TAK habis pikir dengan Sekjen PBNU, yang juga Menteri Sosial, Gus Ipul yang keukeuh mencalonkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Apa dia tidak ingat sejarah bagaiman Soeharto dan Orde Baru merepresi NU dan kiai-kiai NU? Ini bukan soal "memelihara dendam" tapi untuk terus jujur pada sejarah.
Tak patut menjilat Soeharto dengan mengangkatnya sebagai pahlawan, juga tak perlu membencinya dgn penuh amarah dan dendam.
Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan upaya "pemutihan" terhadap dosa-dosanya yg kelam pada NU.
Tidak ingatkah kata-kata Gus Dur: kita bisa saja memaafkan tapi tidak untuk melupakan. Sebagai orang NU, bisa saja memaafkan dosa-dosa Soeharto, tapi TIDAK untuk melupakan dosa-dosanya, agar kita tetap waspada dan kejadian kelam itu tidak boleh terulang lagi.
Mem-pahlawan-kan Soeharto sudah pasti melewati "garis merah", itu seperti melupakan, bahkan mengubah sejarah yg berbahaya bagi reflelsi ke depan.
Buat panjenengan yang mungkin belum mengerti mengapa hubungan NU dan Soeharto itu benar-benar menyakitkan.
NU pernah dimanfaatkan Soeharto untuk menyingkirkan Komunis di awal-awal kekuasaan, tapi akhirnya di era Orde Baru, justeru NU yang di-"PKI"-kan oleh Soeharto.
Di tengah gemuruh Revolusi 1965, Nahdlatul Ulama (NU) muncul sebagai sekutu setia bagi Jenderal Soeharto dalam membangun fondasi Orde Baru. Tragedi Gestapu (G30S) yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi momen krusial. NU, di bawah kepemimpinan faksi militan seperti Subchan Z.E., memainkan peran aktif dalam penumpasan massal terhadap komunis.
Ribuan anggota Ansor dan Banser, sayap pemuda NU, terlibat dalam pembantaian yang menewaskan ratusan ribu orang, terutama di Jawa Timur dan Tengah. Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, memanfaatkan jaringan NU yang kuat di pedesaan untuk membersihkan ancaman kiri.
Pertemuan PBNU pada 16 Oktober 1965 menghasilkan fatwa yang mencela G30S sebagai pengkhianatan, membuka jalan bagi mobilisasi massa NU. Bagi Soeharto, NU bukan hanya alat politik, tapi juga benteng ideologis melawan ateisme komunis, yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Namun, aliansi rapuh ini segera retak. Setelah Soeharto naik tahta pada 1967, Orde Baru mulai memusuhi basis massa NU yang terlalu kuat dan independen. Pemilu 1971 menjadi titik balik: intimidasi militer dan manipulasi suara membuat Golkar mendominasi, sementara NU—yang bergabung dalam Porpori—hanya meraih 18% suara, jauh dari 22% di 1955.
Soeharto menerapkan depolitisasi Islam melalui fusi paksa partai-partai berbasis agama menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, yang secara efektif melemahkan NU secara struktural.
Pesantren-pesantren NU, pusat pendidikan tradisional, dilemahkan melalui regulasi ketat dan tuduhan subversif. Kiai-kiai seperti Wahab Chasbullah dan Idham Chalid yang kritis terhadap sentralisasi kekuasaan Soeharto sering diintimidasi, bahkan ditahan. Pada 1980, NU walk out dari DPR saat membahas undang-undang pemilu yang diskriminatif, menandai posisinya sebagai oposisi.
Lebih ironis lagi, rezim Orde Baru membalikkan narasi: NU yang dulu pahlawan anti-PKI kini dicap sebagai "simpatisan komunis". Tuduhan ini muncul saat NU mulai menentang kebijakan asimilasi seperti Ekaprasetiya Pancasila pada 1985, yang memaksa ormas berbasis agama tunduk pada ideologi negara.
Propaganda Orde Baru menyebar "hantu PKI" untuk membungkam kritik, termasuk dari kalangan NU yang menolak kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Buku-buku hitam dan kampanye media menuding elemen NU sebagai "bekas PKI" yang menyamar, meski justru NU yang paling vokal membersihkan diri dari stigma itu. Manipulasi ini mencapai puncak saat NU dianggap ancaman bagi stabilitas rezim, terutama setelah Munas NU 1984 yang menolak normalisasi hubungan dengan komunis.
Puncak permusuhan terwujud dalam konflik Soeharto dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua PBNU sejak 1984. Gus Dur, dengan kecerdasannya yang tajam, menjadi duri dalam daging. Ia mengkritik Soeharto melalui tulisan di media seperti Tempo, memprediksi jatuhnya rezim pada 1998, dan menolak pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990 sebagai upaya memecah belah NU.
Soeharto merespons dengan mendorong muktamar tandingan NU pada 1992, mendukung kiai oposisi seperti Abu Hasan untuk mendongkel Gus Dur. Intelijen Orde Baru memata-matai Gus Dur, bahkan menyebarkan isu bahwa ia pro-PKI karena upayanya rekonsiliasi dengan korban 1965. Pada 1994, Gus Dur sempat "diculik" secara simbolis oleh aparat, dan NU dilarang berdemonstrasi. Perseteruan ini mencerminkan paranoia Soeharto: NU, yang dulu dimanfaatkan untuk darah komunis, kini dianggap musuh internal yang mengancam hegemoni Golkar.
Represi ini meninggalkan luka mendalam bagi NU, yang terpaksa mundur ke ranah sosial-religius pada 1984 dengan slogan "Kembali ke Khittah 1926". Namun, ketangguhan Gus Dur membuktikan bahwa represi Soeharto justru menyulut Kebangkitan Ketiga NU, yang kelak menjadi katalisator Reformasi 1998.
Kisah ini mengingatkan betapa rapuhnya aliansi politik: dari pedang pembantai komunis menjadi sasaran tuduhan yang sama, NU menjadi saksi bisu ironis Orde Baru yang lahir dari darah dan lahir kembali dari penindasan.
#SoehartoBukanPahlawan

















































































