Ikuti Kami

Arteria: Saya Ingin Mengingatkan dalam Kebaikan

Menurut Arteria, dalam kasus First Travel, keadilan substantif melalui restorative justice yang lebih tepat.

Arteria: Saya Ingin Mengingatkan dalam Kebaikan
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan.

ANGGOTA Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menilai pemaparan Jaksa Agung terkait penanganan kasus penipuan jasa umrah yang dilakukan First travel, masih sangat konvensional tidak menyelesaikan masalah dan tidak mengenal keadilan restoratif (restorative justice).

Politisi PDI Perjuangan ini memahami bahwa Jaksa Agung tidak patut disalahkan, sebab mereka cenderung normatif sebagai penegak hukum. Pasalnya, justru akan menerbitkan riak dan gejolak tatkala menerapkan hukum progresif.

Baca: Arteria: Saya Hanya Bermaksud Membela Umat Islam

Menurut Arteria, dalam kasus First Travel, keadilan substantif melalui restorative justice yang lebih tepat. Ia miris dengan apa yang dialami oleh jemaah umrah yang tertipu. Kekesalannya itulah yang membuat Arteria mengkritik keras Kementerian Agama dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Jaksa Agung, pekan lalu. Berikut paparan lengkap Arteria kepada reporter Gesuri.id, Elva Nurrul Prastiwi:

Kritikan keras yang Anda tunjukkan kepada Kementerian Agama saat ini telah ramai diperbincangkan, bagaimana tanggapannya?

Tentunya saya diajarkan bersikap, bertutur kata dan berbicara yang sopan dan santun. Saya pernah di Komisi VIII, dalam rapat kerja maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementrian Agama, kala itu permasalahan itu sudah saya sampaikan secara sopan dan santun, lalu dalam rapat berikutnya kami sampaikan lagi hingga pada akhirnya Komisi VIII berkesimpulan membentuk Panja penyedia jasa umrah bermasalah.

Kami bertemu dengan korban yang faktanya berada dalam keaadan tidak menguntungkan secara ekonomi, ada yang sudah menabung sampai bertahun-tahun, mereka tergolong miskin, yang sejatinya hanya ingin melihat Ka’bah, menjadi tamu Allah, menjadi pasukan Allah (mujahidin), sekadar pelipur iman dikarenakan untuk haji di samping berbiaya tinggi juga harus menunggu hingga 37 tahun. Mereka menangis, dalam segala bentuk dan ragam alasan, sedih, kecewa, malu, karena gagal berangkat. Bahkan uang yang dikumpulkan dengan keringat dan air mata hilang dan terkesan dibiarkan begitu saja dalam berjuang memperebutkan haknya melalui lembaga peradilan yang memakan serta menguras waktu, tenaga dan uang.

Baca: Arteria Usulkan Bentuk Pansus Umroh

Suatu fakta bahwa First Travel telah melakukan penipuan terhadap jemaah umrah, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, membuat keraguan bahwa jaminan negara itu nyata dan ada serta telah merugikan umat baik dalam hal kehilangan kesempatan beribadah umrah maupun kehilangan sejumlah uang .

Faktanya adalah yang harus dijadikan permasalahan oleh Kemenag adalah bagaimana nasib sekitar 63.310 jemaah umrah yang menjadi korban. Bagaimana uang sejumlah Rp905,33 miliar? Apakah jemaah dapat diberangkatkan? Apakah uang tersebut dapat dikembalikan? Saya mungkin masih bisa bersabar tatkala kejadian ini terakhir dan tidak akan terjadi kembali sehingga hanya dua pertanyaan itulah yang menjadi tugas kita semua untuk menyelesaikannya. Akan tetapi saya pastikan tidak, faktanya terdapat permasalahan serupa yang dilakukan oleh Abu Tour yg melibatkan 86.720 ribu jemaah, bahkan melibatkan uang kurang lebih Rp1,8 triliun. Bagaimana dengan permohonan penundaan penyidikan pada saat aset-aset Abu Tour masih lengkap di bulan Mei 2017, lalu baru disidik dan ditetapkan tersangkanya bulan Februari 2018, di mana aset-aset sudah tidak lengkap lagi.

