Yogyakarta, Gesuri.id — Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menegaskan komitmen Pemerintah Kota Yogyakarta dalam memperkuat gotong royong masyarakat dan meningkatkan pelayanan dasar, terutama di bidang kesehatan dan penanganan stunting.
Hal itu disampaikan Hasto di kantornya Balai Kota Yogyakarta, Kamis (30/10) sore, saat menjelaskan sejumlah program unggulan yang tengah dijalankan pemerintahannya.
Menurut Hasto, berbagai keterbatasan anggaran tidak menghalangi Pemkot untuk terus bergerak. Justru, di tengah situasi yang penuh tantangan, muncul banyak inovasi berbasis kolaborasi masyarakat.
“Dalam keadaan yang sulit, ide justru banyak lahir. Kami membersihkan kali, menurunkan alat berat, dan mengajak semua pihak — Babinsa, Bhabinkamtibmas, hingga warga — bergotong royong tanpa harus mengeluarkan anggaran besar,” ujarnya.
Semangat gotong royong juga diterjemahkan dalam bentuk kegiatan kreatif masyarakat. Salah satunya, lomba mural bagi pelajar SMP yang diselenggarakan dalam rangka hari jadi Kota Yogyakarta.
“Daripada lomba baris-berbaris terus, kami ajak anak-anak lomba mural dengan pesan moral. Cat-nya disponsori, hadiahnya sederhana. Tapi maknanya besar, menghidupkan partisipasi warga dan rasa memiliki kota,” jelas Hasto.
Di bidang kesehatan, Hasto menjelaskan bahwa program “Satu Kampung Satu Tenaga Kesehatan” kini menjadi ujung tombak dalam menekan angka stunting di Yogyakarta. Melalui sistem informasi keluarga yang dikelola oleh 495 kader kesehatan, pemerintah berhasil memetakan secara akurat kondisi ibu hamil, calon pengantin, serta anak-anak berisiko stunting di setiap kelurahan.
“Kami kumpulkan semua kepala desa dan camat. Data kader ini sangat penting — mulai dari ibu hamil, yang mau nikah, sampai bayi yang lahir. Kalau lingkar lengan calon ibu terlalu kecil, kami minta jangan langsung hamil. Penuhi dulu gizinya,” terang dokter yang juga mantan Kepala BKKBN ini.
Hasto menyebut bahwa program penanganan stunting ini turut mendapat dukungan dari anggota DPRD DIY Fraksi PDI Perjuangan, seperti Ekol dan Nuryadi, serta dari Pemerintah Provinsi DIY yang mengalokasikan anggaran Rp100 juta per kelurahan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat.
“Kami bekerja sama dengan DPRD dan Fraksi PDI Perjuangan. Anggaran dari provinsi kami gunakan untuk membeli bahan makanan bergizi seperti telur, ikan, dan daging. Kader membagikannya langsung ke rumah warga setiap hari,” katanya.
Menariknya, karena sebagian keluarga penerima manfaat tidak memiliki kulkas untuk menyimpan bahan makanan, Pemkot Yogyakarta menyiapkan solusi kreatif dengan menitipkan bahan makanan di rumah kader.
“Kulkas bisa dititipkan di rumah kader. Jadi setiap hari mereka yang membagikan makanan dari rumah ke rumah. Ini sederhana tapi efektif,” imbuhnya.
Upaya tersebut terbukti berhasil menurunkan angka stunting secara signifikan. Dari 14,8% pada akhir 2024, kini angka stunting di Yogyakarta turun menjadi 9,6% pada September 2025.
“Kami cicil terus. Targetnya bisa menyaingi bahkan melampaui Surabaya yang sudah turun ke 4%. Kalau mereka bisa, kita juga harus bisa,” tegas Hasto optimistis.
Selain itu, konsep “Satu Kampung Satu Tenaga Kesehatan” diadopsi dari model layanan masyarakat di Belanda, di mana setiap komunitas memiliki tenaga medis yang menguasai seluruh data kesehatan warganya.
“Kalau di Belanda satu kawasan punya satu dokter keluarga, di sini kami mulai dengan satu tenaga kesehatan per kampung. Mereka mendata warga lansia, disabilitas, hingga yang sulit akses ke posyandu. Sekarang sudah ada 169 tenaga kesehatan yang aktif mengampu masing-masing kampung,” jelasnya.
Hasto menutup dengan menegaskan bahwa semua inovasi ini berpijak pada nilai-nilai gotong royong dan kemandirian lokal, sejalan dengan semangat Pancasila dan Trisakti Bung Karno.
“Kita bisa maju tanpa harus selalu bergantung pada anggaran besar. Asal mau gotong royong, masyarakat bisa mandiri, sehat, dan berdaya,” pungkasnya.

















































































