Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi X DPR RI Mercy Barends memberikan usulan terkait pendidikan dengan menyesuaikan lingkungan dan budaya.
“Bolehkah kita usulkan misalnya, dalam kondisi-kondisi di daerah terluar seperti begini, pendidikannya dibikin sesuai dengan lokalita yang ada di wilayah di sana. Habis panen teripang segala macam, misalnya, sekolah baru mulai jam 5 (sore) ke atas,” usul Mercy.
Seperti diketahui Hasil observasi yang dilakukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan, hampir 50% anak-anak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga SD.
Baca: Ganjar Pranowo Belum Pastikan Maju Pada Pilpres 2029
JPPI menyebutkan, beberapa isu utama yang mendorong faktor putus sekolah di daerah 3T, di antaranya adalah jumlah sekolah yang tidak memadai, kualitas sekolah buruk, jarak dan medan menuju ke sekolah sulit diakses, serta ketidakmampuan keluarga membiayai pendidikan.
Alasan lainnya adalah tingginya tren pekerja anak dan pernikahan dini, serta rendahnya kesadaran pentingnya sekolah.
“Kalo musim panen ya semuanya bareng panen, kalo musim menangkap ikan ya mereka akan nangkep ikan. Itu jauh lebih penting, ketahanan ekonomi keluarga itu lebih dipertimbangkan daripada sekolah ini manfaatnya apa,” tutur Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X DPR RI (5/5).
Cara pandang patriarki juga masih sangat mendominasi, sehingga angka pernikahan dini masih sangat tinggi. Di daerah-daerah tersebut, anak yang sekolah dinilai akan memiliki masa depan yang sama dengan yang tidak sekolah, sehingga masyarakat tidak menemukan urgensi dari sekolah.
Hal-hal ini juga disampaikan oleh Kuanta Indonesia dalam RDPU tersebut. Beberapa masalah yang menghambat pendidikan di daerah 3T adalah kurangnya dukungan orang tua, budaya masyarakat yang cenderung kurang baik, serta infrastruktur dan akses menuju sekolah yang kurang memadai.
Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Untuk Berhati-hati
Persoalan lainnya, yaitu rendahnya figur pemimpin pelaku perubahan di daerah, rendahnya kompetensi dan etos guru, keterbatasan jumlah guru, serta tata kelola standar nasional pendidikan yang belum optimal.
Ubaid menambahkan, kualitas sekolah di daerah kurang optimal karena tenaga pendidik yang dikerahkan pun belum memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam pantauan JPPI, 60% guru di daerah merupakan honorer. Banyak pula guru yang hanya lulusan SMA dan sangat jarang yang mendapat pelatihan pengembangan.
Dengan begitu, kurikulum nasional tidak dapat disampaikan dengan baik dengan kompetensi tenaga pendidik yang kurang optimal. Kurikulum nasional juga dinilai tidak memiliki relevansi.