Baca: Penipuan Jemaah Umrah Jangan Dianggap Sepele

Saya pastikan akan menyusul kejadian-kejadian serupa dalam waktu tidak lama lagi. Seharusnya energi Menteri Agama dan jajaran Kemenag difokuskan untuk menyelesaikan hal tersebut ketimbang mempermasalahkan diksi kata yang keras dan lebih serius dalam mencermati hasil pembahasan Panja terkait First Travel di Komisi VIII.

Lalu apa maksud kritikan keras itu?

Saya mengajak semua pihak termasuk Kemenag untuk melihat substansi pembicaraan saya. Dalam rapat justru saya mengajak Jaksa Agung untuk turut terlibat di dalam carut marut penyediaan jasa umrah tidak dengan cara penindakan, yakni menangkap, menahan dan mempidanakan. Akan tetapi melalui pembuatan MoU yang spirit-nya adalah pencegahan dan perbaikan tata kelola penyediaan jasa pelayanan umrah. Pendekatan pencegahan saya pikir sangat efektif dan tidak membuat gaduh di mana negara dapat hadir dalam konteks pembinaan penyedia jasa umrah, publik juga terinformasi dan tidak tertipu serta Kementrian Agama terbantu di dalam menjalankan tupoksi pengawasan. Kehormatan Kementrian Agama juga terjaga dikarenakan orientasinya tidak pada penindakan atau penangkapan.

Saya juga ingin mengingatkan, mana yang lebih menyakitkan, pernyataan pihak Kemenag yang menyatakan, “Salah sendiri kenapa percaya sama penyedia jasa umrah yang berbiaya murah, ya kalau ada apa-apa tanggung sendiri.” Juga pernyataan yang kerap kali dilontarkan, “First Travel sudah tidak di kami, sekarang kan sudah di polisi/jaksa, silahkan tanya mereka dan silahkan tempuh upaya hukum.”

Mana yang lebih menyakitkan dari pernyataan saya? Seandainya korban bisa langsung bertemu dengan Bapak Menteri Agama, bukan tidak mungkin pernyataannya lebih pedas dari yang saya sampaikan. Wajar saja, karena secara hukum hak konstitusionalnya telah dilanggar tanpa ada upaya restorasi dari negara. Apalagi belum lagi masalah First Travel selesai, sudah disusul dengan Abu Tour dan bukan tidak mungkin akan disusul dengan permasalahan serupa.

Apakah pernyataan itu sebagai kode keras Anda terhadap kinerja Kemenag atau Jaksa Agung?

Pernyataan reaktif saya muncul tatkala saya menyatakan kalau Jaksa Agung pendekatannya seperti ini, yakni hanya mempidanakan Andika dan Annisa Hasibuan, serta membagi harta yang tersisa secara proporsional. Maka sudah dipastikan bahwa penegakan hukumnya tidak efektif dan tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh korban First Travel.

Makanya saya meminta Jaksa Agung saat itu utk membuat terobosan, mengedepankan efektifitas dikarenakan kalau dilakukan dengan cara konvensional seperti ini cenderung tidak efektif, karena mereka Kemenag (yang bertanggung jawab dalam konteks pengawasan tersebut).

