Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, menegaskan bahwa pencabutan izin empat perusahaan tambang di kawasan pulau kecil oleh pemerintah pusat harus dipandang sebagai awal dari proses panjang menuju tata kelola lingkungan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan transparan.
Pernyataan ini disampaikan menyusul polemik pertambangan di pulau-pulau kecil yang dinilai berpotensi menabrak ketentuan hukum nasional.
“Kawan-kawan sekalian, kita semua tentu ingin pembangunan berjalan. Tapi pembangunan haruslah berpijak pada keberlanjutan, keadilan, dan keterlibatan semua pihak. Pemerintah pusat memang telah mencabut izin empat perusahaan dan menghentikan sementara kegiatan pertambangan. Namun langkah ini perlu dilihat sebagai titik awal, bukan akhir,” kata Aria, dikutip pada Senin (7/7/2025).
Menurutnya, regulasi nasional secara tegas melarang kegiatan eksploitasi sumber daya alam di pulau kecil dengan luasan di bawah 2.000 hektare, kecuali untuk tujuan konservasi atau kepentingan masyarakat lokal.
“Undang-undang melarang eksploitasi sumber daya alam di pulau kecil di bawah 2.000 hektare, kecuali untuk konservasi dan kepentingan lokal. Izin yang dikeluarkan di luar ketentuan itu berpotensi menabrak hukum,” jelasnya.
Sebagai anggota Komisi II DPR yang membidangi urusan dalam negeri dan otonomi daerah, Aria menyoroti pentingnya pengawasan lintas kementerian dan parlemen untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan izin pertambangan.
“Sebagai anggota komisi yang memidangi urusan dalam negeri dan otonomi daerah, saya melihat pentingnya memperkuat sistem pengawasan lintas kementerian dan DPR. Karena itu kami di Komisi II dibadani mengusulkan beberapa langkah penting,” ungkapnya.
Ia lalu memaparkan empat langkah konkret yang sedang didorong oleh Komisi II DPR RI sebagai respons atas situasi tersebut:
“Pertama, pencabutan permanen izin-izin tambang di wilayah konservasi dan pulau-pulau kecil perlu menjadi bagian utama dari agenda penataan ulang kebijakan lingkungan kita. Kedua, kami mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem perizinan tambang, khususnya di tingkat daerah agar proses transparan dan affordable. Ketiga, kami mengajak DPR RI, khususnya kawan-kawan Komisi II, untuk membentuk panitia kerja guna menelaah proses perizinan yang terjadi di kawasan strategis nasional yang ternyata berkaitan dengan pemerintah daerah. Keempat, kami mendorong aparat penegak hukum untuk segera menelusuri kemungkinan konflik kepentingan dalam kasus ini karena Republik ini tidak boleh ada salah hukum yang dibiarkan hanya karena melibatkan kekuatan ekonomi,” jelasnya.
Aria Bima menutup pernyataannya dengan penekanan bahwa persoalan ini bukan hanya soal legalitas semata, tetapi juga menyangkut moralitas kebijakan publik dan keberpihakan negara terhadap lingkungan serta masyarakat adat yang terdampak.
Langkah-langkah ini diharapkan menjadi titik tolak pembenahan sistemik dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia, terutama pada wilayah yang memiliki status strategis atau rentan secara ekologis.