Jakarta, Gesuri.id - Komisi V DPRD Provinsi Banten menemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025.
Masalah ini bermula dari terlambatnya pembuatan petunjuk teknis (juknis) yang dibuat oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten karena dibuat dalam waktu yang sangat mepet.
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Banten Yeremia Mendrofa mengatakan, salah satu temuan yang didapatkan olehnya adalah tentang bobot nilai prestasi non akademik.
Dalam aturan, bobot nilai prestasi non akademik meliputi pembobotan nilai akademik dan pembobotan nilai sertifikat, di mana dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pembobotan nilai akademik memiliki nilai paling tinggi 100 sementara pembobotan nilai sertifikat paling tinggi 90.
Baca: Ganjar Dorong Delapan Parpol di DPR RI Duduk Bersama
Dengan demikian apabila ada siswa yang memperoleh nilai sempurna antara nilai akademik dan nilai sertifikat, maka maksimal total nilai siswa tersebut adalah 190. Anehnya ternyata ada siswa yang memiliki nilai di atas 190 bahkan di atas 200.
“Coba cek pengumuman SPMB jalur prestasi non akademik. Banyak yang nilainya di atas 190. Kok bisa?” kata Yeremia, Minggu (20/7/2025).
Yeremia mengatakan, inilah yang menjadi pertanyaan mengapa bisa terjadi. Apakah mark up nilai ini dilakukan oleh operator atau oleh siswa sendiri? Hal itu masih belum mendapatkan penjelasan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten.
“Banyak dinamika yang kita dengar terkait SPB 2025,” kata dia.
Yeremia mengungkapkan, masalah lain yang juga ditemukan adalah adanya proses verifikasi pada siswa yang daftar jalur afirmasi dan memiliki KIP yang tidak masuk akal. Penerima KIP dilakukan verifikasi bukan di website Kemendikbudasmen melainkan di DTKS oleh operator sekolah. Sehingga siswa tersebut ditolak ketika mendaftar lewat jalur afirmasi.
Beruntung orang tua siswa berkomunikasi dengannya. Namun bagaimana apabila ada siswa yang tertolak juga namun tidak memiliki akses kepada anggota dewan? Pasti akan tertolak oleh sekolah.
“Bayangkan ada anak-anak yang tertolak,” katanya.
Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, masalah lain yang ditemukan di lapangan adalah masih banyak orang tua yang menganggap jalur domisili sama dengan jalur zonasi. Mereka mengira jalur domisili juga memperhitungkan jarak rumah dengan sekolah padahal yang paling menentukan adalah nilai siswa.
Di sini jalur domisili pun menjadi masalah atau setidaknya menjadi hal yang membingungkan karena proses seleksinya mirip dengan jalur prestasi. Pada jalur domisili yang menentukan adalah nilai lalu pada jalur prestasi juga yang menentukan adalah nilai.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Yeremia mengatakan, sejumlah persoalan yang muncul dalam SPMB 2025 akar masalahnya adalah karena juknis yang dibuat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten terlambat dikeluarkan. Bahkan juknis keluar dalam waktu yang mepet, beberapa hari sebelum pelaksanaan SPMB.
Dengan kondisi ini maka Komisi V DPRD Banten tidak memiliki ruang untuk memberikan masukan bagi perbaikan sistem SPMB 2025. Padahal dengan sistem yang baru ini akan timbul banyak persoalan yang seharusnya bisa diantisipasi sedini mungkin.
“3-4 hari sebelum pelaksanaan baru keluar juknis sehingga masukan tidak bisa serta merta diakomodir karena waktunya sangat singkat,” ujar Yeremia.
Atas jumlah persoalan itu Komisi V DPRD Provinsi Banten mendorong agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten menjelaskan mengapa bisa terjadi bobot maksimum nilai bisa melebihi bobot maksimum yang seharusnya 190 poin. Komisi V sendiri hingga saat ini belum melakukan rapat evaluasi SPMB 2025 bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten.