Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI, Romy Soekarno, menegaskan bahwa demokrasi Indonesia tak bisa lagi berjalan dengan cara lama. Ia menilai Pemilu 2024 menjadi cermin luka sekaligus peluang untuk melompat ke masa depan melalui pembangunan mental pemilih dan digitalisasi sistem pemilu.
“Voting ke depan bukan sekadar memberi suara di kertas. Identitas digital warga harus dihormati sebagai KTP hidup bangsa. Itulah fondasi kedaulatan digital dalam demokrasi modern,” tegas Romy saat menjadi narasumber utama dalam seminar Penguatan Kelembagaan Literasi Demokrasi untuk Wujudkan Pemilu Berintegritas di salah satu hotel Kota Kediri, Rabu (24/9).
Romy mencatat empat catatan kelam Pemilu 2024. Pertama, maraknya disinformasi politik. Kedua, kecurangan dan intimidasi yang berlangsung secara terstruktur. Ketiga, kegagalan sistem verifikasi yang membuat 34 persen pemilih pemula tak terdaftar. Keempat, ketidakpercayaan generasi muda pada sistem politik.
Namun, ia juga melihat optimisme. “Sebanyak 81 persen Gen Z justru memverifikasi fakta politik secara mandiri lewat platform digital,” ungkapnya.
Sebagai jawaban, Romy menawarkan peta jalan demokrasi digital berbasis tiga pilar:
1. Civic Education Digital 2.0 – berupa simulasi virtual kandidat, pelatihan anti politik uang, hingga interaksi video pendek.
2. Ekosistem Anti Politik Uang – melalui blockchain dana kampanye, sistem whistleblower digital, dan dashboard akuntabilitas kandidat.
3. Kelas Pemilih Cerdas – lewat kurikulum politik digital di sekolah, bootcamp critical thinking, hingga sertifikasi kompetensi pemilih.
Ia menegaskan bahwa ancaman pemilu modern tak hanya datang dari peretasan digital, melainkan juga dari kebohongan publik. Karena itu, diperlukan perlindungan berlapis: watermark digital dan sensor AI, tim cyber swat untuk respon cepat, serta layanan trauma healing digital bagi pemilih yang terdampak hoaks.
“Jangan biarkan demokrasi ditarik mundur oleh sistem lama. Kita harus melompat ke depan dengan inovasi dan keberanian,” tegas Romy.