Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus, dengan tegas menyoroti isu politik uang dalam kegiatan Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Berkelanjutan Tahun 2025 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sama dengannya di Hotel Duta, Rabu (4/6/2025).
Di hadapan ratusan masyarakat yang hadir, Deddy menyampaikan pernyataan kritis dan menggugah kesadaran masyarakat terkait praktik jual beli suara dalam pemilu.
“Bapak ibu sudah terima duitnya enggak pas pemilu kemarin? Jangan salahkan mereka, salahkan bapak ibu sendiri karena dulu suaranya sudah dibeli,” ujar Deddy Sitorus, baru-baru ini.
Ia menekankan bahwa praktik politik uang memutus hubungan antara pemilih dan wakil rakyat karena dasar relasi sudah ditentukan oleh transaksi, bukan amanah.
“Mereka tidak akan datang lagi, kemarin mereka bisa duduk karena bayar suara kita,” ucapnya.
Menurut Deddy, politisi yang terpilih melalui politik uang cenderung akan fokus mengembalikan modal ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Mohon maaf, mau kembali modal dulu bapak ibu mereka, karena kemarin waktu nyalon minjam uang dulu, ngabisin tabungan, jual rumah, jual mobil,” ujarnya.
Hal itu, lanjut Deddy, berdampak langsung pada masyarakat yang kesulitan mengakses bantuan atau perhatian dari wakil rakyat.
**“Kalau masjid kita mau diperbaiki, kalau usaha kita pengen ada yang menyalurkan pembiayaan, atau mau minta tolong anggota DPRD, nanti dulu 5 tahun lagi ketemu sama mereka,” jelasnya.
Deddy pun dengan lugas menegaskan bahwa akar masalah dari sikap abai wakil rakyat terletak pada masyarakat sendiri yang bersedia menjual suaranya.
“Yang salah kita, karena suara kita sudah dibeli, kontrak kita sudah putus, enggak ada urusan. Karena untuk dia mendapatkan amanah dan jabatan itu, dia sudah bayar kita,” ungkapnya.
Ia bahkan mengajak masyarakat untuk menghitung nilai harian dari uang yang mungkin diterima saat pemilu, misalnya Rp 300 ribu untuk lima tahun.
Untuk itu, Deddy menilai kegiatan seperti sosialisasi pendidikan pemilih menjadi sangat penting.
“Oleh karena itulah kita melakukan sosialisasi pendidikan berkelanjutan saat ini supaya kita semakin paham bahwa hak-hak kita, suara kita harus ada yang membantu memperjuangkan,” tuturnya.
Ia pun menegaskan bahwa dirinya tidak membeli suara, sehingga merasa berhutang kepada masyarakat yang mempercayainya.
“Oleh karena itu saya berhutang, setiap bulan saya turun ke Kaltara, turun ke Tarakan, ketemu dengan masyarakat,” imbuhnya.
Deddy menyebut pendekatannya berbeda dari wakil rakyat lain. Ia secara aktif melakukan bedah rumah, memperjuangkan anggaran jalan, hingga mendistribusikan Kartu Indonesia Pintar (PIP) kepada ribuan anak di Tarakan dan Kalimantan Utara.
“Saya tidak merasa membeli suara buat orang menurut saya. Oleh karena itu, saya berhutang setiap bulan saya turun ke Kaltara, turun ke Tarakan, ketemu dengan masyarakat,” pungkasnya.