tidak boleh? Seperti saya di politik, kurang apa, dikejar sudah, tinggal satu langkah ditangkap, tetapi kok bisa terbalik, jadi anggota DPR tiga kali, jadi wapres, mestinya tahun 1999 kita menang dan saya mesti jadi presiden, jangan lupa. Tetapi kembali ada politik, karena sosok saya. Jadi presiden dapat award dari CNBC karena saya dianggap dapat menyelesaikan krisis.

Anak-anakku, seluruh rakyat Indonesia yang mendengarkan saya di mana pun Anda berada,

Kita memasuki tahun 2023 yang sudah banyak disebut tahun politik, tahun pemilu. Padahal Pemilu sudah jalan sejak reformasi. Ketika zaman Bung Karno 1955 sudah, ketika Orde Baru sudah, sekarang dikatakan zaman reformasi. Ini pemilu kelima. Jadi sebetulnya kan sudah lalu mengapa sekarang tampaknya heboh tetapi tidak jelas. Saya bilang kok tahun ini saya sebut seperti tahun anomali, juga dengan keadaan weather-nya yang tidak jelas.

Maksud saya, aturannya kan sudah ada, tata kenegaraan, konstitusi, pemerintahan, sebetulnya kan kita kerja dan setelah itu masing-masing bagaimana nanti berjalan dengan baik. Harus tepat waktu. Mari kita pikirkan bersama perjalanan Republik yang 77 tahun, tahun ini 78 tahun bahwa dari sisi Pemilu apa pun pada waktu itu luar biasa membangun Republik, meskipun baru tahun 1955 ada pemilu. Tetapi kan artinya pemerintah menata diri, setelah itu pemilu juga makin berjalan. Jadi kalau sudah diputuskan, itu dengan susah payah.

Sampai saya pikir pada waktu kita mengadakan Sidang MPR karena belum ada pemilu langsung. Padahal perjanjiannya, partai yang menang itulah yang akan dicalonkan jadi presiden. Tetapi kan karena belum pemilu langsung, yang dilakukan dalam Sidang MPR. Kejadiannya buat saya sebagai perjalanan dan pembelajaran saja bahwa Republik yang kita bangun ini ternyata tidak mudah. Kalau ditanya apa yang diharapkan ke depan? Saya ingin apa yang sudah dijalankan itu konsekuen. Harus ada kontinuitas karena saya sendiri tidak bisa tahu kalau nantinya seperti membuat patokan.

Pemimpin seperti apa yang sekiranya akan Ibu pilih. Saya akan bilang, kita berpegang pada Pancasila karena gampangnya Pancasila itu yang mengayomi, lalu turun ke Undang-Undang Dasar 1945, itu kan sudah sepakat semua, dari pimpinan di Republik ini sampai sekarang. Konstitusi yang tadi salah satunya saya bunyikan. Jadi kalau sudah mau Pemilu 2024, ya sudah dijalankan dengan baik. Susah payah kita ini menginginkan dan menjalankan supaya satu, Republik ini utuh. Dua, bahwa kalau memang sudah diputuskan bersama, ya itulah yang dijalankan. Mari kita lihat yang namanya Amerika Serikat. Itu sudah 200 tahun lebih dengan banyak presiden, tetapi partainya hanya dua.

Dalam kunjungan ke Amerika saya bertanya, apa benar partai hanya dua. Mereka menjawab bahwa ada keingingan untuk bikin partai, tetapi tidak bisa. Menurut saya, itu hal yang baik. Ketika Bung Karno dijadikan presiden seumur hidup, sepertinya terus dibuat kesalahan, terus dilengserkan. Ini apakah mau begitu terus. Ini pertanyaan saya sebagai seorang Ibu tetapi juga warga negara Indonesia. Apakah mau seperti itu kita uji coba terus menerus yang tidak ada habis-habisnya.

Kalau sudah dua kali ya maaf dua kali. Orang sekarang menunggu, maka dengan segala hormat saya pada teman-teman partai lain, saya mau konsolidasi rumah tangga saya saja dulu. Kenapa? Karena kayaknya semua orang fokus pada itu. Kata Hasto, media yang daftar 150, dalam dan luar negeri karena ini yang ditunggu-tunggu. Ibarat kalau orang main taruhan sudah pada pasang, yang mau dicalonkan Ibu siapa? Bentar dulu. Memangnya tepuk tangan, lalu tergiur mau mengumumkan? Tidak.

