Ikuti Kami

Korban Soeharto dan Orde Baru Tak Hanya Komunis, tapi juga Islam dan Nasionalis

Oleh: Mohamad Guntur Romli, Politisi PDI Perjuangan

Korban Soeharto dan Orde Baru Tak Hanya Komunis, tapi juga Islam dan Nasionalis
“NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971” karya Ken Ward (terjemahan RH Widada, Gading Publishing, 2023) - Foto: Guntur Romli

SELAMA ini publik disuguhi propaganda yang menyesatkan: bahwa penolakan terhadap Soeharto untuk dijadikan pahlawan nasional hanya datang dari kelompok komunis atau simpatisannya. Padahal kenyataannya, korban kekerasan rezim Soeharto dan Orde Baru meluas ke semua kalangan — termasuk kelompok Islam dan nasionalis.

Bagi Soeharto, ideologi dan aliran politik seseorang tak ada artinya. Selama tunduk dan mengabdi kepadanya, seseorang akan aman. Tapi begitu berani menentang, ia akan segera disingkirkan — bahkan dihilangkan.

Kekerasan dan represi Orde Baru terhadap kelompok Islam dan nasionalis terekam jelas dalam buku “NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971” karya Ken Ward (terjemahan RH Widada, Gading Publishing, 2023). Buku ini menyingkap sisi gelap awal kekuasaan Soeharto, ketika Pemilu 1971 dijadikan alat konsolidasi politik melalui kecurangan sistematis dan kekerasan negara.

Ward menggambarkan bagaimana rezim menggunakan aparatur birokrasi, TNI, dan Polri untuk memastikan dominasi Golkar. Target utamanya adalah dua kekuatan besar dari masa demokrasi parlementer: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai representasi kelompok Islam tradisional, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dari kalangan nasionalis. Pemilu bukan lagi ajang demokrasi, melainkan formalitas untuk melegitimasi otoritarianisme pasca-tragedi 1965–1966.

Buku itu menjelaskan, kekerasan terhadap NU dan kelompok Islam bertujuan mengerdilkan pengaruh politik mereka di basis pedesaan dan pesantren. Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan monoloyalitas birokrasi: pegawai negeri berlatar NU dipaksa memilih antara karier negara atau kesetiaan kepada organisasi. Akibatnya, banyak yang diberhentikan, dimutasi, atau dibekukan kariernya.

Tak berhenti di situ, aparat juga melakukan intimidasi langsung terhadap kiai, santri, dan aktivis NU. Penangkapan, penganiayaan, hingga pembunuhan selektif terjadi untuk memutus hubungan NU dengan rakyat bawah.

Dalam masa kampanye Pemilu 1971, misalnya, operasi khusus dilakukan atas nama “pengamanan”, tetapi justru berujung pada teror terhadap Muslimat NU dan tokoh-tokoh Islam yang dianggap mengancam Golkar. Kasus kematian misterius Subhan ZE, tokoh NU pada 1973, mencerminkan bagaimana pola pembunuhan politik menjadi instrumen kekuasaan yang sudah dirancang sejak masa awal konsolidasi Orde Baru.

Semua itu menunjukkan bahwa kekerasan terhadap kelompok Islam dan nasionalis bukan insiden acak, melainkan strategi sistematis untuk mendepolitisasi Islam, menyingkirkan PNI, dan menegakkan hegemoni Golkar di bawah kendali Soeharto.

Ward menegaskan, politik Orde Baru dibangun bukan di atas ideologi, melainkan atas trauma dan represi. Dampaknya terasa panjang hingga kini — terutama dalam cara negara memperlakukan kekuasaan dan oposisi.

Karena itu, sangat mengherankan jika hari ini masih ada yang mengaku bagian dari NU atau kelompok nasionalis, namun justru mendukung Soeharto sebagai pahlawan nasional. Bagaimana mungkin seseorang yang menindas, memecah belah, dan menindih umat serta rakyatnya sendiri diangkat sebagai pahlawan bangsa?

Quote