Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, mengapresiasi keberhasilan Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita Rp 11,8 triliun dari perusahaan Wilmar Group dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Ia menyoroti kasus ini melibatkan suap terhadap hakim sehingga mencederai sistem peradilan. Hal ini sekaligus membuka kembali luka lama masyarakat yang dulu kesulitan mendapatkan minyak goreng.
“Sekarang kita tahu ternyata ada permainan besar yang membuat rakyat sengsara demi keuntungan korporasi," ujar Gilang dalam keterangan tertulis, Kamis (19/6).
Ia akan mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) atau Rapat Kerja Khusus untuk menindaklanjuti persoalan ini secara tuntas dan menyeluruh.
“Tidak boleh ada lagi ruang kompromi untuk praktik suap dalam proses peradilan terlebih dalam perkara yang berdampak langsung pada kepentingan rakyat secara luas," katanya.
Komisi III, ia menambahkan, bakal mengawal kasus ekspor CPO ini dan tidak boleh berhenti pada penyitaan uang dan penetapan tersangka saja. Melainkan harus ada proses hukum yang transparan sampai pada pihak pemberi maupun penerima suap.
Apalagi sistem hukum di Indonesia masih memiliki celah untuk dikendalikan kekuatan kapital besar. Sehingga, hal tersebut perlu segera diatasi.
"Jika korporasi bisa membeli keputusan pengadilan, maka jangan heran jika ketimpangan sosial dan ketidakadilan terus melebar," Gilang menjelaskan.
Ia mengingatkan kejahatan korporasi membuat rakyat kesulitan mencari minyak goreng, belum lagi harganya menjadi selangit.
Politikus PDI Perjuangan itu mengaku khawatir keterlibatan tiga hakim yang diduga menerima suap –yakni Ketua Majelis Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom— akan berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Vonis lepas terhadap Wilmar Group dan sejumlah korporasi sawit lainnya tidak hanya merusak asas keadilan, tetapi juga menghambat upaya penegakan hukum terhadap korporasi yang nyata-nyata menyebabkan kerugian publik.
“ Kasus ini sekaligus menjadi indikator bahwa mafia hukum dan mafia pangan saling berkelindan (saling terkait),” ujar Politisi PDI Perjuangan itu.
Gilang menilai ketika korporasi bisa menyuap hakim demi vonis lepas, maka keadilan menjadi barang dagangan, dan masyarakat menjadi korban dua kali, yaitu saat minyak goreng langka, dan saat pelaku dilepaskan dengan skema hukum yang dimanipulasi.
Ia juga mendorong Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) dan Kejaksaan Agung melakukan pembersihan internal secara serius. Skandal Wilmar ini bukan hanya soal integritas satu-dua hakim, tetapi tentang bagaimana sistem peradilan bisa dimanipulasi untuk melindungi oligarki yang merugikan rakyat.
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita lebih dari Rp 11,8 triliun dari perusahaan Wilmar Group terkait kasus dugaan korupsi dalam penerbitan izin ekspor CPO yang terjadi pada tahun 2022.
Tiga Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat pada Maret 2025 menyatakan ketiga perusahaan Wilmar Group, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan pelanggaran hokum. Namun semua tidak dianggap sebagai tindak pidana.
“Hal itulah yang kemudian memicu kontroversi dan ditemukan fakta bahwa ketiga hakim yang terlibat dalam perkara tersebut menerima suap,” tandasnya.