Saya ketua umum terpilih di Kongres Partai sebagai institusi tertinggi partai, maka oleh Kongres Partai diberikanlah kepada Ketua Umum terpilih hak prerogatif untuk menentukan siapa yang dicalonkan. Kok sekarang nungguin, urusan saya. Lucu sekarang orang berpolitik, kok seperti itu, memangnya tidak punya kader sendiri? Ndompleng-ndompleng. Di KPU aturannya bagaimana? Sudah lain? Masih sama.

Aturannya sudah jelas yang bakalan calon diusung. Antara pengusung dan pendukung berbeda, oleh satu partai atau beberapa partai. Kalau seperti ini konotasinya sepertinya partai tidak memiliki kader. Padahal kan sudah jelas, kalau ada pemilu berarti calon itu ada. Pertanyaan saya, mau bikin partai itu untuk apa? Jangan lupa, itu organisasi partai politik. Internalnya harus mempersiapkan. Saya tidak tahu kalau mempersiapkan di lain partai itu apa namanya, tetapi kalau di kita sudah jelas itu kader. Untuk jadi kader saja susah. Lihat saja AD ART. Melamar dulu dapat KTA, nanti dilihat kalau mau meneruskan masuk dulu di dalam “reng-rengan” struktur, di dalam itu bisa jadi tiga: ketua, sekretaris, bendahara.

Kalau sudah ingin menjadi legislatif, maunya di mana? Dapilnya di mana? Baru nanti masuk reng-rengan-nya eksekutif. Sudah diatur. Dengan begitu, ada Sekolah Partai saya bikin. Saya bikin lagi kursus-kursus juga untuk menambah pengetahuan berpolitiknya, apa maksud PDI Perjuangan berjuang, membentuk organisasi politik yang banyak pengikutinya.

Saat ini, tadi saya lapor ke Pak Jokowi, yang mau masuk PDI Perjuangan banyak lho. Jadi, kalau Ibu itu bilang turun ke bawah tolong mengerti atau tidak maksud Ibu sebenarnya. Kalian, kita, maunya membesarkan partai ini. Itu kan menambah anggota. Tadinya di kami disebut simpatisan. Akhirnya orang itu bilang, saya mau KTA. Jadi tidak ada pemaksaan. Setelah seperti itu tadi susunannya, sekarang kenapa karena Bung Karno mengatakan apa pun juga seharusnya yang namanya Indonesia tetapi juga banyak di luar negeri itu ada yang namanya kalau ada satu partai seperti Tiongkok.

Saya kagum pada Tiongkok, ketika KAA, Bung Karno minta mereka ikut di KAA saja susahnya setengah mati karena mereka disebut masih berada di Tirai Bambu tetapi dengan kelihaian Bung Karno, Mao Zedong mengizinkan. Dia tidak keluar, tetapi yang datang adalah yang namanya Menteri Liu Sau Chi dan Jenderal Chen Yi. Saya bertemu dan ingat. Bayangkan setelah digugah dengan KAA, itu dia langsung melesat seperti sekarang. Pertanyaan saya, masak kita ini kok selalu ngomong bahwa itu kan komunisme. Biarkan saja, jangan kita tiru. Sudah jelas kita mempunyai ideologi Pancasila, tetapi persoalannya bisakah yang dia jalankan itu pasti ada yang baik. Bagaimana dia menyusun kader-kadernya, apakah tidak boleh?

Zaman penjajahan saja, itu yang saya protes sama Bapak saya, ketika saya dan kakak saya tidak boleh kuliah alasannya apa, saya tidak tahu. Hanya tidak boleh saja. Tidak ada kertas melarang. Saya bilang pada Bapak saya, Bapak saja pada zaman penjajah, boleh sekolah sampai dapat gelar insinyur lho. Ini republik apa? Mau peristiwa seperti begitu terjadi lagi? Kalau saya pemimpinmu, saya akan bilang no, karena menyengsarakan rakyat itu. Orang pintar kok mau sekolah tidak boleh, apaan itu Pak Nadiem? Bikin peraturan yang benar.

Sekarang banyak, waktu wapres, presiden, bertemu dengan mereka. Padahal itu beasiswa dari Pemerintah Republik Indonesia kepada anak-anak yang pintar dikirim semua ke luar negeri untuk mendapatkan ijazah tetapi setelah zaman Orde Baru. Ini realita sejarah, jangan saya di-bully-bully kalau soal ini. Kalau ada yang mem-bully saya soal ini, saya tuntut. Karena ini adalah peristiwa sejarah yang benar. Saya bertemu di luar negeri sambil pada menangis, ada ahli nuklir, ahli metalurgi. Ini yang mengirim Pemerintah Republik Indonesia kok terus tidak ada pengadilan dicap bahwa dia adalah komunis. Kalau memang terhormat panggil dan adili.

