Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Budi Sulistyono atau yang akrab disapa Kanang, mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan impor gula yang dinilai berpotensi merugikan petani tebu lokal.
Menurutnya, langkah membuka kran impor di tengah meningkatnya produksi nasional, khususnya dari Jawa Timur, sangat berisiko bagi keberlangsungan hidup petani.
“Pembebasan impor gula ini mengkhawatirkan. Jika kran impor dibuka selebar-lebarnya, tentu petani kita yang dirugikan,” kata Kanang, Selasa (26/8/2025).
Kanang menilai pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, harus lebih bijak dalam mengatur arus masuk gula impor.
Ia menegaskan bahwa pembebasan tanpa pengawasan ketat berpotensi merusak harga di tingkat petani serta mengancam ketahanan pangan nasional di sektor gula.
Dia juga mendorong pemerintah untuk mengurangi, bahkan menghentikan impor gula, setidaknya sampai seluruh tebu rakyat terserap habis.
“Kalau beras bisa diatur dengan HET dan Bulog dilibatkan, seharusnya gula pun bisa diperlakukan setara. Dengan begitu, petani tebu tidak terus dirugikan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kanang yang juga menjabat sebagai Plh Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur menawarkan sejumlah solusi strategis untuk menghadapi persoalan ini.
Menurutnya, langkah utama yang harus dilakukan adalah mengutamakan penyerapan gula petani lokal, memperkuat tata kelola distribusi, serta memberikan perlindungan harga.
“Kita harus perkuat serapan hasil tebu dari petani dalam negeri. Jangan sampai stok petani menumpuk karena kalah saing dengan gula impor. Ini soal keberpihakan dan keberlangsungan hidup petani kita,” tuturnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya adanya mekanisme kuota impor yang fleksibel dan berbasis data lapangan. Dengan begitu, kebijakan perdagangan tidak merugikan produsen gula dalam negeri.
“Jangan sampai ada keputusan politik yang bertentangan dengan realitas produksi. Kalau produksi kita melimpah, ya hentikan dulu impornya. Kalau produksi menipis, baru kita evaluasi. Itu logika yang adil dan berpihak,” tegas mantan Bupati Ngawi dua periode itu.
Sikap Kanang ini diperkuat dengan data Kementerian Pertanian yang menunjukkan tren positif produksi gula di Jawa Timur. Pada 2022, provinsi ini menghasilkan sekitar 1,192 juta ton gula kristal putih, atau hampir separuh dari total produksi nasional.
Pada 2025, proyeksi bahkan menunjukkan peningkatan signifikan. Produksi gula dari Jawa Timur diperkirakan menembus angka 1,457 juta ton dengan rata-rata rendemen tebu sebesar 7,76 persen. Angka ini dinilai menunjukkan efisiensi pengolahan yang semakin membaik serta daya saing yang kuat apabila didukung kebijakan yang berpihak.
“Dengan hasil seperti itu, sebenarnya kita tidak perlu bergantung pada gula luar negeri. Kita butuh keberanian politik untuk membeli hasil petani, mendistribusikannya dengan baik, dan mengamankan harga pasar. Petani kita bisa mandiri kalau diberi ruang,” ujar Kanang.
Namun, di lapangan masih ditemukan masalah serius. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPP APTRI), Sunardi Edi Sukamto, menyebut sebagian petani kini kesulitan menjalankan operasional produksi karena stok gula menumpuk tak terserap.
Petani pun menagih janji pemerintah terkait realisasi dana Rp1,5 triliun dari Danantara yang dialokasikan untuk menyerap gula rakyat sebagai bentuk stabilisasi pasar. Hingga saat ini, pencairan dana tersebut belum juga menunjukkan kejelasan.