Pernyataan saya itu, tidak saya tujukan ke Menteri Agama, dan ke jajaran Kementrian Agama. Sekalipun ada irisan dan menimbulkan ketersinggungan saya minta maaf. Tapi juga jangan terlalu “Baper”, karena jemaah umrah yang menjadi korban justru lebih sakit lagi. Mereka masih konsisten berjuang, di tengah ketidakyakinannya akan dukungan, jaminan dan perlindungan negara. Mereka anggap ini jihad, sebagai bentuk perjuangan ke Baitullah, menjadi tamu Allah, dan pasukan Allah. Mereka juga paham bahwa uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit melalui keringat dan air mata mustahil akan kembali secara utuh. Tapi karena keyakinanlah mereka masih ada dan tetap senantiasa berjuang. Mereka juga tidak “Baper”, tidak meminta Menteri Agama maupun jajaran Kemenag minta maaf. Apalagi minta maaf di hadapan publik.

Jadi pilih mana, diksi atau substansi?

Kalau pilih substansi bagaimana dengan 5 point pernyataan saya dalam Raker kemarin, yakni narkoba, illegal logging and fishing, perlindungan buruh migran dan lain-lain, yang sama sekali tidak terekspose pemberitaan. Kalau yang dipilih substansi seharusnya jajaran Kemenag harus berterima kasih atas masukan dan terobosan pendekatan pencegahan ini. Tapi kalau yang dipilih diksi ya saya minta maaf, kalau pernyataan saya membuat ada pihak yang tersinggung.

Tapi mohon pahami suasana kebatinan saya, dan jangan larang saya untuk berjuang dengan cara yang saya yakini untuk memperjuangkan mereka yang datang mengadu, mereka yang menabung dengan susah payah tetapi ditipu tidak dapat ke Baitullah. Mereka yang ingin menjadi pasukan Allah, apalagi banyak di antara mereka yang sudah tidak berani mimpi menjadi haji dikarenakan antrean kuota sampai 27 tahun.

Sebagai Anggota Dewan, apakah Anda memang akan selalu kritis?

Saya tidak bicara Hak Imunitas Dewan, dalam banyak hal dan sebelum menjadi anggota DPR pun saya coba untuk selalu kritis terhadap isu-isu kerakyatan. Saya gunakan hak konstitusional saya dalam forum yang konstitusional. Silahkan saja bagi mereka yang ingin membawa permasalahan ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan klarifikasi. Saya akan malu tatkala di MKD karena perbuatan tercela, skandal sex, korupsi dan sebagainya, tapi saya akan bangga apabila saya dipermasalahkan dalam rangka saya memperjuangkan kepentingan rakyat. Saya tidak gentar. Saya lakukan semua dengan keyakinan, tentunya keyakinan akan kebenaran.

Harusnya yang menjadi titik tekannya adalah benar tidaknya pernyataan saya, bukan diksi kerasnya. Akan tetapi lebih ke dalam forum, saya juga sedang menjalankan fungsi pengawas DPR. Lagi pula saya disumpah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, khususnya masyarakat di daerah pemilihan saya. Saya juga mau mengingatkan kita semua apa yang menjadi penyebab carut marut penyedia jasa umrah, apakah ada masalah kelembagaan? Masalah regulasi? Masalah penegakan hukumnya? Lalu apakah memungkinkan untuk diterapkannya restoratif justice?

Dalam iman saya dikenal “Watawa saubil haq, watawa saubil sabr”, yang artinya “Saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran”, agar kita semua lebih baik lagi ke depan, bukan untuk permusuhan. Saya selalu berusaha untuk bersikap bijak dan santun, tapi mohon juga dipahami hal tersebut akan sulit dilakukan apabila jerit tangis rakyat masih tidak terselesaikan. Para korban jemaah umrah tersebut bukan konsumen yang sedang membeli paket tour ke Eropa, bukan pula konsumen yang membeli sepeda motor atau yang sedang memesan katering dalam rangka perkawinan, yang itu saja terlindungi melalui UU Perlindungan Konsumen. Mereka itu adalah tamu Allah, pasukan Allah yang ingin ke Baitullah dalam rangka ibadah.

Dan yang perlu diingat adalah hak mereka semua dijamin oleh konstitusi, yang menjadi tanggung jawab Kemenag, bukan tanggung jawab polisi dan bukan pula jaksa.

Quote