Kalau tidak percaya dengan seizin Pak Jokowi, saya sudah bikin apa namanya abolisi, silahkan pulang. Persoalannya mereka sudah menikah di sana, sudah mendapatkan kedudukan yang baik, itu yang membuat mereka menangis. Bagaimana Ibu, saya ingin pulang, saya punya keluarga di Indonesia, sekian puluh tahun saya tidak bertemu. Itu rakyat Indonesia saudara-saudara. Maunya apa? Saya berpikir kenapa tidak boleh pulang, itu ceritanya di balik itu tidak untuk dikonsumsikan hari ini.

Anak cucu saya saya bawa ke Taman Makam Pahlawan dari mereka masih kecil. Kenapa? Untuk merangsang pikiran dan hati dia. Saya pancingkan ada nisan tidak bernama. Cari yang tidak bernama. Jadi tentu mereka akan bertanya ketika akan nyekar. Kenapa ada yang tidak bernama dimasukkan ke dalam Taman Makam Pahlawan karena mereka berjuang sukarela untuk membangun negara dan bangsa ini. Kalian masih mikir mau kedudukan saja, tunggu saja, situ bermain, saya bermain! Bukan mengancam, ini di hadapan segini banyak orang, saya tidak mau. Kita ada di sini adalah berbakti bagi bangsa dan negara dan bagi akar rumput yang masih begitu banyak dalam keadaan papa dan hina. Makanya ingat, merdeka.

Jadi menurut saya, mbok sudah kerja saja, masing-masing kerja. Dulu saya suka berpikir seperti ini, mengapa sekarang mbingungi? Dulu maaf beribu maaf, siapa sih yang tahu pak Jokowi? Ketika pada mulai nanya, Ibu mau nyalonin siapa? Ya ntar aja. Maka tidak ada pesta, di rumah saya saja, saya umumkan. Jadi kerja dulu, baru gegap gempitanya. Ini yang saya berpikir kok gegap gempita itu tidak pamit-pamit, terus njupuki wong saya, enak wae, nggak mau nyebut, saya.

Bung Karno juga menyuruh karena beliau itu memang visioner. Untuk ke depan itu apa, dibuat Lemhannas. Dulu Lemhannas pada pidato pertama itu geopolitik. Saya ditanya urusan geopolitik karena dunia ini berputar, dinamis bukan statis, jadi kita mesti berdialektika untuk supaya tahu dengan musim perubahan yang akan terjadi di banyak negara. Apa yang mungkin terjadi. Tadi saya bisik-bisik dengan Pak Jokowi, hati-hati ya Pak, kalau urusan untuk kelaparan itu sepertinya tidak, karena beliau resah urusan kelaparan, asal kita benar-benar fokus. Rakyat kita itu kalau dikomando itu bisa kok Pak. Jangan mikir beras. Semua apa yang ada yang bisa dimakan karena Bapak saya dari saya kecil bilang kalau saya makan nggak habis, kakak saya semua. Bilangnya gini, iku melas lho kalau yang sudah kamu ambil nggak kamu makan karena banyak rakyat miskin yang masih kelaparan, kelaparan, kelaparan.

Saya kemudian berpikir kenapa banyak terjadi stunting, tetapi yang saya khawatir, mungkin ini juga buat Pak Mahfud sebagai Menkopolhukam, nanti kalau orang lain yang sudah mulai kelaparan, Bapak sendiri bilang pada saya, negara yang mengalami kelaparan sudah berjumlah 46. Sekarang pertanyaan saya balik, melihat kita ini kaya raya, istilahnya kalau kita ini makan semangka, ada bijinya toh, lalu dibuang begitu saja, tumbuh. Kita ini kaya raya, tolong diinsafi. Kalau instruksi ibu suruh menanam tolong dilaksanakan dong. Tepuk tangannya sedikit karena saya tahu banyak yang belum melaksanakan padahal maksud saya kalau sudah hanya bisa ngamuk ke pemerintah. Kita ini gotong royong, padahal bisa. Harga pangan naik, ini tidak ada barang, seperti menanam cabe saja kok ribut dan saya di-bully. Waktu saya ngomong minyak goreng, di-bully to saya. Saya ketawa saja, padahal maksud saya kan memberikan alternatif. Masak itu tidak perlu menggunakan minyak goreng melulu, dibakar bisa, diungkep bisa, direbus bisa. Begitu saya dikatakan bahwa Ibu Megawati tidak ada empatinya, tidak melihat rakyat antre.

