Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IX DPR RI, Ahmad Safei, menekankan pentingnya memperkuat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan serta membangun komunikasi yang intensif antara pemerintah dan organisasi profesi.
Safei menilai bahwa seluruh pihak memiliki tujuan yang sama, yakni memperbaiki sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun demikian, ia mencatat sejumlah kegelisahan dari para tenaga kesehatan yang ditemuinya saat kunjungan ke daerah pemilihan (dapil).
Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Untuk Berhati-hati
“Semua yang dipaparkan, baik oleh Pak Menteri, IDI, IBI, maupun PPNI, intinya ingin membangun dunia kesehatan yang lebih baik. Tinggal bagaimana komunikasi ini diintensifkan agar kegundahan dari masing-masing pihak bisa diselesaikan dalam forum bersama,” kata Safei dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR RI bersama Majelis Disiplin Profesi (MDP), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di Gedung Nusantara I, Rabu (2/7).
Salah satu persoalan yang disoroti Ahmad Safei adalah kekhawatiran tenaga medis terhadap perlindungan hukum yang lemah dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru. Menurutnya, ada keresahan bahwa kasus-kasus dugaan malapraktik langsung dibawa ke ranah hukum tanpa lebih dulu ditangani secara profesional oleh organisasi profesi.
“Teman-teman dokter merasa undang-undang ini kurang memberikan perlindungan. Kalau ada kasus, langsung diproses hukum tanpa melalui organisasi profesi yang selama ini menjadi garda awal penyelesaian secara profesional,” jelasnya.
Safei juga menyoroti persoalan administratif, khususnya soal syarat 250 SKR (Satuan Kredit Revalidasi) untuk perpanjangan izin praktik yang dirasa memberatkan tenaga kesehatan di wilayah pelosok.
“Teman-teman di daerah merasa syarat 250 SKR ini menyulitkan. Padahal di daerah terpencil, akses pelatihan atau pendidikan berkelanjutan sangat terbatas,” tambahnya.
Baca: Ganjar Tolak Keputusan Pemerintah Masukan Mata Pelajaran AI
Selain itu, ia mengkritisi sistem perizinan praktik yang dinilai terlalu terbuka, sehingga dokter bisa membuka praktik di mana saja tanpa keterlibatan organisasi profesi di daerah. Hal ini dinilai rawan menimbulkan ketidakjelasan pengawasan, terutama di daerah-daerah yang minim tenaga medis.
“Masih ada dinas kesehatan di kabupaten yang tidak memiliki satu pun dokter. Ketika dokter dari luar datang praktik hanya 2–3 kali seminggu karena ada perusahaan, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu?” Tanyanya.
Di akhir pernyataannya, Ahmad Safei mendorong semua pihak untuk aktif dalam dialog yang berkelanjutan. “Kalau kita sering bertemu, diskusi dua-tiga kali, insyaallah akan ada jalan keluar. Kita semua ingin sistem kesehatan yang lebih kuat dan manusiawi,” pungkasnya.