Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mufti Anam, menyoroti kasus restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo yang mengaku selama puluhan tahun menjual produk non-halal tanpa mencantumkan informasi kepada konsumen secara jelas. Ia menilai kasus ini sebagai bentuk kelengahan serius dalam sistem pengawasan terhadap pelabelan produk konsumsi di Indonesia.
“Kami menilai kasus ini tidak dapat disederhanakan sebagai kesalahan komunikasi atau kelalaian belaka. Ini merupakan cerminan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pelabelan produk konsumsi di Indonesia, dan perlu ditindaklanjuti secara serius oleh instansi terkait,” kata Mufti Anam, Selasa (3/6/2025).
Diketahui, informasi mengenai status non-halal restoran Ayam Widuran terungkap setelah pengelola mengunggah klarifikasi melalui akun Instagram resmi mereka. Mereka menyatakan menu yang disajikan mengandung unsur non-halal, dan permintaan maaf pun disampaikan kepada publik. Meski pengelola mengklaim telah mencantumkan informasi tersebut di gerai-gerai mereka, banyak masyarakat mengaku baru mengetahuinya, khususnya karena anggapan umum bahwa ayam goreng identik dengan makanan halal.
Mufti menilai bahwa restoran seperti Ayam Widuran memiliki tanggung jawab moral dan hukum yang lebih besar dalam transparansi kepada konsumen, terlebih mereka telah beroperasi selama lebih dari 50 tahun.
"Label halal maupun non-halal bukan sekadar simbol. Ini menyangkut keyakinan, etika konsumsi, dan hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang jujur tentang apa yang mereka konsumsi," ungkapnya.
"Ketika informasi kehalalan itu disembunyikan dengan sengaja atau tidak, maka ini merupakan bentuk pengabaian terhadap hak konsumen," lanjut Legislator dari Dapil Jawa Timur II itu.
Mufti memperingatkan bahwa sistem pengawasan yang lemah bisa menciptakan ketimpangan dalam persaingan usaha. Usaha kuliner yang jujur dalam pelabelan bisa kalah bersaing dengan pelaku usaha yang populer namun tidak transparan.
“Kita tidak ingin karena praktik pengawasan yang kurang, hal tersebut merugikan pelaku usaha yang sudah disiplin,” ujarnya.
Ia juga menilai kasus ini menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan di tingkat pusat maupun daerah. Mufti menegaskan agar kejadian seperti ini tidak terulang dan mendesak perbaikan sistem.
“Abainya stakeholder yang bertanggung jawab untuk memastikan rumah makan mencantumkan keterangan label halal tidak boleh terjadi lagi,” tegasnya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa pemerintah tidak boleh hanya bersikap reaktif terhadap isu-isu semacam ini. Ia meminta Kementerian Perdagangan, BPKN, dan BPJPH segera bertindak konkret.
"Sistem pengawasan produk konsumsi seharusnya berjalan secara aktif, preventif, dan menyeluruh, jangan seperti sekarang atau yang sering terjadi: bertindak setelah kasus ramai di media sosial," ucapnya.
Mufti juga menekankan bahwa keterbukaan dalam bisnis makanan bukan hanya soal agama, tetapi tentang integritas dan kejujuran.
“Tidak ada yang salah dengan berjualan produk makanan non-halal, selama memang disampaikan dengan jujur dan terbuka sehingga klasifikasi konsumennya pun jelas,” ungkapnya.
“Pelabelan halal dan non-halal bukan soal agama semata, tetapi tentang etika perdagangan dan kejujuran dalam bisnis. Bahkan konsumen non-Muslim juga berhak tahu dengan jelas komposisi makanan yang mereka beli," tambahnya.
Ia pun mendesak adanya penjelasan resmi dari kementerian dan lembaga terkait serta evaluasi atas regulasi yang berlaku.
“Jika diperlukan, revisi regulasi yang masih abu-abu demi memperkuat perlindungan konsumen. Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan, bukan sekadar sensasi sesaat,” jelasnya.
“Kepercayaan publik adalah modal utama industri kuliner nasional. Dan kepercayaan itu hanya bisa dibangun dengan kejujuran dan keterbukaan," pungkasnya.