Maka seperti Lemhannas, sudah bagus-bagus dibuat oleh beliau untuk mendatangkan calon-calon pemimpin bangsa untuk bisa satu persepsi, lalu diajari geopolitik, gitu juga diubah. Ini saya suruh sekarang Bapak Andi Widjajanto, awas kalau nggak bikin seperti dulu lagi. Geopolitik itu perlu sekali, dengan perubahan cuaca seperti ini. Seperti pembangunan di Saudi Arabia dan di Uni Emirat Arab. Ini kan seperti bersaing, satunya MBS, satunya MBZ, padahal itu nama, tetapi saya ikutin. Dulu Abu Dhabi dibuat sebagai percontohann pertama, sekarang melompat ke Dubai, itu tidak kelihatan Arabnya.

Kenapa? Mereka dengan logic berpikir, kalau mereka mau mencari keuntungan dari minyak, untuk yang namanya fosil: batu bara, nikel, minyak, kalau negara lain tidak mau beli lalu mau buat apa. Maka sekarang kecenderungannya adalah go green, memperbaiki lingkungan. Mesti ada O2 yang banyak, maka saya suruh menanam pohon. Itu untuk apa, supaya menghasilkan yang namanya oksigen, CO2-nya diserap oleh pohon-pohon. Jadi jangan nanti Ibu katanya partai politik kok disuruh menanam-nanam, ini saya terangkan semua. Apa guna instruksi saya? Fosil pertambangan masuk ke go green-nya yang ramah lingkungan seperti matahari, angin, air. Ini sudah harus dipikirkan oleh yang pintar, di eksekutif.

Mau jadi gubernur, mau jadi bupati, mau jadi walikota, nek wis magrok-magrok, lali. Padahal untuk menaikkan PAD itu gimana? Coba angkat tangan tinggi atau berdiri. Eksekutif coba berdiri. Seluruh kepala daerah berdiri. Ini ada Pak Olly Dondokambey, dia seperti abu-abu karena gubernur iya, bendahara umum iya, DPP iya, dia bisa memilih mau yang mana. Bayangkan kamu itu otonomi daerah harusnya menaikkan PAD kamu itu yang paling riil. Ini ada Pak Azwar Anas. Sekarang dia jadi Menteri menggantikan Pak Tjahyo. Waktu dia saya suruh menjadi bupati di Banyuwangi, coba lihat dari saya kecil sampai saya tua dari saya ikut Bapak saya menyeberang naik kapal, sampai saya sendiri menyeberang, itu pantai padahal apik tetapi kok tidak dibuat apa-apa.

Sekarang Banyuwangi itu moncer, pantainya dibikin apik. Saya kasih reward kalau memang kerja baik, kalau tidak ya tidak. Istrinya begitu jadi menyelesaikan persoalan saya bilang “jempol”, perempuan lagi. Dia pergi menyelesaikan laporan ke desa-desa, tidak laporan doang, nginap. Itu cepat karena langsung dari lapangan, mbok ya kalian gitu lho, nginep di desa-desa itu.

Begitu pulang kerja. Ketua umum bilang, kerja, turun ke bawah untuk menang, menang, menang. Masukkan terus ke “sini” (kepala), wis ora usah mikir. Urusan calonnya itu adalah hak Ketua Umum, pokoknya tidak mungkin Ibu menjebloskan kalian ke sumur. Kita kalau bekerja pasti menang. Dua kali sudah, masak tiga kali nggak, salah kalian.

Jadi nyuwun sewu Pak Jokowi karena saya terlau lama, karena ini saya bilang konsolidasi. Dengan ini juga dengan resmi, tadi saya mengatakan ada kapal yang akan kami luncurkan dengan hasil gotong royong. Maka dengan mengucapkan Bismillah, maka kapal yang akan diluncurkan ini dinamakan Laksamana Malahayati. Ini kapal rumah sakit, jadi ada dokter dan sebagainya untuk bisa membantu rakyat masyarakat yang berada di remote area.

Demikianlah, terima kasih atas kesabarannya telah mendengarkan pidato saya dan sekali lagi apakah kalian siap untuk memenangkan ketiga kali? Siap? Siap? Merdeka! Merdeka! Merdeka! Salam Pancasila!

Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Om Santi, Santi, Santi, Om

Rahayu.

Sekali lagi,

Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

 

Megawati Soekarnoputri

Ketua Umum PDI Perjuangan

Quote